72 Siswa SMA Negeri 5 Kota Bengkulu Diberhentikan, Ombudsman Akan Panggil Kepala Sekolah, Panitia dan Dinas
Tim Redaksi
BENGKULU, KOMPAS.com –
Kisruh diberhentikannya 72 siswa SMA Negeri 5 Kota Bengkulu secara sepihak oleh sekolah, padahal telah belajar sebulan, terus meluas.
Asisten Muda Pemeriksaan Ombudsman RI Perwakilan Bengkulu, Hendra Irawan, menyatakan pihaknya secara cepat akan memanggil pihak sekolah, dinas, dan pihak terkait.
“Senin (24/8/2025), kami akan memanggil pihak sekolah, panitia, dan dinas untuk dimintai klarifikasi atas kekisruhan yang terjadi,” kata Hendra saat dikonfirmasi melalui telepon, Sabtu (23/8/2025).
Pemanggilan oleh Ombudsman, kata Hendra, merupakan inisiatif lembaga tersebut. Kalaupun ada laporan, maka Ombudsman akan tetap menindaklanjuti.
Ia katakan pemeriksaan akan dilakukan secara transparan.
Ombudsman juga akan melakukan pemeriksaan untuk mendalami dugaan malaadministrasi dalam proses Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun ajaran 2025 di SMAN 5 Kota Bengkulu.
Sebelumnya diberitakan, puluhan wali murid SMA Negeri 5, Provinsi Bengkulu, mendatangi gedung DPRD setempat, Rabu (20/8/2025).
Puluhan wali murid protes karena anak mereka sudah sebulan menjalani proses belajar, tiba-tiba dikeluarkan dari sekolah dengan alasan tidak memiliki Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Total keseluruhan siswa yang dituding tidak memiliki Dapodik di SMA 5 ada 72 orang, namun hanya 42 orang wali murid yang mendatangi DPRD.
Preseden ini merugikan siswa baik secara psikis, waktu, dan lainnya.
Banyak anak-anak yang dikeluarkan tersebut, menurut orang tua, tak berhenti menangis.
“Anak saya selalu menangis. Begitu pedih saya merasakannya,” ujar Hi, salah seorang wali murid.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Author: Kompas.com
-
/data/photo/2025/08/21/68a6857f45576.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
72 Siswa SMA Negeri 5 Kota Bengkulu Diberhentikan, Ombudsman Akan Panggil Kepala Sekolah, Panitia dan Dinas Regional 23 Agustus 2025
-
/data/photo/2024/12/31/6773b7596985d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Wakil Kepala SMP di Tangerang Diduga Cabuli Murid Sesama Jenis Megapolitan 23 Agustus 2025
Wakil Kepala SMP di Tangerang Diduga Cabuli Murid Sesama Jenis
Tim Redaksi
TANGERANG, KOMPAS.com
– SY, Wakil Kepala Sekolah (Wakepsek) salah satu SMP negeri di Kota Tangerang diduga mencabuli muridnya berinisial RA (14).
Kuasa hukum korban, Tiara Nasution, mengatakan, pencabulan sesama jenis itu terjadi di lingkungan sekolah sebanyak tiga kali.
“Betul (tiga kali pencabulan). Dari Mei atau Juni, sekitar seminggu hingga tiga minggu jaraknya antar-kejadian. Saya perlu cek lagi tanggal pastinya,” ujar Tiara saat ditemui
Kompas.com,
Jumat (22/8/2025).
Adapun peristiwa pertama terjadi sekitar Mei 2025, ketika korban jatuh dari motor saat hendak berangkat sekolah.
Dalam kondisi kesakitan, korban tetap melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Setibanya di sekolah, RA dibopong oleh teman-temannya ke ruang UKS.
“Di sana pelaku datang, bertanya kenapa korban kesakitan. Lalu dengan alasan ingin mengobati, korban dipindahkan ke ruangannya,” kata Tiara.
Di ruangannya, SY menutup tirai dan mengunci pintu. Sedangkan teman-teman RA yang sempat menemani korban diminta pergi dengan dalih mencari minyak angin.
Beberapa kali teman-teman korban mengetuk pintu ruangan SY dan mengatakan bahwa minyak angin yang diminta tak ditemukan. Akan tetapi pelaku tetap meminta teman-teman korban terus mencari.
“Itu hanya akal-akalan supaya teman korban pergi,” kata Tiara.
Saat korban tinggal berdua dengan pelaku di ruangan tersebut, pencabulan terjadi.
Ketika itu, kata Tiara, korban tidak berani melawan mengingat pelaku merupakan wakil kepala sekolah.
“Di ruangan itu, korban ditelentangkan. Saat itu, tirai ditutup dan pintu dikunci. Korban dipijat-pijat oleh pelaku. Celana korban sempat diturunkan, tubuhnya diraba,” jelas dia.
Sepekan kemudian, pelaku kembali mendekati RA dan menanyakan kabar korban. Pelaku menawarkan korban untuk kembali dipijat.
Korban yang merasa takut dengan pelaku tak mampu menolak. Saat itulah pencabulan kedua terjadi.
“Di ruangan pelaku, korban kembali tidak berdaya. Pelaku kembali memijat, menurunkan celana, lalu melakukan tindakan cabul. Korban benar-benar tidak bisa melawan,” jelas Tiara.
Adapun pencabulan ketiga terjadi saat korban hendak melakukan remedial pelajaran Bahasa Indonesia. Saat itu ibu korban ikut ke sekolah untuk mengurus rencana kepindahan anaknya.
Korban dipanggil ke ruang guru untuk melakukan remedial pelajaran Bahasa Indonesia. Sementara ibunda korban diminta menunggu anaknya di luar ruangan.
“Si korban doang karena dia minta remedial sama guru Bahasa Indonesia dan guru Bahasa Indonesia itu di situ kalau enggak salah enggak ada dan diganti oleh pelaku,” kata Tiara.
Ibu korban sempat curiga karena remedial yang seharusnya sebentar, berlangsung hingga 1,5 jam. Ibunda korban pun memasuki ruang guru dan mendapati anaknya tergeletak lemas di lantai.
Sementara, pelaku duduk di dekat korban dengan celana yang belum diritsleting.
Melihat kondisi itu, ibunda RA berteriak histeris. Ia kemudian membopong anaknya seorang diri keluar dari ruangan.
Saat itu, korban baru menceritakan pencabulan yang dilakukan SY.
“Di situ korban mengaku kembali dilecehkan, celananya diturunkan, hingga membuat korban muntah,” kata Tiara.
Berangkat dari pengakuan itu, pada 25 Juni 2025, keluarga melaporkan pelaku ke polisi.
Sementara itu, Kasie Humas Polres Metro Tangerang Kota AKP Prapto, membenarkan adanya peristiwa tersebut. Saat ini pihaknya masih menyelidiki kasus itu.
“Saat ini perkara masih dalam penyelidikan. Dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur,” kata Prapto.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/22/68a85a476fe45.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Noel, Mentalitas Korup, dan "Indonesia Sold Out" Nasional 23 Agustus 2025
Noel, Mentalitas Korup, dan “Indonesia Sold Out”
Antropolog, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
SIAPA
tidak kenal Immanuel Ebenezer Gerungan? Pria kelahiran Riau yang populer dengan sapaan Noel adalah Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Kabinet Merah-Putih pimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Noel dikenal sebagai aktivis 98 yang mengklaim punya komitmen terhadap demokrasi dan pemberantasan korupsi.
Suaranya menggelegar, tegas, berwibawa. Ucapannya penuh dengan kata-kata yang mengekspresikan idealisme.
”Kami tidak mau pemerintahan awal Prabowo dirusak oleh brutus, para klepto. Dalam pidato Pak Prabowo disampaikan, jangan kirim orang yang mau nyopet anggaran APBN dan APBD. Pidato itu cocok dengan karakter saya sebagai aktivis 98 yang punya komitmen dengan demokrasi dan pemberantasan korupsi,” kata Noel seusai dipanggil Prabowo Subianto pada 15 Oktober 2024 menjelang pelantikan presiden (
Kompas.id
, 21/08/2025).
Ucapan yang penuh idealisme itu dibatalkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Noel ditangkap KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT).
Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama 10 orang lain dalam kasus pemerasan terhadap perusahaan terkait pengurusan sertifikat K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). KPK menyita berbagai mobil dan motor mewah.
Noel adalah pejabat kelas menteri pertama pada pemerintahan Presiden Prabowo yang tersangkut korupsi.
Noel menambah panjang deret pejabat kelas menteri sejak era reformasi yang meringkuk di penjara akibat korupsi. Belum pejabat lain di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Siapa akan menyusul? Apakah kita yakin bahwa tak akan ada lagi pejabat kelas menteri pada pemerintahan Prabowo yang tersangkut korupsi, kendati sang presiden selalu bicara keras tentang korupsi?
Dulu saya mengira bahwa korupsi hanya dilakukan oleh kalangan tak berpunya. Tak berpunya secara ekonomi, pun tak berpunya secara kekuasaan.
Bila pendapatan naik, kesejahteraan meningkat, korupsi hilang dengan sendirinya. Ternyata, hal itu ilusi belaka.
Ternyata, ada gaya korupsi kelas kakap, korupsi kaum atasan. Mereka golongan berpunya secara ekonomi, sekaligus berpunya secara kekuasaan.
Yang terakhir, berpunya secara kekuasaan, justru kategori yang melipatgandakan nilai yang dikorupsi, pola/modus, dan komplotannya.
Di tangan mereka, korupsi dilakukan dengan menggunakan ilmu. Bukan sekadar ilmu memanfaatkan celah di dalam sistem, melainkan ilmu menyusun celah di dalam sistem.
Untuk kasus Noel, ternyata, pengurusan sertifikat K3 memberikan ruang bagi pemegang kekuasaan untuk “mengambil keuntungan” berlipat-lipat yang dilarang oleh peraturan dan berakibat pidana korupsi. Nilainya tentu sangat besar dilihat dari barang bukti yang disita KPK.
Saya lalu teringat teori budaya kemiskinan yang ditemukan Oscar Lewis. Kemiskinan ternyata bukan soal struktural belaka. Bukan urusan sistem distribusi kue pembangunan saja.
Menurut Lewis, kemiskinan dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai dan budaya yang dianut oleh kaum miskin itu sendiri.
Kemiskinan ternyata bisa membentuk nilai-nilai, etos, dan mentalitas tertentu yang membuat kaum miskin sulit keluar dari kubangan kemiskinan.
Nilai-nilai, etos, dan mentalitas produk kemiskinan itu sebut saja “mentalitas miskin”. Perubahan sistem distribusi kue pembangunan tidak dengan sendirinya mengubah mentalitas miskin itu.
Saya melihat, realitas korupsi di negeri menyerupai kemiskinan dan membentuk “mentalitas korup”. Perubahan dari pemerintahan Soeharto ke pemerintahan reformasi terbukti tak membuat kita keluar dari kubangan korupsi. Meski disediakan lembaga dan perangkat hukum untuk memberantas korupsi.
Bourdieu menyebutnya habitus. Ia bukan sekadar kebiasaan atau kecenderungan, melainkan sistem disposisi yang tertanam di dalam diri individu.
Siapapun bisa terjangkiti. Tinggal ada kesempatan atau tidak. Tak mudah melawannya, karena mentalitas korup yang menjadi habitus akan membuat seseorang kehilangan kepekaan dan daya tolak, alias kebal. Bahasa awamnya, “mendarah daging”.
Mereka tahu tindakannya melanggar hukum, korup, dan merugikan negara dalam jumlah yang tidak kecil, tapi tak cukup berdaya untuk menghindarinya. Bahkan, secara sadar dijalaninya. Muncullah pola atau modus secara berulang.
Saya melihat, mentalitas korup itu terkesan diamini di zaman komodifikasi yang digerakkan kapitalisme pasar.
Di zaman pasar, nyaris tak ada hal yang tak bisa dijajakan, dikapitalisasi. Tentu saja demi keuntungan material.
Sebagaimana hukum pasar, bukan sekadar keuntungan, tapi keuntungan yang berlipat-lipat. Tak peduli urusan sakral, sosial, dan kemanusiaan.
Apa yang bisa menjelaskan korupsi di urusan haji, bantuan sosial, covid-19, dan sejenisnya kalau bukan mentalitas korup?
Ternyata, ucapan Noel yang penuh idealisme tak mampu menyelamatkannya. Habitus itu membuat jurang antara ucapan dan tindakan, memproduksi perilaku hipokrit.
Noel seharusnya mendekonstruksi sistem pengurusan sertifikat K3 yang korup, tapi malah terjerembab di dalamnya.
Air matanya yang meleleh saat mengenakan rompi oranye dengan tangan terborgol bukan lagi ekspresi kesedihan, melainkan olok-olok terhadap diri sendiri.
Kita sudah melampaui vampir. Bila vampir menghisap darah orang lain untuk bertahan hidup, kita menghisap darah untuk kemewahan.
Yang menarik, meski kebetulan saja, pada hari itu juga sejumlah massa dari Gerakan Mahasiswa Bersama Rakyat (Gemarak) membentangkan spanduk besar bertuliskan “Indonesia Sold Out” di depan pintu gerbang Gedung DPR/MPR RI (
Kompas.com
, 21/08/2025).
Bertambahlah kosakata yang menjadi antitesis “Indonesia Emas”. Sebelumnya ada “Indonesia Gelap” dan “Indonesia Cemas”, kini bertambah “Indonesia Sold Out”.
Tak sulit membaca nalarnya. Kaum muda membaca bahwa negeri ini telah habis terjual. Harta kekayaannya dikeruk dan digadaikan kepada rentenir.
Kaum muda itu melihat Ibu Pertiwi bersedih hati. Ternyata, putra-putrinya tak setia menjaga harta pusaka. Mereka lah yang akan menanggung akibatnya. Karena itu, sangat logis bila mereka berteriak keras.
Nalarnya sama dengan Prabowo saat presiden kita itu menulis buku berjudul
Paradoks Indonesia dan Solusinya
. Negeri yang kaya raya, tapi sebagian besar rakyatnya miskin. Penyebabnya adalah “serakahnomics”.
Mentalitas korup dan serakahnomics bagaikan dua sisi pada mata uang yang sama. Saling melengkapi, saling mengondisikan. Keduanya menjelma sebagai habitus. Membutakan mata hati dan menumpulkan ketajaman akal sehat.
Kita lalu tak mampu merasakan dan mencerna secara kritis bahwa tata kelola negeri ini sungguh bobrok, yang kebobrokannya mengancam eksistensi Indonesia. Inilah sesungguhnya musuh utama bangsa Indonesia.
Siapa yang akan kebal di kubangan semacam itu? Barangkali hanya “kegilaan” dalam bentuk lain.
Tesis hanya bisa dilawan dengan antitesis yang setara. Bila mentalitas korup dan serakahnomics dianggap kegilaan, maka hanya bisa ditandingi oleh kegilaan yang lain.
Sejarah membuktikan. Indonesia pun lahir dari kegilaan lain pada zamannya. Perubahan besar di dunia ini selalu muncul dari kegilaan lain. Kini, sejarah Indonesia menuntut kegilaan lain.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/11/03/672749b2cb54c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kecelakaan 3 Kendaraan di Koja Jakut, Motor Masuk Kolong Transjakarta Megapolitan 23 Agustus 2025
Kecelakaan 3 Kendaraan di Koja Jakut, Motor Masuk Kolong Transjakarta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kecelakaan lalu lintas terjadi di Jalan Yos Sudarso dari arah Tanjung Priok ke Cempaka Putih, Koja, Jakarta Utara, Jumat (22/8/2025) pukul 18.30 WIB.
Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Ojo Ruslani menyampaikan, kecelakaan ini melibatkan tiga kendaraan.
“Kendaraan yang terlibat, Bus TransJakarta B 7054 XT, sepeda motor Honda Vario B 3423 PKR, dan Toyota Avanza B 1995 UYV,” kata Ojo saat dikonfirmasi, Sabtu (23/8/2025).
Ojo belum menjelaskan kronologi kecelakaan lalu lintas ini. Namun, ia memastikan tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.
“Pengendara sepeda motor mengalami luka ringan,” tegas dia.
Ojo juga memastikan bahwa kecelakaan ini telah diselesaikan secara kekeluargaan.
“Kasus diselesaikan musyawarah, tidak buat LP (Laporan Polisi),” ucapnya.
Adapun berdasarkan unggahan video Instagram @jakut.info, terlihat bus Transjakarta tengah berhenti di lajur kanan. Tampak sepeda motor yang dikendarai pria berinisial IR berada di kolong bus.
Posisi kendaraan roda dua itu tepat berada di bagian belakang roda sebelah kanan Transjakarta.
Narasi dalam video menyebutkan, kecelakaan terjadi di depan Halte Plumpang, Koja.
“Sepeda motor masuk ke kolong bus dan alami kerusakan ringan. Sementara pengendara motor berhasil selamat dari kecelakaan tersebut,” bunyi keterangan tertulis dalam unggahan @jakut.info.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/09/19/66eb9b3263b94.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Menguji Keadilan Tunjangan DPR Nasional 23 Agustus 2025
Menguji Keadilan Tunjangan DPR
Dosen Fakultas Hukum Universitas YARSI Jakarta
“
Bangsa Mati di Tangan Politikus
” -M. Subhan S.D.
HIDUP
dalam kemewahan di tengah penderitaan. Mungkin itulah gambaran yang muncul di benak banyak rakyat Indonesia ketika mendengar kabar tunjangan dan fasilitas yang dinikmati oleh para Wakil Rakyat di Senayan, Jakarta.
Di satu sisi, jutaan rakyat masih berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar, bahkan sulit mendapatkan tempat tinggal yang layak, mencari pekerjaan, atau sekadar makan sehari-hari.
Namun, di sisi lain, pejabat negara yang seharusnya menjadi jembatan aspirasi rakyat justru diselimuti segudang fasilitas yang dianggap tidak masuk akal.
Tambahan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan dengan total penghasilan sekitar Rp 100 jutaan per bulan, menjadi sorotan tajam yang membuat publik bertanya: apakah para wakil rakyat ini benar-benar mewakili penderitaan kita, ataukah mereka hanya mementingkan kesejahteraan pribadi?
Isu ini semakin memanas ketika Ketua DPR RI Puan Maharani memberikan klarifikasi. Ia membantah adanya kenaikan gaji yang fantastis tersebut, tapi membenarkan bahwa tunjangan kompensasi uang rumah diberikan karena para anggota Dewan tidak lagi mendapatkan rumah dinas.
Sebuah pernyataan yang, alih-alih meredam amarah, justru semakin memicu perdebatan publik tentang urgensi dan kewajaran tunjangan tersebut.
Para pihak yang pro (mungkin saja anggota DPR itu sendiri) terhadap tunjangan ini berargumen bahwa fasilitas tersebut adalah bentuk apresiasi negara atas tanggung jawab besar yang diemban oleh anggota Dewan.
Mereka adalah pejabat tinggi negara yang bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu, untuk merumuskan undang-undang, mengawasi pemerintah, dan mengemban amanah rakyat.
Tunjangan ini juga dianggap sebagai kompensasi agar anggota Dewan dapat fokus bekerja tanpa perlu memikirkan kebutuhan finansial pribadi.
Pandangan ini juga seringkali menyebut bahwa tunjangan ini sah secara hukum karena telah diatur undang-undang.
Dengan demikian, apa yang diterima oleh para anggota Dewan adalah hak mereka yang dilindungi oleh hukum positif.
Alasan ini menjadi tameng yang kuat bagi DPR untuk menepis kritik publik, seolah-olah apapun yang legal sudah pasti etis dan adil.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, tentu diperlukan sistem penggajian dan tunjangan yang memadai untuk menjamin independensi lembaga legislatif dari intervensi eksternal, terutama dari pihak swasta yang berpotensi menyuap.
Namun, persoalan ini tidak sesederhana itu. Perlu ada kajian lebih mendalam untuk melihat isu ini, yang tidak hanya terpaku pada legalitas formal semata.
Ada asas-asas hukum dan etika publik yang seharusnya menjadi pedoman dalam menentukan kewajaran suatu kebijakan, apalagi yang menyangkut uang rakyat.
Di sinilah letak pertentangan utama antara legalitas dan moralitas. Adagium hukum Latin
fiat justitia ruat caelum
, yang berarti “tegakkan keadilan walau langit runtuh,” mengingatkan kita bahwa keadilan substantif jauh lebih penting daripada sekadar kepatuhan formal terhadap undang-undang.
Asas Keadilan (
Principle of Justice
) menjadi pilar pertama yang perlu dipertanyakan. Gaji yang fantastis, bahkan tunjangan untuk biaya sewa rumah saja, sangat kontras dengan realitas ekonomi masyarakat.
Ketika miliaran rupiah dari pajak rakyat dialokasikan untuk memfasilitasi gaya hidup mewah para pejabat, sementara di luar sana masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, lantas di mana letak keadilan sosial yang selalu digaungkan?
Pemberian tunjangan ini seolah-olah menciptakan kasta sosial antara para wakil rakyat dan rakyat yang mereka wakili.
Bahkan salah satu politisi sampai mengatakan “jangan samakan DPR dengan rakyat jelata”, pernyataan yang menusuk hati terdalam masyarakat Indonesia.
Kondisi ini secara etis tidak sesuai dengan semangat demokrasi di mana para pejabat seharusnya hidup berdampingan dengan rakyat, memahami, dan merasakan langsung penderitaan mereka.
Asas keadilan menuntut adanya kesetaraan dan proporsionalitas dalam alokasi sumber daya negara.
Selanjutnya, kita harus menguji dengan Asas Kemanfaatan (
Principle of Utility
). Tunjangan besar yang dikeluarkan dari kas negara haruslah memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi publik.
Pertanyaannya, apakah tunjangan rumah sebesar Rp 50 juta per bulan benar-benar meningkatkan kinerja anggota Dewan?
Apakah tunjangan tersebut secara signifikan mendorong mereka untuk merumuskan undang-undang yang lebih berkualitas atau melakukan pengawasan lebih ketat?
Alih-alih menjadi pendorong kinerja, tunjangan dan fasilitas berlebihan justru berpotensi menjadi bumerang.
Rakyat melihatnya sebagai pemborosan dan penyalahgunaan wewenang, yang pada akhirnya merusak kepercayaan publik terhadap institusi DPR.
Hal ini berujung pada menurunnya partisipasi politik dan sikap apati masyarakat, yang sangat berbahaya bagi keberlanjutan demokrasi.
Ketidakwajaran tunjangan ini juga dapat dianalisis melalui Asas Kepatutan dan Kewajaran (
Principle of Appropriateness and Reasonableness
).
Dalam konteks Indonesia sebagai negara berkembang dengan keterbatasan anggaran, apakah pantas bagi para pejabat negara menerima tunjangan yang melebihi kebutuhan dasar?
Seberapa rasional pengeluaran puluhan juta rupiah per bulan hanya untuk biaya sewa rumah, ketika banyak masyarakat bahkan tidak memiliki tempat tinggal permanen?
Tunjangan perumahan hanyalah salah satu dari sekian banyak tunjangan yang diterima. Para anggota Dewan juga menikmati tunjangan komunikasi intensif, tunjangan alat kelengkapan, hingga tunjangan dana aspirasi.
Jika semua tunjangan ini dijumlahkan, total yang dikeluarkan negara untuk satu orang anggota Dewan dalam satu tahun mencapai angka miliaran rupiah, belum termasuk biaya perjalanan dinas dan fasilitas pendukung lainnya.
Pajak yang dibayarkan rakyat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A, harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tunjangan yang tidak proporsional ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan pajak rakyat, karena penggunaannya tidak efektif dan tidak memenuhi prinsip keadilan sosial.
Terdapat ketidakseimbangan yang mencolok antara kewajiban rakyat membayar pajak dan pemanfaatannya oleh para wakilnya.
Masyarakat sipil, akademisi, dan media massa secara luas menyoroti isu ini sebagai cerminan dari kegagalan para wakil rakyat untuk berempati.
Pandangan kontra ini menganggap bahwa tunjangan dan fasilitas berlebihan hanyalah bentuk legitimasi atas prinsip oligarki, di mana kekuasaan dan kekayaan hanya berputar di kalangan elite.
Isu ini menjadi salah satu pemicu utama rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga legislatif.
Lebih jauh, isu ini juga terkait erat dengan Asas Akuntabilitas Publik. Sebagai lembaga perwakilan, DPR memiliki kewajiban untuk mempertanggungjawabkan setiap penggunaan anggaran kepada publik.
Transparansi dan akuntabilitas tidak hanya berarti melaporkan angka-angka, tetapi juga menjelaskan dasar dan urgensi dari setiap pengeluaran.
Ketika tunjangan tidak dapat dijelaskan dengan rasionalitas yang memuaskan publik, maka asas akuntabilitas ini telah gagal ditegakkan.
Inilah ironi terbesar yang harus kita hadapi. Di tengah janji-janji kesejahteraan yang sering digaungkan, para Wakil Rakyat justru menikmati kemewahan yang jauh dari realitas kehidupan mayoritas masyarakat.
Mereka seolah hidup dalam gelembung yang terpisah dari penderitaan rakyat, mengabaikan fakta bahwa masih banyak anak kekurangan gizi, pembangunan infrastruktur yang belum merata, dan layanan publik yang masih jauh dari kata ideal.
Melihat praktik di beberapa negara lain, sistem penggajian dan tunjangan bagi legislator seringkali disesuaikan dengan standar hidup umum dan diawasi oleh komite independen.
Hal ini bertujuan mencegah potensi konflik kepentingan dan memastikan bahwa fasilitas yang diberikan benar-benar proporsional dengan kebutuhan dan tanggung jawab, bukan hanya didasarkan pada keinginan pribadi.
Maka secara tegas seluruh kalangan harus menyerukan agar DPR melakukan kajian ulang secara menyeluruh terhadap semua tunjangan dan fasilitas yang mereka terima.
Kajian ini harus dilakukan secara transparan, melibatkan partisipasi publik, dan didasarkan pada asas-asas hukum yang berpihak pada keadilan, kemanfaatan, dan kewajaran.
DPR harus membuktikan bahwa mereka benar-benar mewakili rakyat, bukan sekadar memanfaatkan pajak rakyat.
Sudah saatnya DPR kembali pada khittah-nya sebagai lembaga yang berjuang untuk rakyat, bukan untuk kemewahan pribadi.
Penggunaan anggaran negara harus dipertanggungjawabkan dengan penuh integritas dan keberpihakan pada kepentingan umum.
Tunjangan yang berlebihan bukan hanya masalah legalitas, tetapi juga masalah moralitas dan etika yang akan menentukan apakah DPR pantas disebut sebagai lembaga perwakilan rakyat atau hanya perwakilan elite.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/23/68a8a514c6680.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Usai Pipa PAM Bocor akibat Ekskavator, Pembangunan RS di Tangerang Tetap Lanjut Megapolitan 23 Agustus 2025
Usai Pipa PAM Bocor akibat Ekskavator, Pembangunan RS di Tangerang Tetap Lanjut
Tim Redaksi
TANGERANG, KOMPAS.com
– Proyek pembangunan Rumah Sakit Dspec di Gading Serpong, Pagedangan, Kabupaten Tangerang, tetap berjalan usai terjadi kebocoran pipa diduga milik Perusahaan Air Minum (PAM), Kamis (21/8/2025).
Mario (30), sekuriti yang bertugas di lokasi mengatakan, pipa yang pecah langsung diperbaiki sehingga aktivitas proyek tidak terganggu.
“Langsung ditangani malam itu juga. Kalau proyek biasa ya gitu, kerja target,” ujar Mario saat ditemui
Kompas.com
di lokasi, Jumat (22/8/2025).
Mario mengatakan, pengerjaan proyek dilakukan dari pagi hingga sore. Pekerja bahkan terkadang lembur hingga malam jika ada kebutuhan pengerjaan khusus.
“Proyek mah tetap jalan. Biasanya kerja dari pagi sampai sore. Kalau lembur bisa sampai malam, misalnya untuk ngecor,” kata dia.
Meski begitu, Mario mengaku tidak melihat langsung insiden bocornya pipa karena saat malam kejadian ia sedang tidak bertugas. Mario hanya melihat sisa genangan air ketika masuk kerja keesokan paginya.
Dia juga tak mengetahui kronologi kejadian maupun penyebab bocornya pipa.
“Kalau saya sih pas pagi-pagi itu lihat lagi dibersih-bersihin aja. Pas kejadian itu kan airnya hitam ya,” jelas dia.
Adapun pembangunan rumah sakit ini disebut sudah berlangsung cukup lama. Mario yang baru empat bulan bekerja di lokasi memperkirakan proyek berjalan sekitar dua tahun.
“Kayanya dua tahun ada, kalau tiga tahun enggak ya. Soalnya saya juga jarang nanya. Saya kerja kan cuma ditugasin jaga di sini,” ucap dia.
Sebelumnya diberitakan, kebocoran pipa yang diduga milik Perusahaan Air Minum (PAM) terjadi di lokasi pembangunan Rumah Sakit (RS) DSPEC Gading Serpong, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Kamis (21/8/2025).
Peristiwa tersebut terekam dalam sebuah video yang beredar di media sosial.
Dalam video yang diunggah akun Instagram @gadingserpongupdate, terlihat enam pria dengan pakaian dan helm pelindung tengah berupaya menghentikan aliran air yang meluap di area galian proyek.
Keenamnya nyemplung di area galian yang tergenang air sambil berjibaku melakukan perbaikan darurat terhadap pipa yang pecah.
Keterangan dalam video menyebutkan, peristiwa terjadi sekitar pukul 18.30 WIB di Jalan Vivaldi Selatan II, Medang, Pagedangan, Kabupaten Tangerang.
Akibat kebocoran pipa, aliran air bersih di sejumlah perumahan sekitar Gading Serpong, seperti Aniva Junction, Malibu Village, Samara Village, dan Pasadena Residence, terdampak.
“Ada pipa PAM pecah karena terkena ekskavator proyek di Boulevard Gading Serpong samping Pasadena. Area terdampak, sekitaran Samara, Malibu, Pasadena, Aniva, dan sekitarnya,” tulis narasi video.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/08/21/68a726446f4b2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/15/689ed02a7f64a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)