Tingkah Laku dan Pernyataan Anggota DPR yang Buat Rakyat Marah…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Suara-suara kritik terhadap lembaga legislatif memenuhi jagat media sosial sepanjang Agustus 2025.
Seruan seperti “Bubarkan DPR!” pun berseliweran di lini masa.
Kondisi ini menggambarkan kepercayaan publik pada “wakil rakyat” di Senayan yang mulai memudar karena kekecewaan yang dirasakan.
Gelombang kritik terhadap DPR sebenarnya bukan hal baru.
Isu soal gaji dan tunjangan jumbo anggota Dewan bahkan sudah lebih dulu memicu perdebatan publik.
Namun, kontroversi itu semakin menjadi sorotan setelah Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyampaikan pernyataan yang keliru mengenai kenaikan drastis tunjangan para legislator.
Pada Selasa (19/8/2025), Adies menyebut tunjangan beras untuk anggota Dewan mencapai Rp 10 juta dan naik menjadi Rp 12 juta per bulan.
Dia juga menyatakan tunjangan bensin meningkat dari Rp 3 juta menjadi Rp 7 juta.
Pernyataan itu langsung menyulut amarah publik. Angka fantastis tersebut dirasa terlalu besar di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit.
Keesokan harinya, Adies buru-buru mengklarifikasi pernyataannya.
Dia mengaku salah menyampaikan data mengenai tunjangan bagi anggota DPR.
“Setelah saya cek di kesekjenan, ternyata tidak ada kenaikan, baik itu gaji maupun tunjangan seperti yang saya sampaikan,” ujar Adies, di Gedung DPR RI, Rabu (20/8/2025).
Dia mengatakan, tunjangan beras sejatinya hanya Rp 200.000 per bulan dan tidak berubah sejak 2010.
Begitu pula tunjangan bensin yang tetap Rp 3 juta.
Gaji pokok pun, kata dia, sekitar Rp 6,5 juta per bulan, tak naik dalam 15 tahun terakhir.
Namun, penjelasan itu tidak serta-merta meredakan kemarahan publik yang telah lebih dulu menghitung nominal besar “
take home pay
” para anggota DPR.
Terlebih lagi, Adies tak menampik bahwa anggota DPR kini mendapat tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan, sebagai pengganti fasilitas rumah dinas anggota DPR yang tak lagi didapatkan.
Tak lama setelah klarifikasi Adies, giliran Nafa Urbach yang menuai sorotan.
Artis yang kini duduk sebagai anggota DPR Komisi IX dari Fraksi NasDem itu menyampaikan dukungannya terhadap tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan.
“Anggota Dewan itu kan enggak orang Jakarta semua, guys. Itu kan dari seluruh pelosok Indonesia. Nah, mereka diwajibkan kontrak rumahnya dekat-dekat Senayan supaya memudahkan menuju DPR,” kata Nafa, dalam siaran langsung di media sosial.
Dia bahkan membandingkan dengan dirinya yang tinggal di Bintaro dan harus bergulat dengan kemacetan setiap kali menuju Senayan.
Namun, bukannya mendapat dukungan publik, pernyataannya justru mengundang hujan kritik.
Publik menilai, Nafa gagal membaca situasi. Dia pun akhirnya meminta maaf.
“
Guyss maafin aku yah klo statement aku melukai kalian
,” tulisnya di Instagram Story, Jumat (22/8/2025).
Nafa berjanji akan menjadikan kritik sebagai pengingat agar lebih sungguh-sungguh bekerja.
Kemudian, muncul pernyataan pedas Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Syahroni kepada publik yang mengkritik DPR.
Syahroni melontarkan kalimat yang kian memperkeruh suasana ketika menanggapi seruan “Bubarkan DPR” di media sosial.
“Catat nih, orang yang cuma mental bilang ‘bubarin DPR’, itu adalah orang tolol se-dunia,” ujarnya dalam kunjungan kerja di Medan, Jumat (22/8/2025).
“Kenapa? Kita ini memang orang pintar semua? Enggak. Bodoh semua kita, tetapi ada tata cara kelola bagaimana menyampaikan kritik yang harus dievaluasi oleh kita,” sambung dia.
Ucapan itu sontak memicu gelombang kecaman baru.
Publik menilai, Syahroni merendahkan rakyat yang tengah meluapkan kekecewaan.
Sahroni memahami bahwa publik memang memiliki hak untuk menyampaikan kritik, tetapi jangan berlebihan.
Sebab DPR tetap bekerja dan berempati kepada rakyat.
“Kami memang belum tentu benar, belum tentu hebat, enggak, tetapi minimal kami mewakili kerja-kerja masyarakat,” ucap Syahroni.
Belum reda amarah publik, tingkah anggota DPR sekaligus mantan komedian, Eko Patrio, kembali memancing kritik.
Bukannya menahan diri, Eko malah mengunggah parodi sebagai operator Sound Horeg.
Unggahan ini pun dianggap menantang rakyat yang tengah mengkritik pedas DPR.
Terlebih lagi, video Eko yang berjoget dalam Sidang Tahunan MPR 2025 sudah lebih dulu viral di jagat maya.
“Enggak ada (maksud apa-apa). Malah jauh banget itu (tafsirnya). Seandainya ada yang bagaimana-bagaimana, ya saya sebagai pribadi minta maaf lah,” ujar Eko, di Senayan Park, Jakarta, Minggu (24/8/2025) malam.
Eko menekankan dirinya tidak memiliki maksud apa pun dengan membuat video tersebut.
Dia mengeklaim pembuatan video itu hanya dalam rangka pembubaran panitia 17 Agustus-an.
“Enggak ada maksud apa-apa. Memang itu kemarin kan kita acara pembubaran panitia 17 Agustus-an,” ucap Eko.
Meski akhirnya Eko meminta maaf, warganet telanjur menilai sikapnya jauh dari empati.
Puncak kekecewaan publik terjadi Senin (25/8/2025), saat ribuan demonstran memenuhi kawasan Senayan.
Poster-poster tuntutan bertuliskan “DPR: Dewan Pembeban Rakyat”, “Bubarkan DPR”, “Sahkan RUU Perampasan Aset”, hingga “Stop Komersialisasi Pendidikan” dibentangkan.
Orasi berisi kritik soal penolakan tunjangan besar DPR disuarakan dengan lantang.
Aksi yang awalnya berlangsung damai berujung ricuh setelah aparat memukul mundur massa dari depan Gedung DPR/MPR.
Tindakan represif aparat yang menyemprotkan air hingga menembakkan gas air mata, membuat massa terpencar menjadi kelompok-kelompok kecil di Jalan Gatot Subroto, Jalan Gerbang Pemuda hingga kawasan Pejompongan.
Kerusuhan pun tak terhindarkan. Sejumlah fasilitas umum dirusak, motor dibakar, dan pos polisi juga menjadi sasaran amukan massa.
Bagi banyak demonstran, aksi itu bukan hanya soal gaji dan tunjangan jumbo DPR, tetapi juga tentang perasaan ditinggalkan dan dipermalukan oleh wakilnya sendiri.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, sikap anggota DPR yang menyetujui tunjangan perumahan menjadi bukti bahwa mereka telah kehilangan
sense of crisis
.
“Kalau DPR punya
sense of crisis
, memilih prihatin dengan menggunakan fasilitas rumah dinas yang masih bagus akan menjadi pilihan. Sehingga uang tunjangan Rp 50 juta per orang itu diperuntukkan bagi rakyat saja,” ujar Lucius, kepada Kompas.com.
Bahkan, Lucius menilai besarnya tunjangan dan gaji DPR RI tak berbanding lurus dengan kinerja lembaga legislatif.
Dia pun menyoroti capaian DPR periode 2024-2029 yang dinilai masih minim.
Dari 42 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk daftar prioritas tahun 2025, DPR baru mengesahkan satu RUU, yaitu revisi UU TNI.
Sementara 13 RUU lain yang berhasil disahkan, lanjut Lucius, justru berasal dari daftar kumulatif terbuka.
Misalnya, RUU tentang pembentukan provinsi atau kabupaten/kota, serta tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni RUU BUMN dan RUU Minerba.
“Jadi yang benar-benar menampakkan visi politik legislasi DPR baru satu RUU saja,” ujar Lucius.
Dengan tunjangan besar yang diterima, seharusnya tak ada hambatan bagi DPR bekerja maksimal demi rakyat.
“Sayangnya, tunjangan itu malah memanjakan anggota DPR,” pungkas Lucius.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Author: Kompas.com
-
/data/photo/2025/08/25/68abe506e979b.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Tingkah Laku dan Pernyataan Anggota DPR yang Buat Rakyat Marah… Nasional
-
/data/photo/2025/08/15/689f2cbd2b12d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sri Mulyani Siapkan Anggaran untuk 2 Badan Baru yang Dibentuk Prabowo Nasional 26 Agustus 2025
Sri Mulyani Siapkan Anggaran untuk 2 Badan Baru yang Dibentuk Prabowo
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan, akan menyiapkan anggaran untuk dua badan baru yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto.
Dua badan baru tersebut yakni Badan Otorita Pengelola Tanggul Laut Pantura Jawa dan Badan Industri Mineral.
Presiden Prabowo pun sudah melantik kepala dan wakil kepala badan di Istana Negara, pada Senin (25/8/2025).
“Kalau sudah dibentuk pasti nanti ada turunannya,” kata Sri Mulyani, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025).
Sri Mulyani memastikan, anggaran dua badan itu pasti dipenuhi.
Namun, ia tidak menjawab gamblang pos anggaran mana saja yang bakal berubah dan dialihkan ke badan baru tersebut.
“Ya kalau badan baru terbentuk dipenuhi nanti,” ucap dia.
Sebagai informasi, Presiden Prabowo membentuk dua badan baru, yakni Badan Otorita Pengelola Tanggul Laut Pantura Jawa dan Badan Industri Mineral.
Kepala Negara juga menunjuk Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan Didit Herdiawan Ashaf sebagai Kepala Badan Otorita Tanggul Laut; serta Darwin Trisna Djajawinata dan Suhajar Diantoro sebagai Wakil Kepala.
Sementara, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto sebagai Kepala Badan Industri Mineral.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengungkapkan, dua badan baru tersebut dibentuk lantaran urgensi atas kebutuhan negara.
Negara perlu memulai pembangunan tanggul laut untuk kemaslahatan bersama.
Negara juga perlu mengeksplorasi mineral mengingat Indonesia kaya dengan sumber daya alam.
Adapun penunjukan dua orang sebagai Wakil Kepala Badan Otorita bukan tanpa alasan.
Prasetyo bilang, dua orang itu ditunjuk untuk mewakili masing-masing pihak, yakni Danantara dan pihak pemerintah.
“Maka kita membutuhkan satu yang mewakili Danantara. Kemudian satu juga di situ mewakili pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri,” kata Prasetyo di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025).
Prasetyo menjabarkan, perwakilan Danantara diperlukan lantaran di dalamnya bakal terdapat sejumlah proses pengelolaan, perencanaan, hingga pembangunan.
Sementara, pihak pemerintah diperlukan karena pembangunannya melintas di lima provinsi.
“Bicara Utara Jawa, ia akan berada di kurang lebih lima provinsi di pulau Jawa. Jadi lebih kepada masalah kebutuhan, enggak ada tafsir mengenai jumlah,” beber dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2018/03/26/1184872721.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Adik Megawati Dianugerahkan Bintang Utama dari Prabowo, Berjasa untuk Demokrasi Nasional 26 Agustus 2025
Adik Megawati Dianugerahkan Bintang Utama dari Prabowo, Berjasa untuk Demokrasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan Bintang Republik Indonesia Utama kepada Rachmawati Soekarnoputri, yang merupakan adik dari Megawati Soekarnoputri pada Senin (26/8/2025).
Bintang Republik Indonesia Utama diberikan kepada ahli waris Rachmawati yang dinilai berjasa dalam bidang demokrasi dan kebangsaan.
“Beliau berjasa sangat luar biasa dalam bidang demokrasi dan kebangsaan melalui pendirian organisasi dan advokasi kebangsaan berlandaskan ajaran Bung Karno,” ujar pembawa acara pemberian tanda kehormatan di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/8/2025).
“Mendorong penegakan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial,” sambungnya.
Diketahui, tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia Utama diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Penghargaan itu diberikan kepada para tokoh yang memenuhi tiga kriteria, yakni:
Rachmawati Soekarnoputri dilahirkan di Jakarta, pada 27 September 1950. Ia merupakan anak ketiga Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno.
Rachmawati juga merupakan adik dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang juga Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri.
Meski adik Megawati, Rachmawati Soekarnoputri memiliki jalur yang berbeda dalam partai politik dengan kakaknya itu.
Ia diketahui merupakan politisi Partai Gerindra dengan jabatan terakhir adalah Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
Selain menjadi politisi di Partai Gerindra, Rachmawati Soekarnoputri juga aktif sebagai Ketua Gerakan Pemuda Marhaen (GPM), pendiri Yayasan Bung Karno yang kini bernama Universitas Bung Karno, dan Ketua Yayasan Pendidikan Soekarno.
Adapun Rachmawati Soekarnoputri meninggal dunia dalam usia 70 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, pada Sabtu (3/7/2021).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/02/05/67a32266eefbe.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Miki Mahfud Tersangka Pemerasan Kemenaker Ternyata Suami Pegawai KPK Nasional
Miki Mahfud Tersangka Pemerasan Kemenaker Ternyata Suami Pegawai KPK
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan bahwa salah satu tersangka pemerasan pengurusan sertifikat Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Miki Mahfud, merupakan suami dari pegawai KPK.
“Benar, bahwa salah satu pihak yang diamankan, belakangan diketahui merupakan suami salah satu pegawai KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan, Senin (25/8/2025).
Meski begitu, Budi memastikan KPK tidak akan menghentikan proses hukum yang menjerat Miki Mahfud.
Dia mengatakan, hal ini merupakan bentuk dari sikap
zero tolerance
KPK dalam penanganan kasus korupsi.
“Hal ini sebagai bentuk sikap
zero tolerance
KPK terhadap perbuatan-perbuatan melawan hukum,” ujar dia.
Budi mengatakan, penyidik telah memeriksa pegawai KPK tersebut dan dinyatakan tidak ada keterlibatannya dalam perkara yang melibatkan tersangka tersebut.
“KPK pun telah melakukan pemeriksaan terhadap pegawai KPK tersebut dan hingga saat pernyataan ini dibuat, diketahui bahwa tidak ada keterlibatannya dengan perkara yang melibatkan suaminya,” tutur dia.
Budi menekankan KPK tetap menerapkan
zero tolerance
terhadap siapa pun yang diduga dan diketahui melakukan perbuatan melawan hukum.
“Termasuk melanggar kode etik yang berlaku, termasuk terhadap pegawai tersebut jika di kemudian hari ditemukan ada bukti lain yang melibatkan yang bersangkutan,” ucap dia.
Sebelumnya, KPK menetapkan 11 tersangka dalam kasus dugaan korupsi pungutan liar sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.
Salah satu adalah Wakil Menteri Ketenagakerjaan RI Immanuel Ebenezer.
“KPK menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan 11 orang sebagai tersangka, yakni IBM, kemudian GAH, SB, AK, IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan), FRZ, HS, SKP, SUP, TEM, dan MM,” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto, di Gedung KPK, Jumat (22/8/2025).
Adapun daftar tersangka tersebut yakni:
1. Irvian Bobby Mahendro (IBM), Koordinator Bidang Kelembagaan dan Personel K3 tahun 2022–2025.
2. Gerry Aditya Herwanto Putra (GAH), Koordinator Bidang Pengujian dan Evaluasi Kompetensi Keselamatan Kerja tahun 2022–sekarang.
3. Subhan (SB), Subkoordinator Keselamatan Kerja Dit. Bina K3 tahun 2020–2025.
4. Anitasari Kusumawati (AK), Subkoordinator Kemitraan dan Personel Kesehatan Kerja tahun 2020–sekarang.
5. Immanuel Ebenezer Gerungan (IEG), Wakil Menteri Ketenagakerjaan RI tahun 2024–2029.
6. Fahrurozi (FRZ), Dirjen Binwasnaker dan K3 Maret 2025–sekarang.
7. Hery Sutanto (HS), Direktur Bina Kelembagaan tahun 2021–Februari 2025.
8. Sekarsari Kartika Putri (SKP), Subkoordinator.
9. Supriadi (SUP), Koordinator.
10. Temurila (TEM), pihak swasta dari PT KEM Indonesia.
11. Miki Mahfud (MM), pihak swasta dari PT KEM Indonesia.
Setyo menuturkan, dalam perkara ini, KPK menduga ada praktik pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 yang menyebabkan pembengkakan tarif sertifikasi.
“Dari tarif sertifikasi K3 sebesar Rp275.000, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp 6.000.000 karena adanya tindak pemerasan dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan pembuatan sertifikasi K3 yang tidak membayar lebih,” kata Setyo.
KPK mencatat selisih pembayaran tersebut mencapai Rp 81 miliar yang kemudian mengalir kepada para tersangka.
Setyo mencontohkan, pada tahun 2019-2024, Irvian menerima Rp 69 miliar melalui perantara yang digunakan untuk belanja, hiburan, DP rumah, serta setoran tunai kepada Gerry, Herry, dan pihak-pihak lainnya.
Kemudian, Gerry diduga menerima Rp 3 miliar sepanjang 2020-2025, terdiri dari setoran tunai senilai Rp 2,73 miliar; transfer dari Irvian sebesar 317 juta, dan dua perusahaan di bidang PJK3 dengan total Rp 31,6 juta.
Lalu, Subhan diduga menerima aliran dana sejumlah Rp 3,5 miliar pada kurun waktu 2020-2025 dari sekitar 80 perusahaan di bidang PJK3.
Sementara, Anitasari Kusumawati menerima Rp 5,5 miliar pada tahun 2021-2024 dari pihak-pihak perantara.
Setyo menyebutkan, uang tersebut juga mengalir ke penyelenggara negara, termasuk Noel selaku Wamenaker senilai Rp 3 miliar, serta Farurozi dan Hery sebesar Rp 1,5 miliar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/24/68ab184cb4bf3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Immanuel Ebenezer Dicampakkan Prabowo: Dipecat dari Kabinet dan Gerindra Nasional
Immanuel Ebenezer Dicampakkan Prabowo: Dipecat dari Kabinet dan Gerindra
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Karier politik Immanuel Ebenezer alias Noel di ujung tanduk setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (22/8/2025).
Di hari yang sama, Presiden Prabowo Subianto memecat Noel dari jabatan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker).
“Menyampaikan berkenaan dengan perkembangan terhadap kasus yang menimpa saudara Immanuel Ebenezer, yang pada sore hari tadi telah ditetapkan sebagai tersangka KPK,” ujar Mensesneg Prasetyo Hadi, kepada wartawan, Jumat (22/8/2025).
“Baru saja untuk menindaklanjuti hal tersebut, Bapak Presiden telah menandatangani keputusan presiden tentang pemberhentian saudara Immanuel Ebenezer dari jabatannya sebagai Wamenaker,” sambung dia.
Tiga hari berselang, Partai Gerindra menyatakan bahwa pencabutan keanggotaan Immanuel Ebenezer sedang diproses.
“Saya kira proses di partai juga akan segera menyusul. Dicabut keanggotaannya, dicabut KTA-nya,” kata Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Sugiono di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025).
Sugiono mengakui, Noel merupakan anggota Partai Gerindra.
Namun, ia mengatakan, ada perbedaan mendasar antara anggota partai dengan kader.
Seseorang bisa dibilang kader jika sudah menjalani proses kaderisasi di internal partai.
Sugiono menyebutkan, ada beberapa tingkat kaderisasi yang perlu dilalui oleh kader.
Sementara, Noel belum pernah mengikuti kaderisasi apapun di Partai Gerindra.
“Sepanjang ingatan saya, Pak Noel itu belum pernah mengikuti kaderisasi di Gerindra. Tapi, sebagai persyaratan pencalegan di tahun 2024, ada kewajiban untuk menjadi anggota Gerindra,” ucap dia.
Oleh sebab itu, Gerindra akan mengevaluasi keanggotaan Noel di partai besutan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
“Proses yang akan kami lakukan tentu saja akan mengevaluasi keanggotaan tersebut. Dan kalau misalnya memang sudah, kemarin kan sempat sudah tersangka ya, sudah diberhentikan juga sebagai anggota kabinet,” tutur Sugiono.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan, Noel memang tidak aktif dalam kegiatan partai beberapa waktu terakhir meski pernah maju sebagai calon anggota legislatif dari partai tersebut.
“Hari-hari yang bersangkutan tidak aktif baik dalam kepengurusan maupun kegiatan partai. Oleh karena itu, saya belum tahu apakah secara otomatis (tak lagi anggota). Itu kan per setiap akhir tahun, keanggotaan partai itu ada pendaftaran ulang atau registrasi ulang,” ujar Dasco.
KPK menetapkan Noel dan 10 orang lainnya sebagai tersangka setelah operasi tangkap tangan, pada Rabu (20/8/2025).
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan, Noel diduga menerima Rp 3 miliar dari praktik pemerasan pengurusan sertifikat K3 di Kemenaker.
“Sejumlah uang tersebut mengalir kepada pihak penyelenggara negara yaitu saudara IEG (Immanuel Ebenezer) sebesar Rp 3 miliar pada Desember 2024,” kata Setyo dalam konferensi pers, Jumat (22/8/2025).
Setyo menuturkan, dalam perkara ini, KPK menduga ada praktik pemerasan dalam pengurusan sertifikasi K3 yang menyebabkan pembengkakan tarif sertifikasi.
“Dari tarif sertifikasi K3 sebesar Rp 275.000, fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pekerja atau buruh harus mengeluarkan biaya hingga Rp 6.000.000 karena adanya tindak pemerasan dengan modus memperlambat, mempersulit, atau bahkan tidak memproses permohonan pembuatan sertifikasi K3 yang tidak membayar lebih,” kata Setyo.
KPK mencatat, selisih pembayaran tersebut mencapai Rp 81 miliar yang kemudian mengalir kepada para tersangka, termasuk Rp 3 miliar yang dinikmati oleh Noel.
Setyo mengungkapkan, praktik pemerasan itu sudah terjadi sejak 2019 ketika Noel belum bergabung ke kabinet.
Namun, setelah menjadi orang nomor dua di Kemenaker, Noel justru membiarkan praktik korup tersebut terus berlanjut, bahkan ia ikut meminta jatah.
“Peran IEG (Immanuel Ebenezer) adalah dia tahu, dan membiarkan bahkan kemudian meminta. Jadi artinya proses yang dilakukan oleh para tersangka ini bisa dikatakan sepengetahuan oleh IEG,” kata Setyo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/26/68ace344b8d95.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Jejak Kericuhan Demo 25 Agustus: Motor Dibakar hingga Pos Polisi Dirusak Megapolitan
Jejak Kericuhan Demo 25 Agustus: Motor Dibakar hingga Pos Polisi Dirusak
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Demo 25 Agustus 2025 yang digelar di sekitar Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, berujung ricuh di beberapa titik.
Kericuhan terjadi setelah polisi memukul mundur massa dari depan gedung parlemen.
Akibatnya, kelompok demonstran terpencar ke berbagai ruas jalan di sekitar lokasi, termasuk kawasan Gerbang Pemuda hingga Kolong Jembatan Pejompongan.
Dalam peristiwa itu, sejumlah fasilitas umum mengalami kerusakan. Pos polisi, rambu lalu lintas, hingga pembatas jalan menjadi sasaran amukan massa.
Tak hanya itu, motor yang terparkir di depan gerbang Pancasila Gedung DPR/MPR RI dibakar massa.
Sebuah sepeda motor dibakar saat demo 25 Agustus 2025 di depan Gerbang Pancasila DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat.
Pantauan Kompas.com di lokasi, pukul 14.50 WIB motor yang terbakar sudah dalam kondisi hangus. Seluruh bodi habis dilalap api, menyisakan rangka besi berwarna hitam pekat.
Bau menyengat sisa kebakaran masih tercium kuat di sekitar lokasi.
Selain motor yang hangus, terlihat pula sisa-sisa kertas putih yang ikut terbakar berserakan di jalan.
Aspal di sekitar titik kebakaran juga dipenuhi bekas arang dan serpihan plastik yang meleleh.
“Pas apinya besar banget, massa malah teriak-teriak. Habis padam, tinggal rangka doang,” kata Sani (21) peserta aksi yang berada di sekitar lokasi kepada Kompas.com, Senin.
Tak berhenti sampai di situ, Pos polisi di Jalan Gerbang Pemuda menjadi sasaran amukan massa demo 25 Agustus, usai unjuk rasa di belakang Gedung DPR/MPR RI.
Sejumlah massa tampak merusak pos polisi dengan melempar batu dan memukul menggunakan batang bambu.
Suara benda keras beradu dengan bangunan membuat situasi semakin ricuh.
Mereka yang melakukan perusakan mengenakan pakaian bebas, sedangkan sebagian lainnya terlihat memakai seragam sekolah putih abu-abu.
Beberapa peserta aksi juga menutup wajah mereka dengan masker, kain, maupun jaket untuk menyamarkan identitas.
Di sisi lain, sebagian pedemo hanya berdiri menyaksikan tanpa ikut terlibat, seolah ragu atau memilih menjaga jarak dari kericuhan.
Aksi perusakan itu membuat sejumlah peserta aksi bersorak.
Massa yang awalnya berunjuk rasa di depan Gedung DPR RI, berlarian ke arah rel kereta di bawah Kolong Jembatan Pejompongan setelah dipukul mundur aparat kepolisian. Mereka memanjat pagar pembatas besi dan memadati jalur rel.
Dari arah Jalan Palmerah Timur menuju Pejompongan, massa melempari aparat dengan batu yang diambil dari rel.
Beberapa di antara mereka duduk di atas pagar sambil menyalakan petasan. Ada pula yang mengibarkan bendera merah putih serta bendera bajak laut Jolly Roger dari anime One Piece.
Di seberang rel, aparat berseragam loreng dan cokelat lengkap dengan tameng dan pelindung kepala menangkis lemparan dengan mengangkat tameng ke atas.
Tak lama kemudian, polisi membalas serangan dengan menembakkan gas air mata.
Sejumlah perjalanan KRL terganggu akibat kerumunan massa yang memenuhi perlintasan kereta api.
PT KAI Commuter meminta penumpang yang menuju Stasiun Serpong, Parung Panjang, atau Rangkasbitung mengantisipasi kepadatan di sekitar akses Stasiun Palmerah.
Sebagai alternatif, pengguna dapat memanfaatkan stasiun terdekat lainnya seperti Kebayoran atau Tanah Abang.
Pantauan Kompas.com pada Senin (25/8/2025) pukul 17.32 WIB, memperlihatkan sejumlah penumpang Commuter Line berjalan kaki di rel kereta di Jalan Pejompongan Raya.
Mereka berbondong-bondong bergerak dari arah Pejompongan menuju Palmerah.
Beberapa penumpang terlihat menutup hidung dan mata untuk meredam perih gas air mata. Mereka berjalan hati-hati karena permukaan rel dipenuhi bebatuan yang tidak rata.
Batu dan kayu berserakan di Jalan Pejompongan Raya, tepat di bawah Kolong Jembatan Pejompongan, Senin sore.
Pecahan batu memenuhi ruas jalan yang mengarah ke Jalan Tentara Pelajar. Di antara batu itu, tampak botol dan potongan kayu yang diduga dipakai massa untuk menyerang polisi.
Beberapa kayu hangus terbakar masih tergeletak di sekitar lokasi. Api memang sudah padam, tetapi sisa-sisa kebakaran masih terlihat jelas.
Di sepanjang jalan, selongsong gas air mata berserakan. Polisi sebelumnya berkali-kali menembakkannya untuk memukul mundur massa.
Meski asap telah hilang, bau gas air mata masih terasa menusuk. Warga yang melintas tampak kesulitan bernapas. Beberapa pengendara motor bahkan terlihat meneteskan air mata karena tak kuat menahan perih.
Seorang pengemudi ojek online terpaksa menepikan motornya. Ia meminta air kepada warga sekitar karena matanya perih akibat gas air mata.
Massa aksi juga sempat menerobos masuk ke ruas Tol Dalam Kota KM 07+400.
“Petugas kepolisian diarahkan menuju lokasi untuk melakukan pengaturan massa,” kata Senior Manager Jasamarga Metropolitan Tollroad, Ginanjar Rakhmanto.
Akibatnya, Jasamarga melakukan rekayasa lalu lintas. Kendaraan dari arah Cawang menuju Slipi dialihkan keluar di off ramp KM 05+000, sementara arah sebaliknya dialihkan keluar di off ramp KM 12+500.
Polda Metro Jaya melalui akun X @TMCPoldaMetro juga mengumumkan pengalihan arus lalu lintas di beberapa titik, termasuk Exit RS Dharmais arah Pancoran.
“Pengendara diimbau tetap bersabar dan berhati-hati,” tulis TMC.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/22/68a85a476fe45.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti Nasional 26 Agustus 2025
Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika
“
Constitution is a flexible and pragmatic charter, not a fixed and immutable artifact
” – Farah Peterson (2020).
PETERSON
tepat, perubahan konstitusi memang suatu keniscayaan sebab ia bukan artefak yang tetap.
Sehubungan itu, publik kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Immanuel “Noel” Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
Tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia menyampaikan permintaan maaf sekaligus harapan agar Presiden Prabowo Subianto memberinya amnesti.
Seturutnya, dalam Seminar Konstitusi bertema Dialektika Konstitusi yang diselenggarakan MPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul selaku salah satu narasumber turut menyinggung ihwal abolisi dan amnesti sebagai ‘terobosan’ yang menyiratkan adanya peran “Korea” di baliknya.
Ada relasi implisit yang terhubung antara harapan Amnesti Noel, “Korea”, dan amandemen konstitusi.
Sebetulnya, harapan Noel bukan tanpa alasan. Publik tentu mengingat, beberapa waktu sebelumnya, Presiden Prabowo telah memberikan pengampunan berupa abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Dua figur politik yang bukan loyalis pemerintahan saat ini.
Ucapan Noel jelas sarat makna. Baginya, jika pihak yang berada di luar lingkaran politik presiden saja bisa mendapat pengampunan, maka sebagai loyalis tentu tidak mustahil ia berharap mendapat perlakuan serupa.
Namun, harapan itu justru memunculkan problem tidak sederhana: apakah kewenangan konstitusional presiden memberi abolisi dan amnesti memang sepenuhnya dapat digunakan atas dasar pertimbangan politik, nir-indikator hukum yang jelas?
Hal demikian menjadi relevan di tengah wacana keinginan MPR untuk melakukan amandemen konstitusi seperti terefleksi dalam kegiatan Seminar Konstitusi yang diselenggarakan oleh MPR di Gedung Nusantara V belum lama ini (21/8/2025).
Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Rumusannya sederhana, bahkan minim kriteria substantif.
Di sinilah ruang tafsir menjadi terbuka. Padahal, dalam teori konstitusi, setiap teks konstitusi adalah janji yang harus ditafsirkan dalam bingkai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Alexander Bickel, 1986).
Jimly Asshiddiqie (2005) menekankan, konstitusi tidak boleh dipahami semata sebagai teks normatif, melainkan sebagai
living constitution
yang senantiasa ditafsirkan sesuai semangat zaman.
Maka, pemberian pengampunan oleh presiden semestinya ditafsirkan bukan hanya sebagai hak prerogatif politik, melainkan sebagai kewenangan konstitusional yang terikat pada prinsip keadilan publik.
Dari perspektif teori penafsiran konstitusi, memang ada ruang elastis untuk memberikan makna baru atas pasal-pasal UUD 1945.
Tidak heran bila Alexander Bickel dalam uraiannya yang lain menyebut: konstitusi selalu lebih besar daripada teksnya, sebab nilainya hidup dalam tafsir.
Dalam episentrum itu, maka butuh tafsir yang sehat guna melahirkan praktik ketatanegaraan yang adil. Namun sebaliknya, tafsir yang politis berpotensi menggerus legitimasi demokrasi konstitusional.
Di titik inilah pernyataan Bambang Pacul dalam forum Seminar Konstitusi menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa kebijakan pengampunan Prabowo terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tak lepas dari peran “Korea” di balik hak prerogatif presiden itu.
Istilah “korea” merupakan metafora yang menggambarkan mereka yang selalu melompat lebih maju dibanding orang lain, berusaha keras menaikkan derajat sosial melalui kerja keras, bukan jalan pintas.
Dalam tafsir simbolik ini, seorang “Korea” sebetulnya menyiratkan kita pada konsep negarawan: sosok yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Boleh jadi, ia justru menjadi salah satu ciri dari kenegarawanan itu sendiri.
Dalam kaitan itu, kasus korupsi yang menjerat Noel sesungguhnya menunjukkan kebalikan dari semangat kenegarawanan dalam konstitusi. Sebagai pejabat negara, dengan segala fasilitas dan kepercayaan publik, korupsi sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Lompatan status sosial, sebagaimana menjadi ciri “Korea” yang acapkali digaungkan Bambang Pacul, yang mestinya dicapai melalui kerja keras dan integritas, malah ditempuh dengan jalan tikus bernama korupsi. Makna “korea” dalam kasus Noel pun mengalami degradasi.
Jika konsep “Korea” hendak dijadikan pijakan, maka perubahan konstitusi yang kini didiskusikan semestinya mengarah pada perumusan syarat negarawan bagi jabatan-jabatan publik.
Ini menjadi momen mengonstruksi makna “korea” sejati: seorang negarawan yang menjauhi korupsi.
Selama ini, hanya hakim Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit dipersyaratkan sebagai negarawan (Pasal 24C ayat 5). Jabatan menteri dan wakil menteri pun luput dari syarat kenegarawanan.
Di sisi lain, amat mungkin aspek kenegarawanan dijadikan sebagai salah satu indikator konstitusional bagi presiden dalam memberikan pengampunan melalui abolisi dan amnesti.
Dengan begitu, jabatan publik akan diisi oleh orang-orang yang menghayati integritas, bukan sekadar mencari celah untuk memperkaya diri. Pun demikian, amnesti yang diberikan dapat benar-benar mengarah hanya kepada mereka yang memang pantas untuk mendapatkannya.
Kasus pengampunan yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong telah menunjukkan pro dan kontra.
Di satu sisi, ia dipuji sebagai langkah berani presiden untuk menutup polemik hukum yang berbau politik. Di sisi lain, publik khawatir amnesti dan abolisi bisa menjadi instrumen politisasi hukum.
Pada titik inilah gagasan amandemen konstitusi relevan dilakukan: merumuskan kriteria obyektif agar pengampunan tidak semata-mata bergantung pada selera politik.
Manakala mereka “para Korea” mengalami kriminalisasi berbau politik kuasa, maka jalan pengampunan melalui amnesti atau abolisi dengan indikator konstitusional yang jelas terbuka lebar.
Amnesti dalam makna “Korea”—memang bisa saja dimaknai bahwa pengampunan itu sebagai terobosan politik. Namun, dalam optik kenegarawanan, “Korea” boleh dimaknai dalam konteks bahwa seorang negarawan adalah mereka yang menjauhi segala tindakan koruptif.
Kerja keras, berfikir “out of the box”, dan konsistensi untuk melakukan lompatan bukan berarti harus melanggar konstitusi, termasuk korupsi.
Seorang “Korea sejati” akan memaknainya sebagai instrumen keadilan restoratif yang mengembalikan marwah hukum.
Jika syarat negarawan ini diperluas dalam konstitusi, maka pemberian pengampunan pun akan lebih legitimate dan terjaga dari manipulasi politik.
Kasus Noel seharusnya menjadi pelajaran kolektif. Sebagai wakil menteri, ia sudah menapaki tangga sosial tertinggi yang mestinya tidak lagi memerlukan korupsi. Namun, jalan pintas tetap dipilih dan kini ia justru berharap presiden mau menurunkan “tali pengampunan.”
Di sinilah publik melihat kontras tajam antara mereka yang “Korea sejati” dengan yang bukan. Tak ayal, ini momentum untuk memaknai kembali apa sebetulnya “korea” dalam optik ketatanegaraan dan kenegarawanan.
Momentum Seminar Konstitusi oleh MPR baru-baru ini yang membicarakan amandemen UUD 1945 tidak boleh berhenti pada wacana.
Ia mesti menjadi kesempatan berharga untuk menyempurnakan aturan tentang abolisi dan amnesti, memperluas syarat kenegarawanan, dan memperkuat integritas jabatan publik.
Dengan begitu, konstitusi benar-benar hadir sebagai benteng yang melindungi rakyat dari politisasi hukum. Sekaligus, mencegah lahirnya pejabat “setengah Korea” yang mudah tergelincir dalam korupsi.
Karena itu, pertanyaan paling menggugah hari ini bukanlah apakah Noel akan mendapat amnesti, melainkan: apakah bangsa ini berani memastikan hanya “Korea” sejati—negarawan yang berintegritas—yang layak duduk di kursi kekuasaan?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/08/22/68a7f5b4cd10b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/25/68ac3496a301a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)