Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
PEMBLOKIRAN
rekening masyarakat sipil yang tidak aktif (dormant) mulai dilonggarkan. Namun, jangan buru-buru spontan memuji.
Pelonggaran ini bukanlah tanda bahwa kebijakan membaik, melainkan merupakan pengakuan diam-diam atas logika serampangan yang pernah, dan mungkin masih, dijalankan negara atas nama intelijen keuangan (
financial intelligence
).
Kita pernah, dan tampaknya masih, hidup dalam rezim pengawasan keuangan yang menyamakan rekening pasif dengan potensi kriminal, menukar prinsip kehati-hatian dengan paranoia institusional.
Tak pernah terbesitkah di benak
PPATK
bahwa sebagian rekening yang mereka blokir itu mungkin milik seseorang yang sedang sakit dan tengah menyimpan dana untuk membayar tagihan medis?
Sebab, sekalipun menggunakan BPJS, tetap ada biaya tambahan (
out of pocket
) yang harus ditanggung sendiri.
Bagaimana jika rekening itu adalah tempat orang menabung untuk kuliah anaknya lima tahun ke depan? Atau dana darurat yang memang sesuai namanya tidak akan digunakan dalam waktu dekat?
Negara, melalui PPATK, tampak menjalankan kebijakan seolah semua orang wajib menjadi makhluk transaksional harian agar tidak dianggap menyimpan uang jahat.
Logika sekelas lembaga negara ini bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga tidak mengenal atau pura-pura tidak paham kompleksitas perilaku ekonomi warga.
Pemerintah menolak realitas bahwa dalam realitasnya, orang tidak hidup untuk bertransaksi setiap minggu. Ada kehati-hatian, ada perencanaan, ada jeda. Dan jeda semacam itu bukanlah sebuah kejahatan.
PPATK berdalih bahwa pemblokiran ini merupakan respons atas lonjakan transaksi judi online. Namun, hingga kini, tidak ada data resmi yang dirilis ke publik.
Sementara di lapangan, rekening milik pelajar, ibu rumah tangga, petani, dan pensiunan turut dibekukan.
Apakah mereka semua penjudi, atau justru korban dari logika administratif yang malas membedakan mana kehati-hatian dan mana pelanggaran hukum?
Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin memerangi judi online, maka yang dibutuhkan adalah penelusuran berbasis bukti, audit menyeluruh terhadap sistem pembayaran ilegal, pemantauan digital yang cermat, serta koordinasi lintas aparat penegak hukum.
Bukannya justru menyebar jaring besar ke seluruh nasabah pasif dan berharap pelaku kejahatan tertangkap di antara jutaan warga yang bersih.
Hingga Mei 2025, PPATK melaporkan telah memblokir 31 juta rekening nasabah yang berstatus dormant dengan nilai total Rp 6 triliun, sebagai tindak lanjut atas data yang dilaporkan oleh 107 bank.
Dari jumlah itu, sebanyak 10 juta rekening penerima bantuan sosial tidak pernah digunakan, dengan dana mengendap sebesar Rp 2,1 triliun.
Sementara lebih dari 2.000 rekening milik instansi pemerintah dan bendahara pengeluaran juga dinyatakan dormant, dengan total dana hampir Rp 500 miliar (
Kompas.id
, 30/7/2025).
Namun angka-angka ini seolah tak punya bobot, karena dalam logika PPATK, yang dinilai bukan siapa yang menyalahgunakan, tetapi siapa yang tidak bergerak.
Rekening-rekening ini dibekukan hanya karena terlalu “diam”, terlalu lama tidak menyentuh ATM, terlalu jarang bertransaksi, terlalu sunyi bagi algoritma yang mencurigai apa pun yang tak bergerak.
Kini, PPATK menyatakan rekening pasif bisa diaktifkan kembali jika tidak terindikasi tindak pidana, seolah melupakan bahwa negara pernah merasa berhak membekukan dana yang secara hukum bukan miliknya, hanya atas dasar kecurigaan massal.
Inilah kekacauan logika yang kini kita hadapi, kehati-hatian finansial dianggap sebagai penyamaran kriminal; tabungan disamakan dengan pencucian uang; dan warga dipaksa membuktikan bahwa keheningan rekening bukanlah konspirasi jahat.
Negara tidak lagi bekerja berdasarkan asas praduga tak bersalah (
presumption of innocence
), melainkan dengan logika curiga dahulu, mengumpulkan bukti kemudian (
presumption of suspicion
).
Dan seperti biasa, yang paling mudah dicurigai adalah yang paling lemah, rakyat biasa yang hanya menabung, bukan terikat pencucian uang.
Dari semua yang terjadi, satu pertanyaan paling mengganggu dan tak bisa dihindari, mengapa PPATK begitu cepat dan berani memblokir rekening milik rakyat biasa, tapi begitu lamban dan hati-hati, bahkan tidak bernyali saat berhadapan dengan rekening milik pejabat, politisi, atau tokoh berpengaruh?
Bukankah pada tahun 2024 PPATK telah melaporkan adanya transaksi mencurigakan senilai Rp 80,1 triliun yang melibatkan partai politik, calon anggota legislatif, petahana, dan pejabat aktif? (
Kompas.id
, 27 Juni 2024).
Laporan itu bahkan telah diserahkan ke aparat penegak hukum, tapi tidak ada pemblokiran. Tidak ada pembekuan rekening. Tidak ada tindakan langsung. Hanya menjadi laporan yang dibiarkan menguap di antara kepentingan.
Sementara itu, jutaan rekening milik masyarakat sipil dibekukan secara cepat dalam hitungan minggu, tanpa perlindungan hukum, tanpa pembuktian, dan tanpa ruang klarifikasi.
Dalam wajah kebijakan yang seperti ini, kita tak sedang melihat lembaga intelijen keuangan yang profesional, melainkan lembaga yang menjalankan logika ketakutan vertikal dan keberanian horizontal.
Takut ke atas, berani ke bawah, tajam ke bawah tumpul ke atas.
Terhadap pejabat yang memutar uang dalam gelap, PPATK cukup mengirim dokumen. Terhadap rakyat kecil yang diam menabung, PPATK langsung bertindak.
Jika standar keberanian ditentukan oleh posisi sosial, maka yang sedang dijalankan bukan lagi analisis risiko, melainkan politik kepatuhan yang pincang.
PPATK, yang seharusnya menjadi benteng akuntabilitas dalam lalu lintas keuangan nasional, justru berpotensi menjadi alat seleksi siapa yang layak ditekan dan siapa yang aman dibiarkan.
Lebih parah dari sekadar salah logika, tindakan PPATK juga menabrak batas kewenangan yang secara eksplisit telah diatur oleh hukum.
Dalam konstruksi hukum positif Indonesia, PPATK bukanlah aparat penegak hukum. Ia bukan polisi, bukan jaksa, bukan hakim.
Ia adalah lembaga intelijen keuangan yang tugas utamanya adalah menganalisis, melaporkan, dan memberikan rekomendasi. Bukan mengambil tindakan pemblokiran sepihak atas rekening warga negara tanpa prosedur hukum yang sah.
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK hanya dapat meminta pemblokiran kepada lembaga keuangan apabila terdapat dugaan kuat keterkaitan dengan tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme.
Itu pun bersifat sementara, dibatasi waktu maksimal 30 hari, dan harus ditindaklanjuti oleh penyidik melalui mekanisme hukum yang benar.
Artinya, PPATK sebenarnya tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengeksekusi pemblokiran rekening secara mandiri, apalagi terhadap jutaan rekening milik warga sipil yang bahkan tidak sedang diperiksa dalam perkara pidana.
Jika pemblokiran dilakukan tanpa keterlibatan aparat penegak hukum dan tanpa perintah pengadilan, maka itu bukan sekadar pelanggaran administratif, itu adalah bentuk penyalahgunaan wewenang.
Apa yang dilakukan PPATK tidak hanya keliru secara hukum nasional, tetapi juga menyimpang dari prinsip-prinsip internasional yang mengatur kerja lembaga intelijen keuangan.
Dalam bukunya,
Anti-Money Laundering: A Comparative and Critical Analysis
, Alhosani (2016) mengingatkan bahwa Financial Intelligence Unit (FIU), termasuk seperti PPATK, bukanlah lembaga penegak hukum, melainkan unit analitik yang tugas utamanya adalah mengolah data, menyusun laporan intelijen keuangan, dan menyerahkannya kepada penegak hukum yang berwenang.
Memberi kewenangan langsung kepada FIU untuk membekukan rekening tanpa perintah pengadilan atau proses yuridis adalah penyimpangan struktural yang membuka ruang bagi otoritarianisme finansial.
Lebih lanjut, Alhosani menyebutkan bahwa banyak negara yang kini justru terjebak dalam kecenderungan menyerahkan kewenangan eksekutif kepada FIU dengan dalih efisiensi, padahal yang sebenarnya terjadi adalah perampasan prosedur hukum atas nama pencegahan kejahatan.
Inilah yang disebutnya sebagai “function creep”, saat sebuah lembaga yang semestinya berperan sebagai penganalisis, justru perlahan-lahan berubah menjadi eksekutor, mengaburkan garis batas antara intelijen dan penegakan hukum.
Dalam konteks Indonesia, tindakan PPATK memblokir 31 juta rekening, tanpa prosedur hukum, tanpa pembuktian, tanpa mekanisme klarifikasi adalah bentuk paling ‘konyol’ dari penyalahgunaan wewenang administratif yang melampaui batas fungsi kelembagaan.
Ini bukan lagi kerja intelijen keuangan, ini adalah penghakiman sepihak yang diselubungi jargon keamanan.
Negara seolah sedang membangun logika, “Kami curiga, maka Anda bersalah, dan kami tak perlu pengadilan untuk membenarkannya”.
Padahal, dalam logika negara hukum, bahkan terhadap seorang tersangka korupsi pun negara tetap wajib memberikan proses yang sah, ruang pembelaan, dan kesempatan untuk menjelaskan.
Mengapa prinsip yang sama tidak berlaku bagi, perintis usaha kecil, pengemudi ojek online, ibu rumah tangga, pensiunan, atau pelajar yang hanya sebatas menabung? Mengapa asas praduga tak bersalah hanya berlaku bagi pejabat, tapi justru tidak bagi rakyat biasa?
Inilah yang menjadikan kebijakan pemblokiran massal terhadap
rekening dormant
bukan hanya ngawur secara ekonomi, tapi juga cacat secara hukum.
Negara tidak boleh bertindak atas dasar asumsi sambil mengabaikan prosedur hukum yang menjadi fondasi perlindungan hak sipil.
Jika PPATK bisa membekukan dana seseorang hanya karena tidak aktif bertransaksi, tanpa indikasi tindak pidana dan tanpa proses hukum, maka kita sedang berhadapan dengan lembaga yang menjelma menjadi hakim, jaksa, dan algojo sekaligus, tanpa pengawasan yudisial.
Negara hukum tidak memberi tempat bagi logika bahwa dugaan bisa menggantikan bukti, dan kekuasaan administratif bisa menggantikan proses peradilan.
Bahkan dalam konteks kejahatan keuangan yang kompleks sekalipun,
legal authority
tidak pernah lahir dari otoritas fungsional semata.
Tidak cukup bahwa PPATK tahu, atau menduga, atau mengamati, mereka harus tunduk pada proses, harus tunduk pada pembuktian, harus tunduk pada hukum.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Author: Kompas.com
-
/data/photo/2023/10/12/65276d0ca3bb9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Otoritarianisme Finansial dan Logika Serampangan Pemblokiran Rekening oleh PPATK Nasional 2 Agustus 2025
-
/data/photo/2025/08/02/688d702a1615a.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Amnesti-Abolisi Prabowo yang Buat Hasto dan Tom Lembong Tersenyum Lega Usai Bebas Nasional 2 Agustus 2025
Amnesti-Abolisi Prabowo yang Buat Hasto dan Tom Lembong Tersenyum Lega Usai Bebas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P),
Hasto
Kristiyanto tersenyum lebar setelah mendapat pengampunan atau amnesti dari Presiden
Prabowo
Subianto.
Dia bebas dari jerat vonis 3,5 tahun penjara dalam kasus penyuapan korupsi Harun Masiku.
Hasto dibebaskan dari Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, Jakarta pada Jumat (1/8/2025) malam, sekitar pukul 21.20 WIB.
Dia keluar dari Rutan KPK menggunakan kaus merah, jas berwarna hitam, dan kacamata berbingkai hitam.
Senyum yang merekah di wajah Hasto itu juga dibarengi dengan pengucapan terima kasih kepada Prabowo atas kebijakan amnesti yang dia terima.
“Pada prinsipnya saya menghormati keputusan amnesti Presiden Prabowo dan mengucapkan terima kasih atas keputusan amnesti yang telah mendengarkan perjuangan keadilan,” kata Hasto, Jumat.
Atas keputusan Presiden, Hasto menyampaikan bahwa pihaknya memutuskan tidak akan menempuh upaya hukum banding terhadap vonis yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat pada 25 Juli 2025 lalu.
Senyum yang sama terlihat di wajah Thomas Trikasih Lembong atau
Tom Lembong
yang bebas dari Rutan Cipinang, Jakarta pada pukul 22.06 WIB.
Tom Lembong bebas
dari Rutan Cipinang karena mendapat abolisi atau penghapusan kasus terkait importasi gula dari Presiden Prabowo.
Mengenakan kaus berkerah warna biru tua, Tom Lembong mengangkat tangan memberi salam ke orang-orang yang hadir untuk mengiringi kebebasannya.
Tangan kanannya sempat ditarik oleh pendukungnya dari kaum ibu-ibu, namun Tom tetap terlihat tenang dan tetap menampakkan wajahnya ke orang-orang.
“Saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto atas pemberian abolisi serta kepada pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat atas pertimbangan dan persetujuannya,” kata Tom Lembong.
Peristiwa terkait pembebasan para terdakwa kasus korupsi ini sangat jarang terjadi, termasuk terkait abolisi dan amnesti di tengah proses banding yang masih berjalan.
Bagaimana kronologi pemberian amnesti-abolisi untuk Hasto dan Tom Lembong?
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengungkapkan, alasan utama Presiden Prabowo mengusulkan amnesti dan abolisi terhadap sejumlah tokoh, antara lain Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto.
Menurut Supratman, usulan tersebut didasarkan atas pertimbangan demi persatuan nasional dan stabilitas politik, sekaligus dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan RI.
“Pertimbangannya sekali lagi dalam pemberian abolisi ataupun amnesti itu pasti pertimbangannya demi kepentingan bangsa dan negara berpikirnya tentang NKRI. Jadi, itu yang paling utama,” kata Supratman dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Kamis, 31 Juli 2025.
Kedua, pertimbangannya adalah kondusivitas dan merajut rasa persaudaraan di antara semua anak bangsa.
Pasalnya, tidak hanya Tom Lembong dan Hasto yang menikmati kebijakan tersebut. Supratman menjelaskan, ada 44.000 nama yang diusulkan untuk diberikan amnesti.
Namun, baru ada 1.178 orang yang memenuhi syarat untuk menerima kebijakan tersebut, enam di antaranya tahanan yang merupakan orang Papua yang dianggap melakukan makar tanpa senjata.
Usai menghirup udara bebas, Hasto mengatakan, kebebasannya akan digunakan untuk memperjuangkan rakyat kecil dan berorientasi pada tugasnya di PDI-P.
“Lebih berjuang bagi kepentingan
wong cilik
yang harus menjadi orientasi dari seluruh simpatisan, anggota, dan kader PDIP,” ujarnya di Gedung Merah Putih KPK, Jumat malam.
Dia mengatakan, momentum ini akan digunakan untuk lebih mencintai Indonesia.
“Amnesti dari Bapak Presiden Prabowo telah ikut menjawab keadilan itu, saya akan gunakan momentum ini untuk lebih mencintai Republik ini,” tuturnya.
Sedangkan Tom Lembong akan bergerak menyuarakan perbaikan hukum di Indonesia setelah mendapat abolisi dari Prabowo.
Tom mengaku tidak ingin hari kebebasannya menjadi akhir cerita. Sebagai penyintas, dia ingin menguarakan perbaikan hukum.
“Saya tidak ingin kemerdekaan saya hari ini menjadi akhir dari cerita, saya ingin ini menjadi awal dan tanggung jawab bersama saya ingin menyuarakan, mengingatkan,” kata Tom di Rutan Cipinang, Jakarta Timur, Jumat malam.
“Bila mungkin membantu agar sistem hukum kita menjadi lebih adil, lebih jernih dan lebih memihak kepada kebenaran alih-alih pada kepentingan sempit tertentu,” ujarnya lagi.
Tom lantas mengaku merasa beruntung karena kasusnya diperhatikan publik. Dia juga mendapatkan dukungan dari banyak pihak, termasuk tokoh-tokoh besar dan masyarakat.
Namun, Tom merasa tak bisa melupakan orang-orang yang senasib dengan dirinya. Mereka, menurut dia, dihadapkan pada ketidakadilan hukum namun tidak bisa bersuara dan tak berdaya.
“Mereka yang mungkin mengalami nasib serupa tetapi tidak punya suara, tidak punya sorotan, tidak punya perlindungan,” ujar Tom Lembong.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/07/31/66a9c94dbfaf4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mantan Jubir KPK Johan Budi Jadi Komisaris Transjakarta Megapolitan 2 Agustus 2025
Mantan Jubir KPK Johan Budi Jadi Komisaris Transjakarta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mantan juru bicara KPK
Johan Budi
Sapto Pribowo ditunjuk sebagai komisaris baru
Transjakarta
.
“Selamat bertugas Bapak Johan Budi Sapto Pribowo sebagai
Komisaris Transjakarta
,” mengutip postingan media sosial Instagram @pt_transjakarta, Sabtu (2/8/2025).
Selain Johan Budi, Transjakarta juga menunjuk dua komisaris baru lainnya, yaitu Zudan Arif Fakrulloh dan Muhammad Ainul Yakin.
Ketiga komisaris baru ini diharapkan memberikan perubahan baik untuk Transjakarta ke depannya demi menunjang Jakarta menjadi kota global.
“Selamat mengemban amanah baru. Terus hadirkan perubahan nyata demi transportasi publik yang lebih modern, aman, dan terjangkau. Bersama membangun Transjakarta semakin inklusif untuk menuju Jakarta kota global,” ujarnya.
Penggantian
komisaris Transjakarta
ini juga beriringan dengan selesainya masa tugas komisaris sebelumnya, yaitu Mashuri Masyhuda dan Bambang Eko Martono.
“Terima kasih atas dedikasi sebagai Komisaris Transjakarta untuk Bapak Mashuri Masyhuda dan Bapak Bambang Eko Martono,” tuturnya.
Kompas.com telah mencoba menghubungi Kepala Departemen Humas dan CSR Transjakarta Ayu Wardhani terkait perombakan komisaris Transjakarta, tetapi belum mendapatkan jawaban.
Johan Budi pernah menjabat sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi sejak Januari 2016. Sebelum masuk Istana Kepresidenan, dia merupakan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi.
Johan bahkan sempat menjadi pimpinan KPK. Pada Pileg 2019, dia bergabung dengan PDI-P dan menjadi calon anggota legislatif dari partai berlambang banteng itu.
Johan yang maju di dapil Jawa Timur VII meraih 76.395 suara. Meski kini menjadi politisi dan sebelumnya menjadi “wajah” KPK, Johan memulai kariernya sebagai peneliti dan wartawan.
Ia pernah menjadi kolumnis Harian Media Indonesia dari 1994 hingga1999. Ia juga menyambi sebagai reporter dan editor Majalah Forum Keadilan pada 1995–2000.
Setelah itu, Johan Budi bergelut di Majalah Tempo sebagai editor desk Politik selama setahun, dari 2000 ke 2001. Di Majalah Tempo, ia menduduki posisi lainnya menjadi Kepala Biro Jakarta dan Luar Negeri, editor desk Nasional, dan editor desk Investigasi.
Tak hanya itu, ia sempat menjadi dosen di Fakultas Komunikasi Massa Universitas Indonusa Esa Unggul pada 2004–2005 sebelum akhirnya ditarik jadi juru bicara KPK pada 2006.
Ia menjadi juru bicara lembaga antirasuah itu selama delapan tahun. Pada 2014, Johan diangkat sebagai Deputi Pencegahan KPK.
Tahun berikutnya, ia dijadikan Pelaksana Tugas Pimpinan KPK bersama dua pelaksana tugas lain, yaitu mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dan akademisi Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/06/04/683fd5695bf47.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ramai soal Bendera "One Piece" Jelang HUT RI, Dasco: Merah Putih Satu-satunya yang Dikibarkan Nasional 2 Agustus 2025
Ramai soal Bendera “One Piece” Jelang HUT RI, Dasco: Merah Putih Satu-satunya yang Dikibarkan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Wakil Ketua
DPR
RI sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra, Sufmi
Dasco
Ahmad menekankan bahwa
bendera Merah Putih
merupakan satu-satunya simbol nasional yang akan dikibarkan pada Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 RI pada 17 Agustus mendatang.
Dasco pun mengajak semua pihak untuk merayakan kemerdekaan dengan penuh semangat persatuan.
Hal tersebut disampaikan Dasco merespons fenomena ajakan pengibaran bendera dari manga
One Piece
menjelang
HUT RI
.
“Pada 17 Agustus, bendera Merah Putih tetap satu-satunya simbol nasional yang dikibarkan. Hal ini sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Mari kita rayakan kemerdekaan dengan penuh semangat persatuan dan kebangsaan,” ujar Dasco dalam keterangannya, Jumat (1/8/2025).
Selain itu, Dasco meminta agar tidak ada yang membenturkan para pencinta
One Piece
dengan nilai-nilai kebangsaan dan kecintaan terhadap Merah Putih.
“Tidak perlu ada narasi yang mendiskreditkan penggemar
One Piece
sebagai makar atau upaya menjatuhkan pemerintah,” katanya.
Dasco mengimbau agar seluruh anak bangsa bersatu dan senantiasa waspada terhadap segala upaya yang dapat memecah belah bangsa.
Dia juga mengingatkan bahwa generasi muda melihat
One Piece
sebagai bagian budaya populer, bukan simbol separatis.
“
One Piece
ini manga yang sudah puluhan tahun tumbuh sama generasi muda kita. Ini salah satu staf saya anaknya sudah tiga, dia juga bilang dirinya Nakama (istilah untuk penggemar
One Piece
),” ujar Dasco.
Baru-baru ini ramai di media sosial pemberitaan mengenai pemasangan bendera bajak laut ala anime
One Piece
di sejumlah wilayah menjelang perayaan Hari Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2025.
Dalam video yang viral beredar di medsos, bendera itu banyak dipasang di belakang kendaraan besar seperti truk.
Selain itu, tidak sedikit orang yang mengibarkan bendera Jolly Roger itu di depan rumah jelang peringatah
HUT ke-80 RI
.
Meski beberapa pihak menilai pemasangan bendera
One Piece
sekadar bentuk ekspresi kreatif generasi muda, namun juga memicu kekhawatiran akan potensi gerakan yang bersifat kontra-pemerintah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/07/24/6881f1a8eedcd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/02/683d61e281ae3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2024/08/09/66b5ee165c62b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/01/688c88458c993.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/02/688d000fb1142.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)