Author: Kompas.com

  • 8
                    
                        Warga Nonton Merah Putih: One for All di Bioskop demi Lihat Kualitas Grafis
                        Megapolitan

    8 Warga Nonton Merah Putih: One for All di Bioskop demi Lihat Kualitas Grafis Megapolitan

    Warga Nonton Merah Putih: One for All di Bioskop demi Lihat Kualitas Grafis
    Tim Redaksi
     
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Warga bernama Rindra (40) sengaja meluangkan waktunya untuk menyaksikan film Merah Putih: One for All pada hari pertama penayangan di Cinema XXI Kemang Village, Jakarta Selatan, Kamis (14/8/2025).
    Rindra ingin menonton film besutan sutradara Endiarto itu untuk melihat resolusi grafisnya di layar lebar. 
    “Saya takut ini menjadi
    lost media
    saya. Di YouTube itu kan kelihatan bagaimana resolusinya kecil banget, dimentokin juga enggak bisa di YouTube,” kata Rindra saat berbincang dengan
    Kompas.com
    , Kamis.
    “Saya pengin lihat itu di layar lebar saja. Saya pengin mendapat sensasi orang nyanyi dari Betawi sampai Papua itu dengan audio bioskop. Itu utamanya,” tambah dia.
    Tidak sendiri, Rindra menyaksikan film berdurasi 70 menit itu dengan dua rekannya, Fikri (24), dan Virdi (28).
    Berbeda dengan Rindra, Fikri ingin menyaksikan Merah Putih: One for All karena tidak mau melewatkan kebangkitan film animasi di industri Tanah Air.
    Fikri menilai, industri animasi Indonesia tengah berada di puncak kejayaan usai penayangan film Jumbo besutan sutradara Ryan Adriandhy.
    “Karena kita sudah melihat Jumbo di era keemasannya. Nah kita harus melihat palung mariananya, yang paling bawahnya dulu. Jadi, kita punya perbandingan,” kata Fikri. 
    “Saya tidak ingin melewatkan kesempatan besar ini untuk menyaksikan titik nadir industri kebangkitan animasi Indonesia,” tambah dia.
    Untuk diketahui, 14 Agustus 2025 merupakan hari pertama penayangan film Merah Putih: One for All di seluruh layar lebar Indonesia.
    Ceritanya berfokus pada sekelompok anak yang terpilih menjadi “Tim Merah Putih” untuk menjaga bendera pusaka, bendera yang selalu dikibarkan pada setiap upacara 17 Agustus. Namun, tiga hari sebelum upacara, bendera tersebut hilang.
    Anak-anak ini pun memulai petualangan menelusuri hutan, menyusuri sungai, hingga menghadapi konflik batin untuk mencari bendera merah putih. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Anggota DPR Nilai Memutar Lagu di Pernikahan Tak Seharusnya Ditarik Royalti
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Anggota DPR Nilai Memutar Lagu di Pernikahan Tak Seharusnya Ditarik Royalti Nasional 14 Agustus 2025

    Anggota DPR Nilai Memutar Lagu di Pernikahan Tak Seharusnya Ditarik Royalti
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi XIII DPR, Willy Aditya menyatakan tidak sepakat penyelenggara acara pernikahan atau pengantin membayar royalti lagu komersial.
    Wacana itu sebelumnya digulirkan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Wahana Musik Indonesia (WAMI) dan memantik kritik dari publik.
    Politikus Partai Nasdem itu mengatakan, pemutaran lagu komersial di acara pernikahan, olahraga, hiburan warga, dan kegiatan serupa tidak perlu membayar royalti karena dipandang sebagai bentuk kegiatan sosial.
    “Ini tidak perlu lah ditakut-takuti dengan ancaman membayar royalti karena kegiatan demikian tidak ada sifat komersial di dalamnya,” kata Willy dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/8/2025).
    Menurut Willy, dalam beberapa waktu belakangan persoalan hak royalti lagu sudah menjadi polemik dan bergulir hingga memicu dampak sosial dan hukum yang rumit.
    Ia juga melihat terdapat kesan saling serang antara pihak yang memutar lagu tanpa mengetahui aturan royalti dengan pemilik royalti yang terkesan mencari celah untuk memanfaatkan situasi.
    “Tampilan yang demikian ini bukan tampilan khas kultur Indonesia yang gotong royong dan musyawarah,” ujar Willy.
    Willy menyoroti tindakan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Wahana Musik Indonesia (WAMI) yang mengusulkan pembayaran royalti di acara pengantin.
    Selain itu, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) juga menggugat restoran atas hak royalti sehingga para pengusaha kafe takut memutar lagu lokal.
    Persoalan semakin melebar, LMKN juga meminta hotel-hotel kecil membayar royalti atas pemutaran musik.
    Melihat situasi yang menjadi semakin liar, Willy mengaku sepakat Undang-Undang tentang Hak Cipta direvisi yang segera dibahas Komisi X DPR RI.
    “Saya setuju bahwa perlu ada pengaturan yang tegas dan jelas dari royalti di dalam perubahan UU Hak Cipta ke depan. Hal ini memang menjadi salah satu yang diwacanakan akan dibahas oleh Komisi X DPR,” ujar Willy.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Persiapan Prabowo Sebelum Pidato Kenegaraan Besok, Mensesneg: Berenang agar Rileks
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Persiapan Prabowo Sebelum Pidato Kenegaraan Besok, Mensesneg: Berenang agar Rileks Nasional 14 Agustus 2025

    Persiapan Prabowo Sebelum Pidato Kenegaraan Besok, Mensesneg: Berenang agar Rileks
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan persiapan Presiden Prabowo Subianto sebelum menyampaikan pidato kenegaraan di Gedung DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, pada Jumat (15/8/2025).
    Adapun salah satu persiapan yang dilakukan Presiden Prabowo adalah berenang.
    “Biasanya persiapannya Bapak Presiden itu berenang, supaya rileks,” kata Prasetyo Hadi usai gladi bersih upacara detik-detik proklamasi di Istana Merdeka, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025).
    Ia menyatakan, Presiden dan tim tengah berkonsentrasi untuk menyusun pidato kenegaraan hari ini.
    Isi pidatonya, kata Prasetyo, tidak akan melenceng dari asta cita dan program pemerintah.
    “Jadi beliau bersama dengan tim beberapa hari ini sedang berkonsentrasi untuk menyusun pidato tersebut yang tentunya penekanan-penekanannya tidak akan keluar dari asta cita dan apa yang menjadi program-program prioritas dari pemerintahan Bapak Prabowo Subianto dan Mas Gibran Rakabuming Raka,” ucap dia.
    Adapun pidato kenegaraan itu bakal disampaikan pada Jumat pagi.
    Setelahnya, Kepala Negara akan kembali ke Kompleks Parlemen pada sore hari.
    Pada sore hari itu, akan ada pembacaan nota keuangan untuk perencanaan anggaran tahun 2026, termasuk mengenai basis dasar kebijakan fiskal pemerintah.
    “Besok hari Jumat tanggal 15 pagi, Bapak Presiden akan menyampaikan pidato kenegaraan. Kemudian di sore harinya akan menyampaikan pidato nota keuangan untuk 2026,” tutur Prasetyo.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        MA Kabulkan Kasasi Agnez Mo, Hukuman Bayar Royalti Rp 1,5 M Dianulir
                        Nasional

    2 MA Kabulkan Kasasi Agnez Mo, Hukuman Bayar Royalti Rp 1,5 M Dianulir Nasional

    MA Kabulkan Kasasi Agnez Mo, Hukuman Bayar Royalti Rp 1,5 M Dianulir
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan penyanyi Agnes Monica Muljoto alias Agnez Mo dalam kasus pelanggaran hak cipta karena membawakan lagu “Bilang Saja” pada tiga konser tanpa izin penggugat, Arie Sapta Hernawan atau Arie Bias.
    “Amar putusan: Kabul,” sebagaimana dikutip dari situs resmi Mahkamah Agung, Kamis (14/8/2025).
    Perkara kasasi Agnez Monica terdaftar dengan Nomor Perkara 825 K/PDT.SUS-HKI/2025 dan sudah didistribusikan ke majelis hakim pada 1 Agustus lalu.
    Perkara itu diadili majelis kasasi yang dipimpin Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha dengan anggotanya, Hakim Agung Panji Widagdo dan Hakim Agung Rahmi Mulyati.
    Putusan dibacakan Hakim Sumanatha pada Senin (11/8/2025) lalu.
    Dengan adanya putusan ini, maka MA menganulir putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum Agnez Monica membayar royalti Rp 1,5 miliar.
    Oleh pengadilan niaga itu, Agnez Mo dinyatakan bersalah karena membawakan lagu “Bilang Saja” karya Arie Bias tanpa izin.
    Agnez dinilai bersalah membawakan lagu itu pada konser di W Super Club Surabaya pada 25 Mei 2023; konser di The H Club Jakarta pada 26 Mei 2023; dan konser di W Super Club Bandung pada 27 Mei 2023.
    Majelis hakim menghukum Agnez membayar Rp 500 juta untuk masing-masing konser tersebut, sehingga secara total ia dihukum membayar Rp 1,5 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Nyatakan 15 Juta Orang Sudah Dapat MBG
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Pemerintah Nyatakan 15 Juta Orang Sudah Dapat MBG Nasional 14 Agustus 2025

    Pemerintah Nyatakan 15 Juta Orang Sudah Dapat MBG
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengatakan 15 juta orang menerima Makan Bergizi Gratis (MBG) di bulan ini dan 82,9 juta orang ditargetkan dapat MBG pada akhir tahun.
    “Memiliki 5.235 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi di 38 provinsi, 502 kabupaten, 4.770 kecamatan, dan kami sudah melayani 15 juta penerima manfaat. Kami sedang mengejar target untuk bisa melayani minimal 20 juta pada tanggal 15 Agustus ke depan,” kata Dadan dalam keterangan resmi, Kamis (14/8/2025).
    Program ini mencakup pemberian makanan bergizi kepada ibu hamil, ibu menyusui, anak balita, hingga siswa dari PAUD sampai SMA.
    Dadan mengatakan bahwa program tersebut menjadi langkah strategis menghadapi laju pertumbuhan penduduk Indonesia yang masih tinggi, yakni 6 orang per menit atau sekitar 3 juta per tahun.
    Populasi diprediksi mencapai 324 juta pada 2045 dan menjadi 325 juta pada 2060.
    Menurutnya, tingginya angka kelahiran terutama berasal dari keluarga berpendidikan rendah dan ekonomi lemah.
    Sementara itu, kelas menengah dan atas cenderung memiliki anak lebih sedikit.
    Kondisi ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia jika tidak diantisipasi sejak dini melalui intervensi gizi.
    “Apalagi sekarang digabungkan dengan sekolah rakyat, di mana keluarga mereka tidak mampu dikumpulkan di sekolah, diberi makan pagi, siang, malam,” ujar dia.
    “Jadi insyaallah 20 tahun ke depan kita sudah akan lebih baik karena ada tren yang cukup bagus, populasi Indonesia akan puncak di 325 juta di tahun 2060,” paparnya.
    Selain manfaat gizi, program ini juga menggerakkan perekonomian lokal.
    Satu SPPG atau dapur MBG rata-rata membutuhkan 200 kilogram beras, 3.000 butir telur, 350 ekor ayam, 300 kilogram sayur, 350 kilogram buah, dan 450 liter susu setiap hari.
    Semua pasokan diambil dari UMKM setempat.
    BGN mencatat, total investasi masyarakat untuk pembangunan SPPG yang sudah beroperasi mencapai sekitar Rp10 triliun, belum termasuk 17.000 unit yang masih dalam tahap verifikasi.
    Jika seluruh target 30.000 SPPG tercapai, perputaran dana diperkirakan mencapai Rp40 triliun, di luar anggaran pemerintah.
    “Jadi jangan heran kalau penjual alat rumah untuk bangun rumah itu kebanjiran pesanan dari SPPG-SPPG untuk membeli baja dan lain-lain, termasuk restoran-restoran. Sekarang ini restoran, kafe, hotel berubah jadi SPPG. Jadi itu satu tanda bahwa ekonomi bergerak,” pungkas Dadan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penyaluran Bansos Mengacu pada DTSEN, Gus Ipul: Ada Penerima Baru Setiap 3 Bulan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Penyaluran Bansos Mengacu pada DTSEN, Gus Ipul: Ada Penerima Baru Setiap 3 Bulan Nasional 14 Agustus 2025

    Penyaluran Bansos Mengacu pada DTSEN, Gus Ipul: Ada Penerima Baru Setiap 3 Bulan
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menegaskan bahwa saat ini penyaluran bantuan sosial (bansos) mengacu pada Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang dikelola Badan Pusat Statistik (BPS) agar lebih tepat sasaran.
    Hasilnya, banyak penerima bansos yang tidak lagi lolos verifikasi karena tidak memenuhi syarat. Data mereka langsung digantikan dengan penerima baru yang lebih layak dan berhak.
    “Jadi, akan ada penerima-penerima baru setiap tiga bulan. Ada yang
    check-out
    dan
    check-in
    ,” kata Gus Ipul dalam keterangan resminya, Kamis (4/8/2025).
    Pernyataan tersebut disampaikan Gus Ipul dalam acara Dialog Pilar-Pilar Sosial di Pendopo Bupati Cirebon, Rabu (13/8/2025).
    Data akan dimutakhirkan setiap tiga bulan agar tetap akurat, salah satunya melalui mekanisme
    groundchecking
    oleh Kementerian Sosial (Kemensos) dan pemerintah daerah (pemda), kemudian divalidasi oleh BPS.
    Gus Ipul menekankan, semua upaya tersebut dilakukan untuk memastikan bantuan tepat sasaran sesuai arahan Presiden RI Prabowo Subianto.
    “Strategi Bapak Presiden adalah menjadikan data-data yang ada di setiap kementerian itu diverifikasi ulang oleh BPS,” katanya.
    Ia menjelaskan bahwa sebelumnya, Kemensos memiliki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mempunyai Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek).
    Hal tersebut membuat banyak data tersebar di sejumlah kementerian dan lembaga.
    Gus Ipul menegaskan, sesuai Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2025 tentang DTSEN, semua kementerian dilarang mengelola data sendiri. Data dikonsolidasikan di BPS, lalu divalidasi menjadi data tunggal.
    Kebijakan ini, lanjutnya, mengakhiri praktik lama Kemensos yang mengolah sekaligus menyalurkan bansos berdasarkan data internal. 
    “Kalau dulu, orang kadang-kadang tidak percaya sama datanya Kemensos, diurus-urus sendiri, setelah itu diintervensi sendiri, habis itu tepuk tangan sendiri,” ucap Gus Ipul.
    Kini, Kemensos hanya terlibat dalam pemutakhiran data bersama pemda, sementara proses verifikasi, validasi, dan penetapan desil penerima bansos dilakukan oleh BPS. 
    “Boleh kami memasukkan data, tetapi yang memverifikasi dan menetapkan desil 1, 2, 3 dan 4 itu adalah BPS. Kami tugasnya hanya menyalurkan, sambil nanti pendamping dan instrumen lain ikut pemutakhiran bersama Bupati, Dinas Sosial (Dinsos), beserta BPS setempat,” jelasnya. 
    Gus Ipul menyampaikan bahwa jalur partisipasi publik juga dibuka melalui aplikasi Cek Bansos.
    Lewat aplikasi tersebut, masyarakat dan pendamping sosial dapat mengajukan atau menolak calon penerima serta melakukan usul sanggah dengan bukti yang memadai. 
    “Boleh (mengajukan usul-sanggah bansos). Bukan tidak boleh. Nanti tetap akan diverifikasi oleh BPS. Nah, BPS akan mengeluarkan hasil validasi itu setiap tiga bulan sekali menjelang penyaluran bansos,” kata Gus Ipul.
    Sebagai informasi, penyaluran bansos dilakukan setiap tiga bulan pada periode Januari–Maret, April–Juni, dan Juli–September, dengan daftar penerima bansos yang terus diperbarui setiap periode.
    Menurut Gus Ipul, selama penyaluran bansos triwulan II, Kemensos telah mencoret banyak penerima bantuan karena tidak lolos verifikasi atau terlibat penyalahgunaan bantuan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 5
                    
                        Kala KRL Rangkasbitung Jadi “Pasar” Berjalan sejak Pukul 03.45 WIB…
                        Bandung

    5 Kala KRL Rangkasbitung Jadi “Pasar” Berjalan sejak Pukul 03.45 WIB… Bandung

    Kala KRL Rangkasbitung Jadi “Pasar” Berjalan sejak Pukul 03.45 WIB…
    Tim Redaksi
    LEBAK, KOMPAS.com
    – Waktu menunjukkan pukul 03.45 WIB ketika peron Stasiun Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, mulai dipenuhi langkah-langkah kecil penumpang. Mereka membawa keranjang, kantong besar, dan harapan agar dagangan hari ini habis terjual.
    Kereta Rel Listrik (KRL) pertama tujuan Tanah Abang sudah menunggu jadwal keberangkatan. Mayoritas penumpangnya bukan pekerja kantoran, melainkan pedagang kecil yang mengandalkan perjalanan dini hari ini untuk mencari nafkah.
    Satu di antaranya adalah Ida (53), warga Catang, Kabupaten Serang. Bersama sembilan rekannya, ia tiba sejak pukul 03.30 WIB. Tujuan mereka berbeda-beda, tetapi semangatnya sama, yakni berjualan di Jakarta.
    “Ada yang turun di Palmerah, Kebayoran, Angke. Saya turun di Tenjo,” kata Ida kepada
    Kompas.com
    , Kamis (14/8/2025), di gerbong ketiga.
    Ida mempersiapkan sendiri dagangannya yang antara lain lemang, lupis, emping, nasi merah, hingga sayur matang sebelum tidur. Pukul 01.30 dini hari, ia sudah bangun, naik ojek, lalu menuju stasiun.
    Ida tak boleh ketinggalan kereta pertama karena menurutnya hanya keberangkatan itu yang memperbolehkan pedagang naik. Kereta berikutnya lebih padat penumpang umum sehingga pedagang dilarang naik.
    “Kalau ketinggalan kereta pertama, sudah gak boleh naik. Cuma kereta ini yang boleh untuk pedagang,” ujarnya.
    Pedagang lain, Muksin (60), datang dari Kecamatan Sajira, sekitar 40 kilometer dari Rangkasbitung, membawa dua empong pete hasil panen. Setiap empong berisi sekitar seratus papan pete. Meski panen kali ini sedikit, ia tetap berangkat karena pelanggan di pasar pagi Kebayoran sudah menunggu.
    “Kalau kesiangan nanti sampai Kebayoran juga telat, pasar sudah sepi, pelanggan pada nyarinya pagi,” katanya.
    Pemberhentian di Stasiun Maja menambah sesak gerbong. Puluhan pedagang naik dengan keranjang besar. Tati (47), pedagang yang sudah bertahun-tahun berjualan ke Jakarta sejak era kereta diesel, mengenang perbedaan aturan.
    “Kalau zaman dulu kita mau berangkat jualan masih di kereta saja sudah banyak yang beli, kalau sekarang gak boleh, dilarang dijual di kereta,” kata Tati.
    Meski begitu, pedagang tetap bisa bertukar barang di dalam kereta, dilakukan secara singkat dan tenang agar tak mengganggu penumpang lain.
    “Misalnya saya bawa banyak keripik pisang, teman saya gak bawa, kita tukeran dengan barang lain, ambil dari keranjang lalu simpan di keranjang sendiri, sudah saling mengerti,” ujarnya.
    Menjelang fajar, pedagang turun satu per satu di stasiun tujuan, bersiap menghadapi hari. KRL pukul 04.00 itu bukan sekadar transportasi, melainkan urat nadi ekonomi rakyat kecil yang berdenyut dari peron Rangkasbitung, Maja, hingga Tenjo.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sinema dan Politik Ingatan Kolektif
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Sinema dan Politik Ingatan Kolektif Nasional 14 Agustus 2025

    Sinema dan Politik Ingatan Kolektif
    Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
    PADA
    1935, sutradara Leni Riefenstahl merilis
    Triumph of the Will
    , mahakarya sinematik yang mendokumentasikan kongres Partai Nazi di Nuremberg.
    Melalui komposisi visual yang megah, permainan cahaya dramatis, dan penyuntingan presisi, Riefenstahl tidak sekadar merekam peristiwa; ia merancang mitos.
    Film itu mengubah politisi menjadi dewa, massa menjadi ornamen kekuasaan, dan ideologi fasis menjadi tontonan yang agung dan tak terelakkan.
    Dunia menyaksikan bagaimana proyektor film dapat menjadi senjata paling ampuh untuk memanipulasi persepsi dan menata ulang realitas.
    Sejarah ini memberi kita pelajaran pahit: ketika kekuasaan ingin menancapkan hegemoninya, sinema sering kali menjadi jalan pintas yang paling memikat.
    Di Indonesia, pertarungan narasi ini bukanlah hal baru. Ia hidup dalam ketegangan antara proyek-proyek visual raksasa yang didanai negara dan aksi-aksi hening yang menolak lupa.
    Di satu sisi, ada memori yang ingin diproduksi massal, dibungkus dalam seluloid atau format digital, dan didistribusikan seluas-luasnya.
    Di sisi lain, ada ingatan kolektif yang dirawat secara organik, dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, seperti yang dilakukan oleh para aktivis Aksi Kamisan setiap Kamis sore di depan Istana Negara, Jakarta.
    Diamnya payung-payung hitam mereka adalah antitesis dari riuh rendah pengeras suara bioskop.
    Tulisan ini berargumen bahwa sinema, dalam sejarahnya, terlalu sering diinstrumentalisasi sebagai medium politik untuk memaksakan ingatan tunggal, membungkam narasi alternatif, dan pada akhirnya, menghindari tanggung jawab sejarah.
    Selama lebih dari tiga dekade, generasi Indonesia—mulai dari murid sekolah dasar hingga pegawai negeri—diwajibkan menonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI.
    Ritual tahunan ini adalah contoh sempurna bagaimana kekuasaan menggunakan aparatus sinematik untuk rekayasa sosial. Film garapan Arifin C. Noer tersebut bukan sekadar tontonan, melainkan kurikulum kepatuhan.
    Menggunakan pisau analisis filsuf Italia, Antonio Gramsci, film ini berfungsi sebagai alat hegemoni yang paripurna.
    Kekuasaan Orde Baru tidak hanya dipertahankan lewat todongan senjata, tetapi juga lewat proyektor yang menanamkan narasi tunggal ke alam bawah sadar publik.
    Persetujuan (
    consent
    ) massa diproduksi secara sistematis hingga narasi versi negara dianggap sebagai satu-satunya “akal sehat” (
    common sense
    ).
    Lebih jauh, seperti yang dijelaskan oleh pemikir Perancis Roland Barthes dalam
    Mythologies
    , film tersebut beroperasi pada level mitos.
    Secara denotatif, ia menampilkan rangkaian peristiwa. Namun, secara konotatif, ia membangun mitologi modern: mitos tentang kekejaman absolut Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dihadapkan dengan mitos kepahlawanan suci Tentara Nasional Indonesia (TNI).
    Adegan-adegan penyiksaan yang brutal, meski diragukan kebenarannya secara historis, menjadi tanda visual yang menaturalisasi demonisasi PKI.
    Akibatnya, jutaan orang yang dituduh komunis dan simpatisannya, yang dibantai tanpa pengadilan, lenyap dari ingatan resmi. Mereka menjadi hantu dalam sejarah bangsa yang megah.
    Teoris film Jean-Louis Baudry bahkan berpendapat bahwa kondisi menonton di ruang gelap bioskop menempatkan penonton dalam posisi pasif, mirip kondisi mimpi, yang membuat mereka lebih rentan terhadap suntikan ideologi.
    Film “G30S/PKI” adalah mesin yang memproduksi ketakutan sekaligus kepatuhan dalam satu paket. Setelah puluhan tahun memutar film yang sama untuk menjejali “kebenaran” tunggal, apakah kita benar-benar merdeka berpikir, atau hanya berganti operator proyektor?
    Kini, di era yang katanya lebih demokratis, hantu instrumentalisasi sinema kembali muncul dalam wujud yang lebih modern dan berwarna.
    Polemik seputar film animasi “Merah Putih: One for All” yang mencuat pada pertengahan 2025, menjadi studi kasus yang relevan.
    Kritik tajam yang datang dari legislator di Komisi X DPR RI hingga pengamat film tidak hanya menyoroti kualitas animasi yang dianggap tidak sepadan dengan klaim anggarannya, tetapi juga kecurigaan adanya aliran dana negara.
    Inilah titik krusial di mana kita harus waspada. Model Propaganda yang dirumuskan oleh Edward S. Herman dan Noam Chomsky menyediakan kerangka yang pas untuk membacanya.
    Salah satu filter utama dalam model mereka adalah kepemilikan dan sumber pendanaan media.
    Ketika proyek budaya, apalagi yang mengusung tema seberat nasionalisme, didanai atau didukung oleh negara, pertanyaan fundamentalnya adalah: kepentingan siapa yang sedang dilayani?
    Filter lainnya adalah sumber informasi dan ideologi dominan. Film ini, dengan narasi kepahlawanan anak-anak dari beragam suku, menyajikan ideologi nasionalisme yang tampak mulia.
    Namun, nasionalisme yang dipoles indah dan disajikan sebagai hiburan berisiko menjadi propaganda lunak. Ia menyederhanakan isu-isu kompleks seperti ketidakadilan sosial, konflik agraria, dan pelanggaran hak asasi manusia di berbagai daerah dengan satu selimut magis bernama “persatuan”.
    Pesan ini, meski positif, bisa berfungsi untuk melenakan publik dari masalah nyata. Tentu, mediumnya berbeda dari film “G30S/PKI”, tapi potensi fungsionalisasinya serupa: menggunakan sumber daya besar untuk menyebarkan satu versi narasi yang dianggap “benar” oleh penguasa.
    Jika nasionalisme diproduksi dengan ongkos miliaran rupiah dari kas negara, apakah yang sesungguhnya sedang kita beli: kecintaan pada Tanah Air, atau kesetiaan buta pada naratornya?
    Setiap hari Kamis, para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat berdiri diam di seberang Istana. Mereka tidak punya proyektor, efek khusus, maupun anggaran miliaran.
    Senjata mereka adalah foto-foto orang terkasih yang telah hilang atau dibunuh, payung hitam, dan kebisuan yang memekakkan.
    Aksi mereka adalah sinema perlawanan dalam bentuknya yang paling murni: pertunjukan visual yang menolak untuk dilupakan.
    Di sinilah letak politik ingatan kolektif yang sesungguhnya. Film-film seperti “G30S/PKI” atau proyek ambisius yang didanai negara mencoba menciptakan memori yang utuh, heroik, dan tanpa cela— jalan pintas sejarah.
    Sebaliknya, Aksi Kamisan memaksa kita untuk mengingat apa yang robek, luka yang belum sembuh, dan keadilan yang tak kunjung datang. Mereka adalah penjaga ingatan kolektif yang menolak amnesti massal yang coba ditawarkan melalui hiburan.
    Kehadiran fisik mereka di depan pusat kekuasaan adalah penanda bahwa sejarah tidak bisa diselesaikan hanya dengan membuat film.
    Pertarungan antara sinema propaganda dan aksi memori ini adalah cerminan dari pertarungan yang lebih besar tentang jiwa bangsa.
    Di tengah hingar-bingar sinema kepahlawanan yang menelan anggaran raksasa, masihkah kita bisa mendengar bisik sunyi mereka yang menuntut keadilan, atau sudahkah suara mereka hilang ditelan deru suara
    dolby surround
    ?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Manuver Hasto Gugat Pasal Perintangan Penyidikan yang Menyeretnya Ke Dalam Bui
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 Agustus 2025

    Manuver Hasto Gugat Pasal Perintangan Penyidikan yang Menyeretnya Ke Dalam Bui Nasional 14 Agustus 2025

    Manuver Hasto Gugat Pasal Perintangan Penyidikan yang Menyeretnya Ke Dalam Bui
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Eks Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah norma Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dinilai telah merugikan dirinya secara konstitusional.
    Pasal 21 itu mengatur ketentuan pidana bagi pelaku perintangan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan perkara korupsi.
    Hasto pernah dijerat menjadi tersangka dan dibawa ke pengadilan dengan tuduhan merintangi penyidikan kasus suap eks kader PDI-P, Harun Masiku, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Namun, pada Jumat (25/7/2025), Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyatakan dakwaan jaksa terkait pasal perintangan itu tidak terbukti.
    Berselang tiga hari setelah pembacaan putusan, Hasto menggugat Pasal 21 itu ke MK, didampingi 32 pengacara, termasuk eks Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, dan eks peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana.
    Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
    Menurut Maqdir, lamanya masa pidana yang bisa dijatuhkan pengadilan menggunakan pasal itu lebih besar dari pidana pokok.
    “Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan obstruction of justice ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
    Untuk diketahui,
    obstruction of justice
    mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.
    Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara.
    Sementara, pelaku yang merintangi kasus suap itu, misalnya dengan merusak barang bukti suap, diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
    “Nah ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
    Dalam persidangan, kuasa hukum Hasto lainnya, Illian Deta Arta Sari, meminta mahkamah menyatakan bahwa Pasal 21 itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali ketentuan ancaman pidana penjara diubah menjadi maksimal 3 tahun.
    “Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 dan paling banyak Rp 600.000.000,” kata Deta dalam sidang di Gedung MK.
    Selain itu, ia juga meminta norma Pasal 21 itu diperjelas dengan menyatakan bahwa perintangan dimaksud dilakukan secara melawan hukum, di antaranya dengan kekerasan fisik, intimidasi, intervensi, dan suap.
    Hasto juga meminta perintangan pada Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor bersifat kumulatif, dalam arti tindakan dilakukan di semua tahapan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
    Pada sidang tersebut, dua hakim konstitusi, Guntur Hamzah dan Daniel Yusmic Foekh, memuji permohonan yang diajukan Hasto.
    Guntur menyebut,
    legal standing
    Hasto sebagai penggugat Pasal 21 itu sangat kuat karena bertolak dari peristiwa nyata yang menimpa dirinya sendiri.
    “Kedudukan hukum sudah bagus sekali, karena ini berangkat dari kasus konkret jelas, dia (Hasto) punya kedudukan hukum,” kata Guntur.
    Dalam uraian
    legal standing
    -nya, Hasto memang menjelaskan bagaimana dirinya ditetapkan menjadi tersangka perintangan penyidikan.
    Ia dituduh menghalangi operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam kasus suap Harun Masiku pada 8 Januari 2020, sementara Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) baru terbit 9 Januari 2020.
    “Jadi, kewenangan mahkamah, kedudukan hukum, enggak ada masalah,” ujar Guntur.
    Selain itu, Guntur juga memuji aspek konseptual dan filosofis dalam permohonan Hasto yang memudahkan pihak-pihak terkait perkara ini untuk memberikan keterangan.
    “Memudahkan ini, baik sekali sampai original intent-nya pasal ini dikemukakan di sini,” tutur Guntur.
    Sementara itu, Daniel memuji kualitas permohonan uji materiil Hasto.
    Menurutnya, substansi permohonan itu memuat asas doktrin yurisprudensi sejumlah putusan pengadilan terkait kasus Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor.
    Sebagaimana Guntur, ia juga mengakui
    legal standing
    Hasto jelas karena terdampak Pasal 21 tersebut.
    “Jadi, saya lihat dari segi kualitas ini sudah sangat bagus,” ujar Daniel.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perahu Karam Dihantam Ombak di Nunukan, Satu Nelayan Hilang
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        14 Agustus 2025

    Perahu Karam Dihantam Ombak di Nunukan, Satu Nelayan Hilang Regional 14 Agustus 2025

    Perahu Karam Dihantam Ombak di Nunukan, Satu Nelayan Hilang
    Tim Redaksi
    NUNUKAN, KOMPAS.com –
    Seorang nelayan dilaporkan hilang saat memukat rumput laut, di Perairan Tanjung Haus, Nunukan, Kalimantan Utara, Rabu (17/8/2025) dini hari.
    Danlanal Nunukan, Letkol Laut (P) Primayantha Maulana Malik mengatakan, nelayan yang hilang bernama Firmansyah (46), warga Jalan Bhayangkara, RT 06, Desa Tanjung Harapan, Sebatik Timur.
    “Kapal yang dinaiki korban dihantam ombak sampai karam,” ujar Primayantha, saat dihubungi Rabu malam.
    Dari laporan yang diterima, korban berangkat untuk memukat rumput laut pada Selasa (12/8/2025) sekitar pukul 08.00 wita.
    Korban melaut menggunakan kapal jongkong bermesin tunggal 15 PK, bersama dua nelayan lain, masing masing, Sahril (34) dan Agus (28).
    Keduanya tercatat sebagai warga Jalan Bhayangkara, Desa Tanjung Harapan, Sebatik Timur.
    Kejadian tersebut diketahui oleh nelayan bernama Junaidi dan nelayan lain yang juga memukat rumput laut di sekitaran pondasi perairan Tanjung Haus.
    “Sekitar pukul 05.00 wita, Junaidi mendengar teriakan minta tolong. Ia bersama rekannya mencari sumber suara dan menemukan korban tenggelam bernama Agus,” tutur Primayantha.
    “Korban lain, Sahril, ditemukan sekitar pukul 07.00 wita oleh pemukat rumput laut bernama Wawan,” imbuhnya.
    Dari keterangan korban selamat, mereka bertiga berangkat melaut pada Selasa (12/8/2025) sekitar pukul 09.00 wita.
    Mereka berangkat dari Desa Balansiku menuju Perairan Tanjung Haus untuk memukat rumput laut.
    Sekitar pukul 01.30 wita pada Rabu (13/8/2025), perahu dengan muatan sekitar 1 ton rumput laut hasil memukat, dihantam gelombang besar yang mengakibatkan perahu karam.
    “Ketiga korban terbawa arus dan terpisah satu sama lain. Korban Sahril sempat berpegangan pada pinggiran perahu yang karam, sementara kedua rekannya terseret arus ke arah berbeda,” tuturnya lagi.
    Hingga pukul 11.37 wita, perahu jongkong yang karam ditemukan oleh warga bernama Roy yang turut membantu pencarian.
    Sementara itu, korban Firmansyah hingga saat ini belum ditemukan.
    “Pencarian akan dilanjutkan esok hari (Kamis),” kata Primayantha.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.