Politik Narcissus di Negeri Para Ketua
Seorang politisi pecinta bola dan dunia usaha
DI MEDAN
, ada istilah yang sangat populer dan masyhur di berbagai kalangan, yakni kata “ketua”, “engkol”, dan “mengumbang”. Istilah-istilah ini lazim digunakan mulai dari kalangan cendekia hingga akar rumput.
Tulisan ini meminjam ketiga frasa itu untuk menjelaskan benang kusut sosial politik Indonesia dalam bingkai yang disebut sebagai “politik
narsistik
”.
Istilah ini bukan hanya kosakata lokal, tetapi cerminan struktur sosial dan psikologis yang terbentuk dari budaya relasi kuasa.
Ketiga istilah tersebut menunjukkan bagaimana identitas politik terbentuk, dirawat, dan disimbolkan dalam narasi sehari-hari.
Istilah ini tak sekadar kosakata, tetapi bagian dari ekologi sosial-politik yang memperlihatkan bagaimana simbolisme dapat menggeser substansi.
Ia mencerminkan cara
kekuasaan
dimaknai, dipertontonkan, dan dikelola di ranah publik, sekaligus memperlihatkan sisi rapuh dari demokrasi simbolik.
Dalam mitologi Yunani, Narcissus adalah pemuda tampan yang dikutuk jatuh cinta pada bayangan dirinya sendiri. Ia akhirnya mati karena tak mampu melepaskan diri dari refleksi wajahnya di permukaan air.
Kisah ini menjadi simbol obsesi pada citra diri dan ketidakmampuan membangun relasi sejati. Dalam konteks ini, Narcissus menjadi metafora untuk memahami bagaimana kekuasaan dan kebijakan seringkali dikonstruksi demi memuja citra pemimpin.
Narcissus tak hanya gagal mengenali kenyataan, tetapi juga terperangkap dalam cermin identitas yang semu.
Inilah gambaran dari kekuasaan yang tidak lagi melihat rakyat sebagai tujuan, tetapi menjadikan dirinya sebagai pusat imajinasi politik.
Dalam ruang kekuasaan kontemporer, narasi tentang Narcissus menemukan bentuk baru. Ketika pemimpin lebih sibuk mengatur pencitraan ketimbang pengaruh nyata, kita melihat cermin mitologis itu hidup dalam praktik kekuasaan modern.
Tiga istilah tadi membentuk konstruksi sosial politik yang khas. ‘Ketua’ merepresentasikan status simbolik yang datang dengan beban sosial tinggi.
‘Engkol’ adalah strategi pencitraan—baik bagi yang melakukannya maupun yang menerima dampaknya.
Sedangkan ‘mengumbang’ adalah teknik mengangkat lalu menjatuhkan, sebuah seni dalam memainkan narsisme kekuasaan.
Dalam praktiknya, istilah ini menjadi pisau bermata dua—membentuk loyalitas dan pada saat yang sama memelihara kepalsuan.
Istilah-istilah ini telah menubuh dalam tata komunikasi politik lokal dan membentuk gaya kepemimpinan yang cenderung berorientasi simbol.
Bahkan dalam praktik elektoral, ketiga istilah itu hidup dalam interaksi antara elite dan massa. Ia mengatur siapa yang layak naik, siapa yang harus menjaga jarak, dan siapa yang siap dijatuhkan demi tatanan relasi kuasa yang stabil secara simbolik, tapi rapuh secara moral dan struktural.
Christopher Lasch dalam
The Culture of Narcissism
menggambarkan masyarakat yang menjadikan ruang publik sebagai panggung ego.
Jan-Werner Müller menjelaskan bahwa populisme melahirkan pemimpin yang mengidentikkan diri dengan negara.
Sementara Erich Fromm melihat narsisme sebagai pelarian dari ketidakamanan eksistensial. Semua ini membantu memahami fenomena politik narsistik hari ini.
Lasch mengingatkan bahwa narsisme bukan sekadar perilaku individu, tetapi struktur sosial.
Müller memperlihatkan bahaya dari klaim eksklusif kebenaran oleh pemimpin yang merasa diri satu-satunya representasi rakyat.
Fromm menekankan bahwa kekuasaan yang narsistik akan lebih sibuk melindungi citra daripada menyelesaikan persoalan nyata.
Ketiganya menegaskan bahwa narsisme bukan sekadar penyakit personal, melainkan bisa menjadi ideologi politik diam-diam yang dijalankan dengan penuh kesadaran.
Kekuasaan
yang berorientasi citra menjadikan rakyat sebagai latar belakang, bukan subjek utama kebijakan.
Di banyak ruang publik, pemimpin tampil sebagai pusat narasi—bukan sebagai pelayan publik, tetapi ikon yang dipuja.
Istilah ‘ketua’ menjadi status kultural yang mengharuskan pengawalan dan pemujaan. ‘Engkol’ menjadi alat untuk menjaga jarak dengan kekuasaan, dan ‘mengumbang’ sebagai cara menyusun atau merontokkan citra.
Maka tak heran jika wajah pemimpin lebih sering muncul di spanduk ketimbang data kebijakan. Fenomena ini menandai pergeseran dari orientasi pelayanan menjadi pertunjukan berulang tentang siapa yang layak dipuja.
Politik narsistik dalam kebijakan tampak dari: (1) kebijakan demi pencitraan, (2) proyek prestise tak berkelanjutan, (3) minim partisipasi publik, (4) pengambilan keputusan yang sentralistik, dan (5) komunikasi yang lebih visual daripada substansial.
Dari kelima ciri itu, bisa disimpulkan bahwa kebijakan menjadi sarana glorifikasi personal, bukan alat intervensi struktural.
Politik menjadi ruang sinematik, tempat pencapaian dikisahkan secara dramatis dan penuh muatan emosional, tapi miskin substansi jangka panjang.
Relasi kuasa kemudian tidak lagi berbasis mandat rakyat, melainkan pada performa. Seseorang dipilih bukan karena kapasitas, tetapi karena tampilan dan retorika.
Kritik terhadap kebijakan bisa dengan cepat ditafsirkan sebagai penolakan terhadap ‘citra’, bukan sebagai evaluasi rasional terhadap keputusan publik.
Kebijakan sering dibuat bukan sebagai solusi struktural, tapi untuk mengejar efek emosional sesaat—viralitas, simpati publik, atau tepuk tangan media sosial.
Masyarakat dijadikan penonton atas pertunjukan heroisme semu, bukan subjek perubahan. Kebijakan berubah dari alat transformasi menjadi alat pemujaan.
Proyek mercusuar diluncurkan tanpa rencana keberlanjutan, sekadar memantik efek visual dan menenangkan pasar simpati.
Efektivitas kebijakan menjadi nomor sekian, selama framing dan respons publik di media sosial bisa dikendalikan.
Akibatnya, banyak ruang publik menjadi ladang kontestasi visual, bukan arena pertukaran gagasan. Keberanian berpikir dikalahkan oleh keahlian berpose.
Inilah paradoks demokrasi era narsistik: semakin terlihat, semakin dipercaya, walau tak selalu berdasar realitas lapangan.
Gejala ini memperlemah ruang partisipasi. Kritik dianggap serangan pribadi karena pemimpin mengidentikkan dirinya dengan negara.
Sistem deliberatif melemah, digantikan budaya loyalitas. Partisipasi menjadi formalitas belaka, sedangkan keputusan dibuat berdasarkan intuisi politis, bukan evaluasi rasional.
Keterlibatan rakyat diposisikan bukan sebagai pemegang kedaulatan, tetapi sebagai penonton yang harus bersorak. Padahal demokrasi mensyaratkan dialog, bukan sekadar aklamasi. Ketika kritik dibungkam, negara kehilangan fungsi korektifnya.
Budaya narsistik ini tumbuh karena masyarakat permisif terhadap pencitraan, media lebih suka tayangan heroik ketimbang debat substantif, dan pendidikan politik kritis minim.
Masyarakat pun tanpa sadar menjadi pengumbang atau pengengkol, yang membantu melanggengkan logika narsisme.
Ketika ruang publik lebih menghargai retorika daripada rekam jejak, maka pemimpin hanya perlu piawai berbicara, bukan bekerja.
Pendidikan politik yang dangkal, media yang pragmatis, dan masyarakat yang lebih mencintai euforia menjadi lahan subur bagi narsisme kolektif.
Politik narsistik menggantikan nilai dengan impresi, kolektivitas dengan kultus individu. Demokrasi yang sehat tidak lahir dari pemujaan pada ‘ketua’, tetapi dari warga yang kritis menjaga ruang publik dari simbolisme menyesatkan.
Demokrasi butuh substansi, bukan sekadar sensasi. Ini bukan hanya soal figur, tetapi soal arah politik nasional.
Demokrasi harus dibangun di atas kesadaran kritis, bukan mitos tokoh penyelamat. Dalam masyarakat yang sehat, pemimpin adalah pelayan ide, bukan penguasa atas simbol.
Kegelisahan muncul ketika narsisme bukan lagi soal individu, tetapi sistem. Kebijakan publik kehilangan empati, menolak evaluasi, dan menjadikan pemimpin pusat segalanya.
Gejala ini bisa disebut sebagai
Narcissistic Policy Disorder
—bukan diagnosis medis, tetapi istilah reflektif untuk menggambarkan kebijakan yang lebih mencerminkan ego kekuasaan daripada kebutuhan rakyat.
Dalam kondisi ekstrem, seluruh sistem pemerintahan dapat berubah menjadi alat pemantul ego tunggal.
Jika seluruh institusi hanya berfungsi sebagai penguat narasi personal, maka kebijakan publik kehilangan jiwa dan jangkarnya.
Sebagai masyarakat demokratis, kita harus membalik logika ini. Menilai pemimpin dari hasil, bukan hanya narasi.
Melihat kebijakan dari dampak, bukan hanya dari iklan. Menjaga agar ruang deliberatif tetap hidup adalah tugas intelektual sekaligus tanggung jawab kewargaan.
Narcissistic Policy Disorder
adalah panggilan untuk meninjau kembali cara kita menilai kebijakan, tidak hanya dari efektivitas teknis, tetapi dari moralitas dan etika kekuasaan.
Jika kebijakan hanya menjadi cermin pemimpin, maka demokrasi kehilangan arah. Kritik bukan oposisi, tetapi kewarasan publik yang harus dijaga bersama.
Ini juga merupakan ajakan agar akademisi, jurnalis, dan warga aktif terlibat membongkar mekanisme narsisme struktural.
Refleksi publik harus terus dilakukan agar kebijakan tetap berpijak pada kebutuhan rakyat, bukan pada kecemasan personal pemimpin akan ketidakabadian.
Gagasan ini mengajak kita semua, terutama akademisi dan aktor masyarakat sipil, untuk lebih kritis membaca bahasa kekuasaan.
Jika tidak, maka kita berisiko terjebak dalam lingkaran kebijakan yang indah di poster, tetapi hampa di lapangan. Demokrasi yang demikian hanya akan melahirkan kekuasaan yang anti-kritik, rapuh, dan penuh ilusi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Author: Kompas.com
-
/data/photo/2018/06/24/3415437599.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Politik Narcissus di Negeri Para Ketua Nasional 25 Juni 2025
-
/data/photo/2022/08/01/62e6bbd9d4de7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Bunuh ART Indonesia, Finalis MasterChef Malaysia Dihukum 34 Tahun Penjara Internasional
Bunuh ART Indonesia, Finalis MasterChef Malaysia Dihukum 34 Tahun Penjara
Penulis
KOTA KINABALU, KOMPAS.com –
Dua warga
Malaysia
, termasuk seorang finalis ajang memasak terkenal MasterChef, dijatuhi hukuman berat oleh Pengadilan Tinggi Kota Kinabalu atas kasus kematian tragis seorang asisten rumah tangga (ART) asal Indonesia.
Perempuan bernama Etiqah Siti Noorashikeen Sulang (37), yang pernah tampil di MasterChef Malaysia, dan mantan suaminya, Mohammad Ambree Yunos (44), resmi divonis 34 tahun penjara karena terbukti bersalah dalam kasus penganiayaan hingga menyebabkan kematian terhadap Nur Afiyah Daeng Damin, warga negara Indonesia berusia 28 tahun.
Vonis dijatuhkan atas insiden yang terjadi antara tanggal 8 hingga 11 Desember 2021 di sebuah apartemen mewah bernama Amber Tower di Penampang, Sabah.
Selain hukuman penjara, hakim juga menjatuhkan sanksi cambuk sebanyak 12 kali kepada Ambree.
Sementara itu, Etiqah tidak dijatuhi hukuman serupa karena pertimbangan jenis kelamin, sesuai hukum yang berlaku di Malaysia.
Hakim Lim Hock Leng menyatakan bahwa kedua terdakwa telah bertindak bersama-sama dengan sengaja menyebabkan luka-luka serius yang berujung pada kematian korban.
“Pembelaan mereka gagal menghadirkan keraguan yang wajar,” kata Lim saat membacakan putusannya di ruang sidang.
Jaksa Penuntut Umum, Dacia Jane Romanus, menggambarkan kondisi korban sebagai sangat mengenaskan.
Dalam persidangan, ia memaparkan bahwa Nur Afiyah mengalami kekerasan berkepanjangan selama bekerja dan tidak menerima gaji dari majikannya. Bahkan, korban tidak diberi kesempatan untuk pulang ke kampung halaman.
“Korban adalah seorang perempuan muda yang datang untuk bekerja secara jujur di masa sulit pandemi, namun justru kehilangan nyawanya dalam kondisi mengenaskan di tempat ia mengabdi,” ujar Dacia.
Kasus ini didasarkan pada Pasal 302 KUHP Malaysia yang mengatur sanksi pidana bagi pelaku pembunuhan.
Meski jaksa tidak menuntut hukuman mati dalam kasus ini, vonis 34 tahun dan 12 kali cambuk mencerminkan keseriusan dan bobot pelanggaran hukum yang dilakukan keduanya.
Pasal tersebut secara umum mengatur hukuman mati atau penjara antara 30 hingga 40 tahun, serta minimal 12 kali cambuk bagi pelaku yang terbukti bersalah melakukan pembunuhan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/02/14/67aede66f1e20.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Polisi Tetapkan Dosen FIB Unhas Tersangka Pelecehan Seksual, Modus Bimbingan Skripsi Makassar 24 Juni 2025
Polisi Tetapkan Dosen FIB Unhas Tersangka Pelecehan Seksual, Modus Bimbingan Skripsi
Tim Redaksi
MAKASSAR, KOMPAS.com
– Mantan dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi.
Status tersebut disematkan kepada dosen berinisial FS setelah penyidik Subdit Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda Sulsel melakukan penyelidikan panjang.
“Iya sudah (tersangka). Kita sudah buatkan suratnya untuk penetapan tersangka,” kata Kanit IV Subdit Renakta Ditreskrimum Polda Sulsel, AKP Ramdan Kusuma dikonfirmasi awak media, Selasa (24/6/2025).
Ramdan mengatakan, saat ini berkas tersangka FS tinggal menunggu adminstrasi lanjutan.
“Cuma untuk administrasinya masih di pimpinan. Nanti setelah itu, dikirim pemberitahuan ke kejaksaan maupun tersangka itu sendiri. Surat pemberitahuan (penetapan tersangka),” ucap Ramdan.
FS disangkakan Pasal 6A dan Pasal 6C Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual.
Dalam Pasal 6A berbunyi tentang pelecehan seksual fisik dan pelakunya dapat dipenjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp50 juta.
Sementara itu, Pasal 6C mengatur tentang penyalahgunaan kekuasaan, wewenang, kepercayaan, atau pengaruh yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual, dan pelakunya dapat dipidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp300 juta.
Untuk diketahui, kasus pelecehan seksual ini terjadi pada 25 September 2024, ketika korban menemui FS untuk bimbingan mengenai rencana penelitian skripsinya.
Setelah bimbingan, korban pun meminta izin untuk pulang, namun oleh FS korban dipaksa agar tidak meninggalkan ruangan.
FS kemudian memegang tangan dan memeluk korban, namun korban berhasil melawan dan menghindari tindakan bejat tersebut.
Usai kejadian itu, korban pun langsung melaporkan FS ke Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Unhas.
Pendalaman internal pun dilakukan, hingga bukti rekaman CCTV didapatkan. Internal Unhas pun mengambil langkah tegas dengan mencopot FS dari jabatannya dan menonaktifkannya sebagai dosen.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/24/685a1f1c61f18.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Nikita Mirzani Ternganga Dengar Dakwaan Jaksa, Mengaku Dijebak Megapolitan
Nikita Mirzani Ternganga Dengar Dakwaan Jaksa, Mengaku Dijebak
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Terdakwa kasus pemerasan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU)
Nikita Mirzani
mengaku kaget mendengar dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang perdananya, Selasa (24/6/2025).
“Kalau yang kalian dengar dari dakwaan yang dibacakan JPU tadi, saya ternganga-nganga,” ungkapnya kepada awak media setelah persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Nikita mengeklaim, dakwaan JPU itu berbanding terbalik dengan fakta sehingga merugikan dirinya. Bahkan, Nikita merasa dijebak.
“Ya gimana enggak dijebak, orang semua direkam, semua direncanakan,” ujarnya.
Menurut Nikita, ia maupun asistennya yang juga didakwa kasus yang sama, Ismail Marzuki, tak pernah memaksa dokter Reza Gladys untuk memberikan uang tutup mulut.
Sebaliknya, kata Nikita, Reza-lah yang mendesak ingin memberikan uang.
“Banyak yang dipotong-potong rekaman yang sudah beredar, isinya tidak seperti itu. Isinya Reza yang mengejar sahabat saya, Mail (Ismail), ya,” terang dia.
Nikita juga menuding bahwa Reza berulang kali mengganti Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
“BAP yang pertama itu dia yang planga-plongo, BAP yang kedua, BAP yang ketiga itu sudah terstruktur, terkondisikan dengan baik,” ungkapnya.
Nikita pun berencana mengajukan eksepsi untuk membuktikan kepada majelis hakim bahwa dakwaan JPU tidak benar.
“Saya akan melakukan eksepsi karena yang dikatakan JPU itu adalah bualan, banyak sekali kata-kata yang dihilangkan. Jadi seolah-olah malah pelapor yang dilindungi,” katanya dalam persidangan.
Sebelumnya diberitakan, Nikita Mirzani didakwa melakukan pemerasan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap pemilik produk kecantikan bernama dokter Reza Gladys.
Perbuatan itu dilakukan Nikita bersama asistennya, Ismail Marzuki.
Dakwaan ini dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (24/6/2025).
“Melakukan tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia,” kata jaksa.
Nikita disebut melakukan siaran langsung TikTok melalui akun @nikihuruhara di mana ia menjelek-jelekkan Reza dan produknya berulang kali.
Nikita menuding, kandungan produk kecantikan Reza berpotensi menyebabkan kanker kulit.
“Kalian tahu enggak, kalian pake bahan-bahan yang lama-lama, kalian bisa kena kanker kulit. Udah kalian enggak punya uang, kena kanker kulit, aduh repot,” tutur jaksa Refina menirukan pernyataan Nikita saat siaran langsung.
Nikita juga mengajak warganet tidak lagi menggunakan produk apa pun dari Glafidsya.
“Atas perbuatan terdakwa Nikita Mirzani tersebut, membuat saksi Reza menjadi terancam kredibilitasnya sebagai pemilik dari produk Glafidsya dan akan mengakibatkan penurunan penjualan dari produk Glafidsya,” tutur Refina.
Satu minggu setelahnya, rekan sesama dokter bernama Oky memprovokasi Reza untuk memberikan uang ke Nikita supaya tidak lagi menjelek-jelekkan produknya.
Reza pun merencanakan pertemuan mediasi dengan Nikita melalui asistennya, Ismail Marzuki.
Melalui Ismail, Nikita justru mengancam Reza dengan mengatakan bahwa ia bisa dengan mudah menghancurkan bisnis Reza. Oleh karenanya, Nikita meminta uang tutup mulut sebesar Rp 5 miliar.
Lantaran merasa terancam, Reza akhirnya bersedia memberikan uang, namun “hanya” Rp 4 miliar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/24/685a54ef94f73.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tertundanya Kepulangan 2 Kloter Jemaah Haji Banyuwangi Terkait Penutupan Bandara di Oman Surabaya 24 Juni 2025
Tertundanya Kepulangan 2 Kloter Jemaah Haji Banyuwangi Terkait Penutupan Bandara di Oman
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Sebanyak dua kelompok terbang (kloter) jemaah haji asal Banyuwangi, Jawa Timur (Jatim) ditunda kepulangannya ke Tanah Air karena bandara di negara Oman sempat ditutup.
Ratusan jemaah haji yang mengalami
penundaan penerbangan
itu tergabung di kloter 43 dan 44.
Mereka seharusnya berangkat dari Bandara Jeddah, Senin (24/6/2025) dini hari.
“Hanya memang kemarin itu bandara di Oman itu ditutup sementara begitu,” kata Sekretaris PPIH Debarkasi Surabaya, Sugiyo, ketika berada di Asrama Haji Surabaya, Selasa (24/6/2025).
Selain itu, kata Sugiyo, pihaknya hanya mendapatkan informasi alasan penundaan keberangkatan karena masalah keamanan.
Namun, dia belum mendapatkan informasi secara detail.
“Informasi yang kami terima demi keamanan begitu ya, jadi memang seperti itu, keamanan. (Terkait) detail (masalah) keamanannya kami belum mendapatkan konfirmasi, seperti apa,” katanya.
Sugiyo mengatakan, ratusan jemaah haji tersebut sekarang sudah diberi kamar untuk menginap di salah satu hotel Jeddah.
Situasinya kini dalam kondisi aman.
“Dikumpulkan juga untuk berdoa dan pemantapan, bahwa situasinya aman-aman saja, tidak perlu khawatir. Pemerintah selalu melaksanakan tindakan yang menjaga keamanan para jemaah,” ucapnya.
Sugiyo menyebut, PPIH belum mengetahui kapan jemaah kloter 43 dan 44 akan diberangkatkan kembali.
Namun, kelompok setelahnya sudah bisa terbang sesuai jadwal.
“Kalau jalurnya (penerbangannya) saya kurang belum paham. Tapi informasi yang saya terima untuk kloter 45 dan seterusnya tetap transit di
bandara Oman
sebagaimana sebelumnya,” ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, ratusan jemaah haji dari dua kloter 43 dan 44 asal Banyuwangi batal pulang ke Tanah Air karena adanya pembatalan jadwal penerbangan.
Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Banyuwangi, Chaironi Hidayat membenarkan dan mengatakan bahwa ada 760 jemaah haji yang tertahan di Mekkah.
“Mereka harusnya terbang dari bandara di Jeddah pada Selasa dini hari,” kata Chaironi, Selasa (24/6/2025).
Merujuk dari surat resmi yang dikeluarkan
Hajj Operation Command Centre
, penerbangan untuk dua kloter tersebut telah dibatalkan karena pertimbangan alasan keselamatan operasional yang tidak dapat ditunda.
Penundaan itu belum ditentukan sampai kapan.
Namun, dari informasi yang beredar dan belum diketahui sumber resminya, akan ada penjadwalan ulang.
“Penerbangan dijadwalkan ulang ada tanggal 26 (Juni),” kata Chaironi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/24/685abaa995c34.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tak Merasa Pegang Sertifikat tetapi Ditagih PBB 5 Tahun, Puluhan Warga Nunukan Mengadu ke DPRD Regional 24 Juni 2025
Tak Merasa Pegang Sertifikat tetapi Ditagih PBB 5 Tahun, Puluhan Warga Nunukan Mengadu ke DPRD
Tim Redaksi
NUNUKAN, KOMPAS.com
– Puluhan warga Kelurahan
Nunukan
Barat, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, mendatangi Gedung DPRD Nunukan pada Selasa (24/6/2025) untuk memprotes tagihan
Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) selama lima tahun yang dikirim oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda).
Mereka mempertanyakan legalitas tagihan atas lahan yang selama ini tidak mereka ketahui atau kuasai.
Wakil Ketua Dewan Majelis Adat Dayak Tidung, Syahdan, mengungkapkan bahwa warga belum pernah melihat sertifikat lahan tersebut, apalagi menerima hasil dari kerja sama lahan plasma.
“Sertifikatnya saja kita tidak pernah lihat, kok bisa tiba-tiba kami dikirimi tagihan PBB, malah tertulis terutang lima tahun,” kata Syahdan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Nunukan, Andi Mariyati, dan Ketua Komisi 2, Andi Fajrul Syam.
Syahdan menjelaskan bahwa pada 2013 pernah ada pemberitahuan terkait pembagian lahan seluas 2.169 hektar yang dianggap sebagai lahan plasma, dikelola PT Palm Segar Lestari (PSL) dan sebanyak 1.169 sertifikat atas nama masyarakat Nunukan Barat diterbitkan pada 2019.
“Tagihan itu hanya diterima sebagian dari kami saja. Ini kan kami tidak pernah lihat sertifikatnya, tidak pernah terima hasil plasma juga, tiba-tiba tagihan pajak datang. Kan tidak masuk akal,” tambahnya.
Kepala Bapenda Nunukan, Fitraeni, menjelaskan bahwa Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) diterbitkan berdasarkan data dari Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian (DKPP).
“Kalau untuk terutang 5 tahun, itu sesuai tahun terbit. SPPT PBB terbit pada 2019, dan sesuai Perbup Pasal 58 ayat 4, untuk pajak terutang diterbitkan 5 tahun sesuai tahun terbit sertifikat,” kata Fitraeni.
Dari total 1.169 sertifikat, Bapenda hanya menerbitkan 690 tagihan karena hanya data itu yang dilengkapi dengan KTP, alas hak, dan nomor alas hak.
Kepala DKPP Nunukan, Muhtar, menegaskan bahwa lahan tersebut adalah hasil redistribusi tanah, bukan lahan plasma seperti yang diyakini sebagian warga.
“Dan itu sertifikatnya ada di manajemen lama PT PSL namanya Pak Yudianto. Ini agak sulit karena sejak 2024 perusahaan berganti pemilik, dari sebelumnya Ayong menjadi milik Juanda,” jelas Muhtar.
Muhtar membantah dugaan bahwa sertifikat digunakan sebagai jaminan pinjaman bank.
“Kalau sertifikat tanah redistribusi tidak akan mungkin dijaminkan karena ada stempel pajak terutang. Beda sertifikat plasma itu bisa,” kata Muhtar.
Ia menambahkan bahwa banyak nama ganda dalam daftar penerima sertifikat.
“Ada yang punya dua sertifikat, lima sampai enam sertifikat. Bahkan ada yang sepuluh sertifikat,” imbuhnya.
Lurah Nunukan Barat, Julziansyah, mempertanyakan alasan perbedaan status lahan antara warga Nunukan Barat dan Tanjung Harapan, meski keduanya mengacu pada SK Bupati tahun 2013.
“Pertanyaannya, kenapa lahan warga Nunukan Barat tidak jadi plasma, sementara dasar suratnya sama, SK Bupati Nunukan Nomor: 138.45/859/IX/2013 tentang Program kemitraan revitalisasi perkebunan binaan PT PSL di Kabupaten Nunukan Tahun 2013,” kata dia.
Direktur PT PSL, Andik Arling, menyampaikan bahwa pihaknya baru mengambil alih perusahaan dari manajemen sebelumnya pada tahun 2024, dan saat ini masih fokus membenahi lahan inti.
“Kita baru take over tahun 2024. Kita masih fokus membenahi lahan inti sebelum beralih ke plasma. Beri kami waktu untuk perbaikan, dan selanjutnya kita akan bertemu dengan pihak koperasi untuk membahas hal yang berkenaan hak dan kewajiban perusahaan,” ujarnya.
Wakil Ketua DPRD Nunukan, Andi Mariyati, menyarankan agar PT PSL memiliki kantor di wilayah Nunukan untuk memudahkan komunikasi dan penyelesaian konflik.
“Saran saya, perusahaan harus ada kantor di Nunukan. Ini untuk memudahkan penyelesaian konflik dan demi harmonisasi masyarakat dan perusahaan. Kalau ada kantor di Nunukan, solusi bisa lebih cepat terakomodasi,” katanya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/24/685abe4906b30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Fasilitas Wisata Toron Samalem di Pamekasan Ludes Terbakar, Apa Penyebabnya? Surabaya 24 Juni 2025
Fasilitas Wisata Toron Samalem di Pamekasan Ludes Terbakar, Apa Penyebabnya?
Tim Redaksi
PAMEKASAN, KOMPAS.com
– Fasilitas Wisata Kampung Toron Samalem di Desa Blumbungan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, terbakar pada Selasa malam (24/6/2025) pukul 18. 40 WIB.
Gazebo melingkar dan kamar mandi di tempat wisata tersebut ludes terbakar.
Anggota Tim Pemadam Kebakaran (Damkar) Regu 03, Syaiful Arif menyampaikan, kebakaran berlangsung cepat. Sebab, gazebo terbuat dari bahan yang mudah terbakar.
“Gazebonya sangat cepat terbakar. Tapi kami tetap berusaha memadamkan api sampai melakukan pendinginan di lokasi,” katanya.
Petugas Damkar sempat kesulitan memadamkan api karena gazebo berada di ketinggian 50 meter.
Mobil damkar tidak bisa menjangkau lokasi. Sehingga, digunakan dua selang air ke atas untuk memadamkan api.
“Akses ke lokasi sangat sulit. Tapi kita naik menarik selang dan dibantu warga di lokasi,” tuturnya.
Menurutnya, selain akses sulit, di lokasi tersebut terjadi pemadaman listrik karena kabel ikut terbakar.
Dugaan sementara kebakaran diakibatkan terjadinya korsleting listrik. Sebab di lokasi ada kabel besar yang terbakar.
Mosleh (47), warga setempat, mengatakan, pihaknya langsung melapor ke petugas damkar saat mendengar tempat wisata Toron Samalem terbakar.
“Sepertinya memang akibat listrik, yang terbakar gazebo dan kamar mandi,” katanya.
Menurutnya, lokasi wisata tersebut sempat ditutup dan tidak terawat satu tahun. Namun dibuka lagi tapi tidak ada pengunjung.
“Yang biasa merawat sudah tidak ada. Sudah lama tidak dikelola karena sepi pengunjung,” katanya.
Lokasi wisata tersebut cukup jauh dari permukiman warga. Sehingga, kebakaran tidak diketahui dengan cepat oleh warga sekitar.
Lokasi wisata tersebut dibuka pada 2018 dengan tarif Rp 15.000 per orang.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/10/02/66fc86c5816b4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Diduga Diperas Oknum Polisi Surabaya dan Preman, 2 Mahasiswa Dimintai Rp 10 Juta Surabaya 24 Juni 2025
Diduga Diperas Oknum Polisi Surabaya dan Preman, 2 Mahasiswa Dimintai Rp 10 Juta
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Dua
mahasiswa
diduga diperas oleh anggota
Polsek TandesSurabaya
dan preman.
Dua mahasiswa itu, yakni KV (23) dan RA (23) mengalami kejadian tersebut setelah pulang dari kondangan di kawasan Krian, Sidoarjo,
Jawa Timur
pada Kamis (19/6/2025) sekitar pukul 22.00 WIB.
Ayah KV, Djumadi menceritakan bahwa putrinya saat itu bersama teman pulang dari kondangan menggunakan mobil.
“Mereka mengendarai mobil keluar dari exit Tol Tambak Sumur Pondok Candra, Sidoarjo ada sedikit persenggolan dengan roda dua tapi enggak masalah,” kata Djumadi saat dihubungi
Kompas.com
, Selasa (24/6/2025).
Setelah menyelesaikan masalah yang bersinggungan dengan pengendara roda dua, KV dan RA melanjutkan perjalanannya dan berhenti di tempat yang lebih aman untuk mengecek kondisi mobil, tak jauh dari Pondok Candra.
Namun, tak lama setelah berhenti, dua orang berboncengan roda dua tiba-tiba berhenti di depan mobilnya. Dua orang itu salah satunya berseragam
polisi
, sedangkan satu lagi berbaju bebas.
“Baru berhenti, tiba-tiba datang sepeda motor yang dikendarai oleh satu orang berseragam polisi dan satu orang preman. Langsung motong depan mobil,” ujarnya.
Djumadi menyampaikan bahwa orang berseragam polisi tersebut menggebrak pintu mobil bagian kanan. Sementara itu, preman menggebrak pintu mobil sebelah kiri.
“Digebrak-gebrak, maksa buka pintu buka pintu, buka kaca, mana KTP,” ucap Djumadi menirukan perkataan oknum polisi.
RA yang kebingungan pun lantas menanyakan maksud dari kedatangan dua orang tersebut. Saat itu, keduanya berdalih bahwa ada operasi gabungan dari TNI dan Polri.
“Waktu di cek KTP karena berbeda, kan cuma teman kuliah, mereka dituduh berbuat macam-macam. Anak saya posisi pakai kain batik panjang karena habis terima tamu,” ujarnya.
Tak lama setelahnya, oknum polisi tersebut mengambil alih setir mobil dan memaksa menuju Mapolda Jawa Timur, Jalan A Yani Surabaya.
Sementara itu, sang preman pergi meninggalkan mereka bertiga.
Setelah sampai di Jalan A Yani, oknum polisi tidak ingin masuk ke gerbang Mapolda. Dia berhenti di pinggir jalan dengan alasan banyak anak buah dan wartawan.
“Akhirnya dibawa muter-muter Jalan A Yani sampai empat kali. Hingga akhirnya bilang ‘Sudah begini saja, saya mau bantu kamu. Kamu ada duit 10 juta enggak?’,” katanya.
KV dan RA pun menolak karena tidak membawa 10 juta. Oknum polisi itu, katanya, bersikeras meminta tujuh juta.
KV yang ketakutan akhirnya menelpon Djumadi. Djumadi mengaku mendengar anaknya dibentak dan menanyakan profil dirinya.
Karena tidak kunjung mendapatkan uang, oknum polisi lantas memaksa KV dan RA menuju minimarket yang tak jauh dari Mapolda Jatim untuk menarik uang dari mesin ATM.
“Ada berapa uang di ATM-mu? katanya. Anak saya dan temannya bohong jawab tinggal Rp 500.000 dan Rp 150.000. Dan si oknum memaksa untuk ambil dan mengancam,” tuturnya.
ATM milik KV dan RA pun diambil oleh oknum polisi. Mereka diminta membayar Rp 7 juta kurangnya pada esok hari pukul 05.00 WIB.
Saat perjalanan menuju minimarket, KV sempat memotret wajah oknum polisi dan mengirimkan foto itu kepada ayahnya melalui pesan.
Foto tersebut dijadikan barang bukti dan Djumadi menanyakan identitas oknum polisi itu kepada sejumlah koleganya di jajaran Polresta Sidoarjo dan Polrestabes Surabaya
“Akhirnya jam 6 ada yang telepon menyebutkan identitasnya mengacu kepada salah satu oknum anggota Polsek Tandes, Bripka H,” katanya.
Djumadi mengatakan bahwa Bripka H kini telah diamankan oleh jajaran Polrestabes Surabaya. KV dan RA pun telah menjalani pemeriksaan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/24/685a9faa0c371.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Motor Kredit Dibawa Kabur Karyawan, Pemilik Koperasi di Lumajang Divonis 6 Bulan Penjara Surabaya 24 Juni 2025
Motor Kredit Dibawa Kabur Karyawan, Pemilik Koperasi di Lumajang Divonis 6 Bulan Penjara
Tim Redaksi
LUMAJANG, KOMPAS.com
– Reno Hermansyah, pemilik koperasi di Kabupaten
Lumajang
, Jawa Timur, divonis 6 bulan penjara gara-gara motor yang dibelinya secara kredit dibawa kabur karyawannya sendiri.
Juru Bicara Pengadilan Negeri Lumajang, I Gede Adhi Gandha Wijaya menjelaskan, terdakwa Reno secara menyakinkan mengalihkan jaminan yang menjadi objek fidusia.
Terdakwa divonis beradasarkan Pasal 36 jo Pasal 23 Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia.
Pada kasus ini, Reno dinyatakan terbukti menggelapkan sepeda motor kreditan sebanyak 5 unit yang menjadi obyek fidusia.
Tindakan tersebut membuat pihak kreditur, yakni FIF Cabang Lumajang merugi hingga Rp 151 juta.
“Pidana penjara 6 bulan dan denda Rp 5 juta subsider 3 bulan kurungan penjara,” kata Gandha di Pengadilan Negeri Lumajang, Selasa (24/6/2025).
Gandha menjelaskan, perkara berawal saat Reno yang merupakan seorang pengurus sebuah koperasi di Lumajang mengambil kredit 5 unit sepeda motor untuk digunakan sebagai kendaraan operasional karyawan.
Namun di tengah jalan, koperasi yang dijalankan Reno mengalami kebangkrutan. Sengkarut manajemen koperasi yang didalilkan Reno membuat 5 unit sepeda motor dibawa kabur oleh para staf koperasinya.
“Pada saat persidangan terdawak menerangkan dalil yang disampaikan bahwa terdakwa ini sebagai pengurus koperasi mengalami kebangkrutan. Lalu motor tersebut dibawa lari stafnya. Sejauh ini kami menerima informasi ada dua orang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO),” ujar Gandha.
Sementara itu, putusan yang dijatuhkan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta terdakwa dihukum 10 bulan penjara.
Menurut Gandha, ada sejumlah pertimbangan yang membuat majelis hakim menjatuhi vonis 6 bulan penjara.
Di antaranya, majelis hakim tidak menemukan niat murni dari terdakwa untuk menghilangkan motor tersebut.
“Tidak ditemukan niat murni dari terdakwa untuk membawa kabur motor. Motor dibawa oleh pelaku lain yang merupakan pegawai koperasi dan ini masih buron,” jelas Gandha.
Sementara, Remedial Head FIF Cabang Lumajang, Satria Andhika Dharma menilai vonis yang dijatuhkan Pengadilan Negeri Lumajang terlampau ringan.
“Karena perusahaan ini sudah merugi ratusan juta rupiah. Dengan vonis tersebut dirasa tidak sepadan,” Katanya.
Satria menambahkan, duduk perkara ini bermula ketika Reno mengajukan kredit pembelian 5 unit sepeda motor ke FIF kisaran tahun 2023. Tenor yang dipilih untuk mengangsur ansuran yakni 3 tahun.
Kata Satria, pembelian kredit motor ditujukan untuk operasional karyawan.
“Kenapa milih motor jenis tersebut karena katanya pegawainya badannya besar-besar. Biasanya kalau koperasi itu mengajukan kredit ya motor bebek,” Jelasnya.
Menurut Satria, terdakwa awalnya rutin membayar angsuran hingga berjalan pembayaran 10 kali angsuran. Namun di tengah jalan tidak ada pembayaran angsuran dan kelima motor yang dikredit dikabarkan digelapkan. Alhasil, pihak FIF melayangkan laporan polisi pada 23 Desember 2024.
“Terkait vonis ini pihak perusahaan masih berkoordinasi lebih lanjut terkait langkah selanjutnya,” tandasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/06/24/685acc79c2fad.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)