Terungkapnya 6 Polisi Keroyok Mata Elang Berujung Ricuh di Kalibata
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Polisi akhirnya menangkap enam orang tersangka pengeroyokan yang menewaskan dua orang mata elang atau
debt collector
di area parkiran TMP Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan pada Kamis (11/12/2025) lalu.
Kasus ini pun terungkap setelah sempat meninggalkan jejak teka-teki mengenai identitas pelaku yang melakukan
pengeroyokan
dan berujung pada bentrokan yang menyebabkan pembakaran dan perusakan lapak pedagang.
Dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya pada Jumat (12/12/2025) malam, polisi mengungkap bahwa keenam pelaku ternyata merupakan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
“Polri telah melakukan pengejaran para pelaku dari hasil penyelidikan intensif, dan kemudian sampai saat ini mengamankan enam orang terduga pelaku untuk penyidikan,” tutur Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Jumat malam.
Enam orang tersebut merupakan personel satuan pelayanan alias Yanma di Markas Besar (Mabes) Polri.
“Adapun identitas keenam pelaku adalah Brigadir IAM, Bripda JLA, Bripda RGW, Bripda IAB, Bripda BN, dan Bripda AM,” ucap Trunoyudo.
Enam
anggota Polri
itu sebelumnya ditangkap setelah penyidik melakukan pemeriksaan dan pendalaman terhadap kasus pengeroyokan yang menewaskan dua mata elang berinisial MET dan NAT.
“Polri telah melakukan pengejaran para pelaku dari hasil penyelidikan intensif, dan kemudian sampai saat ini mengamankan enam orang terduga pelaku untuk penyidikan,” kata Trunoyudo.
Polisi pun menyita sejumlah barang bukti, yang meliputi satu kunci kendaraan, empat helm, lima ponsel, tiga sandal, dan dua pelat nomor kendaraan (TNKB).
Peristiwa ini bermula ketika pukul 15.45 WIB dua mata elang menghentikan seorang pengemudi sepeda motor di Jalan Raya
Kalibata
, Pancoran, Jakarta Selatan pada Kamis malam lalu.
Melihat hal itu, lima orang dari sebuah mobil yang berada di belakang pemotor turun untuk membantu pengendara motor tersebut.
“Nah, setelah diberhentiin, tiba-tiba pengguna mobil di belakangnya membantu,” kata Kapolsek Pancoran Komisaris Polisi Mansur, saat dikonfirmasi
Kompas.com
, Kamis.
Berdasarkan kesaksian warga, kelima orang itu memukuli dua pria tersebut dan menyeret mereka ke pinggir jalan.
Belakangan diketahui bahwa sosok-sosok yang melakukan pengeroyokan ini adalah anggota Yanma Mabes Polri.
Trunoyudo menuturkan, pihaknya kemudian mendapat informasi terjadi pengeroyokan di kawasan Kalibata.
“Polsek Pancoran menerima laporan melalui layanan 110 mengenai adanya dugaan penganiayaan terhadap dua pria di area parkir depan TMP Kalibata,” ucap Trunoyudo, Jumat.
Sekitar pukul 16.00 WIB, personel Polsek Pancoran pun tiba di lokasi dan menemukan kedua korban sudah dalam kondisi terluka parah.
Salah satu korban telah tewas di tempat, sedangkan korban lain mengalami luka serius.
Tak berselang lama, korban lainnya itu dinyatakan meninggal di Rumah Sakit Budi Asih, Jakarta Timur.
Peristiwa itu kemudian dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada pukul 20.11 WIB.
Kematian mata elang itu pun kemudian memicu kemarahan rekan-rekannya, yang meluapkan amarah dengan merusak serta membakar lapak dan kios pedagang di sekitar lokasi pengeroyokan.
“Polri telah melakukan langkah-langkah intensif selama 1×24 jam, termasuk olah TKP, pemeriksaan 12 saksi, pengamanan lokasi, dan pendampingan keluarga korban,” ujarnya.
Atas perbuatannya itu, keenam polisi di atas dijerat Pasal 170 ayat 3 KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal.
Penerapan pasal-pasal tersebut dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang dinilai sudah cukup.
“Polri menegaskan bahwa proses penyidikan ini masih berjalan secara simultan oleh penyidik Polda Metro Jaya dan di-backup dengan penyidik dari Mabes Polri atau Bareskrim Polri,” ucap Trunoyudo.
Selain itu, mereka juga ditetapkan sebagai pelanggar kode etik Polri setelah pemeriksaan intensif dan analisis dari Divisi Propam Polri.
“Didapatkan hasil bahwa telah ditetapkan enam orang anggota Polri di sini adalah anggota pada Satuan Pelayanan Markas di Mabes Polri sebagai Terduga Pelanggar,” kata Trunoyudo.
Keenamnya dijadwalkan menjalani persidangan kode etik pada Rabu, 17 Desember 2025, setelah proses pemberkasan selesai.
“Maka rencana tindak lanjut dari Divpropam Polri terhadap enam terduga pelanggar akan segera dilakukan proses pemberkasan Kode Etik Profesi Polri sesuai dengan mekanisme yang ada,” jelas Trunoyudo.
Mereka dinilai melanggar Pasal 13 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri, juncto Pasal 8 huruf C angka 1 Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, yang mewajibkan anggota menaati dan menghormati norma hukum.
Selain itu, mereka juga dianggap melanggar Pasal 13 huruf M Perpol Nomor 7 Tahun 2022, yang melarang anggota Polri melakukan kekerasan, berperilaku kasar, dan tidak patut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Author: Kompas.com
-
/data/photo/2025/12/12/693bb6c3f1e16.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Permintaan Maaf dan Janji Prabowo Saat Temui Pengungsi di Aceh…
Permintaan Maaf dan Janji Prabowo Saat Temui Pengungsi di Aceh…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan permintaan maafnya kepada para pengungsi korban bencana banjir bandang dan tanah longsor ketika menemui pengungsi di Aceh, Jumat (12/12/2025).
Prabowo meminta maaf apabila kebutuhan masyarakat korban banjir bandang dan tanah longsor belum terpenuhi, termasuk aliran listrik yang belum sepenuhnya menyala di kabupaten tersebut.
“Pemerintah akan turun akan membantu semuanya, saya minta maaf kalau masih ada yang belum, kita sedang bekerja keras, mungkin listrik yang belum ya, listrik,” kata Prabowo kepada korban pengungsian di Aceh Tamiang, Jumat.
Memastikan aliran listrik diusahakan menyala, Prabowo kemudian bertanya kepada Bupati Aceh Tamiang Armia Fahmi terkait kesiapannya.
Armia pun menjawab bahwa listrik di Kabupaten Aceh Tamiang sudah menyala secara bertahap.
“Sudah mulai, Pak,” jawab Armia Fahmi.
“Sudah mulai, oke,” balas Prabowo.
Prabowo mengakui, kondisi di lapangan terkadang menyulitkan proses penanganan.
Namun, ia memastikan bahwa pemerintah akan terus berusaha.
“Kita berusaha kita tahu di lapangan sangat sulit, keadaannya sulit jadi kita atasi bersama, saya kira itu saja, ya. Mudah-mudahan kalian cepat pulih, cepat kembali, cepat normal,” ujar Prabowo.
Ketika mengunjungi posko pengungsian di Takengon, Aceh Tengah, Prabowo menjanjikan
hunian sementara
(huntara) maupun hunian tetap (huntap) kepada korban banjir dan tanah longsor di Sumatera.
“Ada nanti hunian sementara. Kemudian hunian tetap yang kita sudah siapkan,” kata Prabowo.
Prabowo meminta masyarakat turut bersabar karena pembangunan hunian butuh waktu.
Saat ini, pembangunan huntara dan huntap tengah disiapkan bersama dengan anggarannya.
“Kita rencanakan, kita alokasikan anggaran. Tapi butuh waktu. Jadi kami mohon kesabaran, saya tidak bisa mengerjakan semua begitu cepat,” ucap Prabowo.
“Kita sudah bekerja dengan sebaik-baiknya. Saya minta ketabahan dan kesabaran semua. Pasti kita akan bantu. Tenang saja,” imbuh dia.
Kepala Negara juga menyatakan pemerintah menyiapkan rencana memperbaiki seluruh jembatan yang rusak akibat banjir serta jalan-jalan yang tertimpa longsor.
“Kami sudah siapkan rencana semua jembatan akan kita perbaiki, jalan-jalan longsor akan kita tembus, listrik akan kita hidupkan semuanya, dan kalau masih ada kekurangan kita akan kejar atasi bersama, ya,” tutur dia.
Namun, Prabowo menekankan bahwa implementasi rencana ini tidak secepat kilat sehingga ia meminta semua pihak bersabar.
Prabowo juga mengaku sudah menyiapkan rencana untuk mengganti semua rumah yang hanyut akibat banjir bandang dan tanah longsor di Sumatera.
“Kita sudah kerahkan puluhan helikopter, puluhan pesawat, ya kita akan atasi ini bersama. Dan kita sudah siapkan juga rencana untuk mengganti semua rumah yang hanyut,” kata Prabowo.
Masih dalam kunjungannya di Aceh, Prabowo meminta agar alam harus dijaga bersama-sama dan mengingatkan semua pihak agar tidak menebang pohon sembarangan.
“Kita sekarang harus waspada, hati-hati. Kita harus jaga lingkungan kita, alam kita harus kita jaga, kita tidak boleh tebang pohon sembarangan,” kata Prabowo.
Pesan itu pun disampaikannya tidak terkecuali untuk pemerintah daerah (pemda). Ia meminta pemda lebih mengawasi hal tersebut.
“Saya minta pemerintah daerah lebih waspada, lebih awasi. Kita jaga alam kita dengan sebaik-baiknya, saya kira itu pesan,” ucap dia.
Prabowo meminta para korban untuk tabah dan tetap semangat.
Ia memastikan pemerintah akan berusaha memenuhi kebutuhan.
Ia ingin anak-anak di daerah terdampak bencana bisa kembali bersekolah.
“Anak-anak yang tabah, yang semangat, kita cepat kembali supaya anak-anak semua cepat sekolah semuanya,” ujar Prabowo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/10/691151730e301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK Nasional
Kritis Integritas: Pembangkangan Polri atas Putusan MK
Penyuluh Antikorupsi Sertifikasi | edukasi dan advokasi antikorupsi. Berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya integritas dan transparansi di berbagai sektor
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
DI TENGAH
upaya memperkuat supremasi hukum di Indonesia, keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 menjadi sorotan tajam.
Langkah ini muncul setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang anggota Polri aktif menjabat di kementerian dan lembaga sipil.
Tindakan yang seolah tak mengindahkan keputusan MK ini menggugah pertanyaan mendalam tentang komitmen institusi penegak hukum dalam menjaga integritas dan netralitasnya.
Pembangkangan terhadap putusan MK bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi juga ancaman terhadap prinsip dasar negara hukum.
Dengan tetap mengizinkan anggota Polri menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya merendahkan kewibawaan hukum, tetapi juga berpotensi memicu konflik kepentingan.
Situasi ini mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat, di mana polisi seharusnya menjadi penegak hukum yang independen, justru terjerat dalam kebijakan politik sipil.
Tindakan pemerintah dalam menanggapi situasi ini sangat krusial. Di saat masyarakat mendesak agar integritas hukum ditegakkan, langkah berani untuk menarik anggota Polri dari jabatan sipil dan menghentikan implementasi Perpol 10/2025 menjadi penting dan mendesak.
Hanya dengan mematuhi putusan MK dan menjalankan prinsip-prinsip profesionalitas, kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian dapat dipulihkan, serta memastikan bahwa Indonesia tetap berkomitmen pada supremasi hukum, bukan pada kekuasaan semata.
Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengizinkan anggota Polri aktif menjabat di 17 kementerian dan lembaga sipil terasa seperti tamparan bagi integritas institusi negara.
Aturan ini muncul hanya sebulan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara tegas melarang praktik semacam itu melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Putusan MK tersebut bukanlah hal sepele. MK membatalkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Alasan utamanya adalah untuk menjaga netralitas Polri sebagai penegak hukum, mencegah konflik kepentingan, dan menghindari politisasi institusi kepolisian.
Sebelum putusan ini, polisi aktif sering ditempatkan di posisi strategis sipil, seperti di kementerian atau lembaga negara, yang menurut para pemohon uji materi termasuk aktivis hak asasi manusia, merusak prinsip pemisahan kekuasaan.
Pakar hukum tata negara pun menilai putusan ini berlaku serta merta, mengharuskan polisi aktif yang sedang menjabat segera mundur.
Namun, respons Kapolri justru sebaliknya. Perpol baru tersebut secara eksplisit mengatur bahwa anggota Polri dapat bertugas di 17 instansi sipil, termasuk Kementerian Kehutanan, Kementerian Hukum dan HAM, hingga lembaga seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Intelijen Negara (BIN), KPK.
Ini bukan hanya kontradiktif dengan putusan MK, tapi juga mengabaikan seruan dari DPR RI yang mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menarik polisi dari jabatan sipil demi menghormati keputusan konstitusi.
Tidak salah jika banyak masyarakat beranggapan bahwa tindakan ini merupakan bentuk pembangkangan hukum yang jelas, yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap Polri dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penjaga konstitusi.
Jika keputusan MK, yang seharusnya final dan mengikat, tidak dianggap serius, maka persepsi publik terhadap institusi tersebut bisa runtuh.
Pertanyaan yang muncul adalah, untuk apa adanya Mahkamah Konstitusi jika putusannya tidak dihormati?
Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM berargumen bahwa putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, larangan hanya untuk pengangkatan baru, sementara yang sudah menjabat boleh tetap.
Pendapat ini didukung oleh sebagian kalangan, termasuk dari Nahdlatul Ulama (NU), yang melihatnya sebagai cara untuk menghindari kekacauan administratif mendadak.
Namun, argumen ini lemah secara hukum. Putusan MK bersifat final dan mengikat, dan prinsip non-retroaktif biasanya tidak berlaku untuk isu konstitusional yang menyangkut prinsip dasar negara.
Jika dibiarkan, ini bisa menjadi preseden berbahaya: lembaga eksekutif bisa mengabaikan MK dengan dalih interpretasi sendiri.
Menurut saya, tindakan Kapolri mencerminkan masalah lebih rumit dan ruwet dalam
reformasi Polri
. Reformasi polri juga tampaknya tak berdaya. Benarlah adanya bahwa reformasi Polri itu sekadar
omon-omon
di warung kopi.
Indonesia bukan negara polisi, tapi negara hukum di mana supremasi konstitusi harus diutamakan.
Dengan membiarkan anggota Polri tetap menjabat di instansi sipil, Kapolri tidak hanya melemahkan netralitas Polri, tapi juga menggerus kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.
Tentu saja hal Ini bisa memicu konflik kepentingan, di mana polisi yang seharusnya independen justru terlibat dalam kebijakan sipil, potensial menimbulkan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Inilah yang menjadi kekhawatiran saya.
Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi, Presiden Prabowo memiliki peran sentral dalam memastikan kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tanggung jawab ini tidak hanya bersifat otoritatif, tetapi juga mencerminkan kewajiban moral untuk menjaga agar seluruh lembaga negara, termasuk Polri, tunduk pada konstitusi.
Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mendesak pemerintah untuk menarik personel Polri dari jabatan sipil. Tindakan ini diharapkan dapat menghormati dan menegakkan keputusan MK yang telah ada.
Langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah bukanlah mempertahankan Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 (Perpol 10/2025), melainkan melakukan penataan transisi yang sesuai dengan hukum. Beberapa langkah penting yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama, menghentikan sementara implementasi Perpol 10/2025 sampai proses harmonisasi dengan putusan MK selesai. Langkah ini akan memberikan waktu yang cukup bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menyesuaikan regulasi yang ada guna mematuhi keputusan MK.
Kedua, segera menarik anggota Polri aktif dari jabatan sipil yang jelas bertentangan dengan putusan MK. Hal ini esensial untuk menghindari konflik kepentingan dan memastikan bahwa penegakan hukum tetap profesional dan bebas dari intervensi.
Ketiga, melakukan audit transparan terhadap seluruh bentuk penugasan personel aktif di luar struktur kepolisian. Dengan adanya audit ini, publik akan mendapatkan gambaran jelas tentang penggunaan sumber daya Polri dan menjamin keadilan dalam penugasan.
Keempat, membangun mekanisme transisi yang memungkinkan jabatan-jabatan yang ditinggalkan diisi oleh unsur Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat sipil lain. Ketersediaan layanan publik tidak boleh terganggu selama masa transisi ini.
Mekanisme yang baik akan memastikan kelangsungan pelayanan masyarakat tanpa menyalahi ketentuan hukum.
Langkah-langkah ini tidak hanya menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga integritas konstitusi, tetapi juga merupakan bentuk upaya untuk mencegah erosi terhadap prinsip profesionalitas dan netralitas Polri.
Dengan mengedepankan kepatuhan terhadap hukum, pemerintah dapat memperkuat legitimasi institusinya di hadapan publik, serta menciptakan kepercayaan yang lebih besar terhadap lembaga-lembaga negara
Pelanggaran terhadap konstitusi tidak selalu terjadi secara frontal. Sering kali ia berlangsung lewat regulasi teknis, keputusan administratif, atau penafsiran yang memelintir makna putusan peradilan.
Dalam kasus ini, Perpol 10/2025 menjadi contoh bagaimana aturan internal dapat menggeser batas-batas konstitusional secara perlahan, tapi signifikan.
Ketika MK telah mengeluarkan putusan final, yang dibutuhkan bukanlah perdebatan panjang, melainkan kepatuhan. Mengabaikannya berarti membiarkan marwah negara hukum terkikis sedikit demi sedikit.
Polri membutuhkan kepercayaan publik untuk menjalankan tugasnya. Kepercayaan itu hanya dapat bertahan jika institusi kepolisian menunjukkan komitmen terhadap prinsip dasar negara hukum.
Indonesia bukan negara polisi. Indonesia adalah negara hukum. Karena itu, langkah apa pun yang berpotensi mengaburkan batas antara kekuasaan sipil dan aparat harus dihentikan.
Tugas negara hari ini bukan hanya memperkuat supremasi hukum, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada lembaga yang berdiri di atas konstitusi.
Dalam setiap langkah kita menuju keadilan, sangat jelas bahwa hukum harus menjadi penuntun, bukan sekadar aturan yang bisa diabaikan.
Ketika lembaga-lembaga negara mulai mengabaikan putusan hukum, kita bukan hanya menghadapi ancaman terhadap integritas institusi, tetapi juga mengorbankan kepercayaan masyarakat yang telah dibangun dengan susah payah.
Masyarakat berhak mendapatkan penegakan hukum yang adil dan bijaksana, serta aparat yang mampu menjaga netralitasnya dalam setiap keputusan.
Pada akhirnya, saatnya bagi kita semua untuk bersuara, menantang setiap bentuk pembangkangan hukum yang merusak fondasi konstitusi.
Marilah kita bergerak bersama, mendorong pemerintah dan lembaga terkait untuk kembali pada prinsip-prinsip yang mendasar, demi masa depan yang lebih baik dan berkeadilan. Polisi kembalilah mengayomi bukan menguasai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/12/693c3c78ec7fd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Pengeroyok Mata Elang di Kalibata hingga Tewas adalah Anggota Yanma Mabes Polri Megapolitan 12 Desember 2025
6 Pengeroyok Mata Elang di Kalibata hingga Tewas adalah Anggota Yanma Mabes Polri
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Polisi mengungkap bahwa enam pelaku pengeroyokan mata elang atau
debt collector
yang menewaskan dua orang di TMP Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, pada Kamis (11/12/2025), merupakan anggota Satuan Pelayanan Markas (Yanma) Mabes Polri.
Adapun pengeroyokan ini memicu kerusuhan di sekitar lokasi, termasuk pembakaran lapak dan kios pedagang di Kalibata.
“Adapun keenam tersangka tersebut anggota satuan pelayanan markas di Mabes Polri,” tutur Karo Penmas Polda Metro Jaya Brigjen Trunoyudo dalam konferensi pers, Jumat (12/12/2025) malam.
Adapun identitas keenam pelaku adalah Brigadir IAM, Bripda JLA, Bripda RGW, Bripda IAB, Bripda BN, dan Bripda AM.
Keenam anggota Polri ini dijerat Pasal 170 ayat 3 KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal, dan juga diduga melanggar Kode Etik Profesi Polri.
Keenamnya juga dinyatakan melanggar kode etik profesi Polri dengan level berat.
“Berdasarkan alat bukti telah cukup melanggar kode etik profesi polri,” kata Trunoyudo.
Adapun sidang Komisi Kode Etik dijadwalkan berlangsung pada Rabu, 17 Desember 2025.
Menurut Trunoyudo, polisi telah melakukan langkah-langkah intensif sejak kejadian, termasuk olah TKP, pemeriksaan 12 saksi, pengecekan rekaman CCTV, pendataan kerugian warga, pengamanan lokasi, serta pendampingan keluarga korban.
“Polri berkomitmen untuk serius mengungkap kasus kriminal kepada siapa pun dan tidak pandang bulu. Kami akan menjalankan proses penegakan hukum secara transparan, profesional, dan proporsional,” ungkap Trunoyudo.
Sebelumnya, dua pria yang diduga debt collector atau mata elang dianiaya hingga satu di antaranya meninggal dunia di Jalan Raya Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Peristiwa bermula ketika kedua pria tersebut menghentikan seorang pengendara sepeda motor. Melihat hal itu, lima orang dari sebuah mobil yang berada di belakang turun untuk membantu pengendara motor tersebut.
“Nah, setelah diberhentiin, tiba-tiba pengguna mobil di belakangnya membantu,” kata Kapolsek Pancoran Komisaris Mansur, saat dikonfirmasi, Kamis.
Berdasarkan kesaksian warga, kelima orang itu kemudian memukuli dua pria tersebut dan menyeret mereka ke pinggir jalan.
Kematian salah satu mata elang memicu kemarahan rekan-rekannya, yang kemudian meluapkan amarah dengan merusak serta membakar lapak dan kios pedagang di sekitar lokasi pengeroyokan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/12/693c3c78ec7fd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Polisi Langgar Kode Etik Berat Usai Keroyok Mata Elang di Kalibata Megapolitan 12 Desember 2025
6 Polisi Langgar Kode Etik Berat Usai Keroyok Mata Elang di Kalibata
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Enam anggota Polri berinisial JLA, RGW, IAB, IAM, BN, dan AN, dinyatakan melanggar kode etik berat setelah terlibat dalam pengeroyokan dua mata elang (matel) di area parkir Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
“Berdasarkan alat bukti telah cukup melanggar
kode etik
profesi polri,” ujar Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jumat (12/12/2025).
Keenamnya berasal dari satuan pelayanan markas di Mabes Polri. Mereka juga dijerat Pasal 170 ayat (3) KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia.
“Enam tersangka tersebut anggota satuan pelayanan markas di Mabes Polri,” ujar Trunoyudo.
Enam anggota Polri itu sebelumnya ditangkap setelah penyidik melakukan pemeriksaan dan pendalaman terhadap kasus pengeroyokan yang menewaskan dua matel berinisial MET dan NAT.
“Polri telah melakukan pengejaran para pelaku dari hasil penyelidikan intensif, dan kemudian sampai saat ini mengamankan enam orang terduga pelaku untuk penyidikan,” kata Trunoyudo.
Kronologi Pengeroyokan
Sebelumnya, dua pria yang diduga debt collector atau mata elang dianiaya hingga satu di antaranya meninggal dunia di Jalan Raya Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Peristiwa bermula ketika kedua pria tersebut menghentikan seorang pengendara sepeda motor. Melihat hal itu, lima orang dari sebuah mobil yang berada di belakang turun untuk membantu pengendara motor tersebut.
“Nah, setelah diberhentiin, tiba-tiba pengguna mobil di belakangnya membantu,” kata Kapolsek Pancoran Komisaris Mansur, saat dikonfirmasi, Kamis.
Berdasarkan kesaksian warga, kelima orang itu kemudian memukuli dua pria tersebut dan menyeret mereka ke pinggir jalan.
Akibat pengeroyokan itu, kedua pria tersebut tewas.
Kematian mata elang itu memicu kemarahan rekan-rekannya, yang kemudian meluapkan amarah dengan merusak serta membakar lapak dan kios pedagang di sekitar lokasi pengeroyokan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/12/693bd61146460.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pengamen Biola Jakarta: Ketika Jalanan Menjadi Panggung Kreativitas Megapolitan 12 Desember 2025
Pengamen Biola Jakarta: Ketika Jalanan Menjadi Panggung Kreativitas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Di tengah perdebatan tentang ruang kota dan keberadaan pekerja sektor informal, fenomena pengamen biola di lampu merah Jakarta menampilkan lapisan lain dari kehidupan urban: kreativitas, keterdesakan ekonomi, sekaligus daya lenting warga kota untuk bertahan hidup.
Fenomena ini diamati secara langsung oleh
Kompas.com
di lampu merah Teuku Cik Ditiro, Cikini, Jakarta Pusat, dan menjadi sorotan seorang sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat.
Menurut Rakhmat, keberadaan
pengamen biola
adalah cermin dari perubahan lanskap sosial kota yang menghadirkan bentuk-bentuk kreativitas baru dari kelompok masyarakat urban marginal.
“Menurut saya mereka punya kemampuan yang berbeda, punya skill yang berbeda atau kreativitas yang berbeda. Sebagai sosiolog dan warga kota, saya lebih respect karena mereka menampilkan sesuatu yang unik dan kreatif untuk mendapatkan uang,” ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (11/12/2025).
Fenomena ini, menurut Rakhmat, menandakan bahwa sektor informal di kota tidak hanya soal bertahan hidup, tetapi juga proses penciptaan ruang-ruang ekspresi.
“Enggak semua orang bisa main biola. Itu yang membuat mereka berbeda. Mereka mencari celah, ruang ekonomi, sekaligus ruang bertahan hidup di kota,” kata dia.
“Mereka mungkin tidak punya pendidikan, tidak punya pekerjaan formal, tapi punya kemampuan yang bisa dijual dalam hal ini permainan biola,” lanjut Rakhmat.
Rakhmat menyebut, kreativitas seperti ini semakin penting dalam dinamika kota besar.
Ketika lapangan pekerjaan formal makin menyempit dan banyak warga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), keterampilan alternatif menjadi modal untuk tetap bertahan.
“Orang di kota harus punya skill. Ketika tidak punya pendidikan formal, mereka menampilkan kemampuan lain sebagai bagian dari ekonomi mereka,” tutur dia.
Yang lebih menarik, menurutnya, adalah bahwa performa pengamen biola sering kali tidak mengganggu pengguna jalan.
“Mereka itu perform di trotoar, di lampu merah, yang mengganggu itu pengamen yang memaksa, ngetok-ngetok pintu mobil. Tapi kalau main biola dengan lagu yang enak, justru itu bentuk art the street. Seni jalanan dan itu bagian dari kreativitas masyarakat perkotaan,” jelas Rakhmat.
Rakhmat juga mencatat, pengamen biola sering tampil dalam kelompok kecil, menciptakan harmoni mini di ruang-ruang sempit kota. “Di beberapa titik lampu merah, ada kelompok yang main drum, ada yang nyanyi, ada yang main biola. Itu menarik dan bisa berkembang kalau diberdayakan,” ucap dia.
Rakhmat menegaskan bahwa keberadaan
pengamen biola di Jakarta
bukan sekadar persoalan ketertiban atau pelanggaran Perda.
Fenomena ini, kata dia, harus dilihat sebagai gambaran lebih besar tentang hubungan warga dengan kotanya.
“Ada sisi ekonomi, sisi kreativitas, ruang bertahan hidup. Itu tidak bisa dipisahkan. Mereka menawarkan kemampuan yang berbeda. Dan itu harus dihargai,” ujar Rakhmat.
Ia menilai, jika pemerintah mampu menata sektor seni jalanan dengan pemberdayaan yang tepat, keberadaannya justru bisa menjadi bagian dari wajah kota yang lebih berwarna.
“Kalau mereka bisa ditata, diberdayakan, bisa lebih profesional dan terlindungi dalam jangka panjang,” ucap dia.
Suara gesekan biola terdengar lirih di antara deru knalpot pada Kamis (11/12/2025) sekitar pukul 14.30 WIB di perempatan Teuku Cik Ditiro, Cikini, Jakarta Pusat.
Di tengah padatnya arus kendaraan, seorang pengamen muda berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk, memainkan melodi pop yang akrab di telinga para pengendara.
Ia mengenakan jaket hitam, topi kuning, dan celana yang warnanya mulai pudar. Sebuah gelas plastik hitam menempel di pangkal biolanya untuk menampung receh dari pengguna jalan.
Ketika lampu lalu lintas berubah merah, ia bergerak cepat menuju barisan sepeda motor. Dengan langkah berhati-hati, ia memainkan kembali bagian lagu yang sama, berusaha menjaga nada tetap stabil di tengah kebisingan.
Dalam satu siklus lampu merah, hanya satu sampai dua pengendara yang memberikan uang receh. Ketika lampu berubah hijau, ia mundur ke tepi jalan, mengusap keringat, dan bersiap mengulangi rutinitas yang sama.
Di sisi trotoar, pedagang kaki lima memperhatikan tanpa heran.
Mereka sudah hafal pola hadirnya para pengamen, juga kapan Satpol PP biasanya datang untuk melakukan penertiban.
Risiko terserempet kendaraan terlihat jelas. Beberapa motor menerobos lampu merah pada detik-detik terakhir, membuat pengamen itu harus mundur mendadak.
Meski demikian, ekspresinya tetap tenang. Biola di tangannya tampak seperti satu-satunya sumber penghidupan yang bisa ia andalkan.
Pengamen yang ditemui Kompas.com itu bernama Deni (22), warga Citayam, Depok. Perawakannya kecil, namun gerakan tangannya ketika memainkan biola tampak mantap.
“Jarang saya ke sini, Kak, soalnya rumah jauh. Saya umur jalan 22. Asli Citayam,” ujarnya.
Deni mulai mengenal biola pada 2018. Sebelumnya ia hanya memainkan gitar kecil.
“Awalnya saya lihat teman pakai biola. Saya minjem-minjem. Alhamdulillah cepat nangkep. Seminggu udah bisa. Kalau sudah bisa melodi gitar, mirip, cuma biola nggak ada grip, jadi feeling,” kata Deni.
Ia mengakui bermain musik adalah ketertarikan lamanya. Namun bukan sekadar hobi, biola kemudian menjadi tumpuan ekonomi keluarga.
“Saya sudah punya anak. Jadi ya buat kebutuhan anak sama istri,” ucap dia.
Deni mengamen di Jakarta dan Depok, kadang sambil berjualan permen. Pendapatannya tidak pasti.
“Tergantung Allah, Kak. Paling kecil 50 ribu. Paling besar 100 ribu. Pernah dapat 200 ribu,” tutur Deni.
Mengamen di lampu merah bukan pekerjaan mudah. Risiko fisik dan penertiban menjadi keseharian Deni.
“Diserempet motor sering, dari Satpol PP juga. Udah lima kali ketangkep, pertama itu 21 hari karena enggak ada yang ngurus,” cerita Deni.
Sore hingga malam, persaingan semakin ketat karena muncul pengamen lain, termasuk manusia silver.
“Ada bagiannya masing-masing, Kak.”
Deni mengaku semua uang yang ia dapat langsung habis untuk kebutuhan keluarga.
“Kalau dapat 100 ribu, saya kasih istri buat anak. Besoknya kalau dapat 50–100 ribu, saya kasih mamah,” ujar Deni.
Kasatpol PP Jakarta Pusat Purnama Hasudungan Panggabean menjelaskan bahwa penertiban pengamen dilakukan berdasarkan Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum).
“Pasal 40 huruf a: Dilarang menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil. Huruf b: Dilarang menyuruh orang lain menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan dan pengelap mobil. Huruf c: Dilarang membeli kepada pedagang atau memberikan sejumlah uang kepada pengamen,” jelas Purnama.
Menurut Purnama, penyisiran yang mereka lakukan bukan semata-mata tindakan represif, melainkan bagian dari edukasi.
“Untuk itu kita memberikan pemahaman dan penghalauan kepada mereka yang melanggar ketertiban umum, bahwa mereka punya tempat untuk mengekspresikan keahliannya,” kata dia.
Namun hingga kini, ruang alternatif yang dimaksud belum sepenuhnya terwujud, sehingga pengamen tetap kembali ke jalanan karena itu satu-satunya ruang ekonomi yang tersedia bagi mereka.
Kesaksian pedagang
Selama lebih dari satu dekade berjualan di trotoar Teuku Cik Ditiro, Laras (38) sudah terbiasa dengan berbagai jenis pengamen. Menurut dia, pengamen biola membawa suasana yang berbeda.
“Dari dulu ada saja pengamen, tapi yang biola baru beberapa tahun ini ramai. Saya mah nggak masalah, selama mereka sopan dan enggak maksa,” kata dia.
Ia mengatakan permainan biola justru membuat suasana sedikit lebih hidup pada hari-hari tertentu.
“Kadang pembeli suka lihat karena suaranya beda. Enggak bising kayak pengamen lain,” tutur Laras.
Namun Laras juga menyaksikan langsung tantangan mereka.
“Sering banget diusir atau dikejar Satpol PP. Pernah lihat biolanya hampir jatuh karena panik. Dua kali saya lihat yang di tengah jalan langsung diangkut waktu razia gabungan,” jelas dia.
Menuru dia, jumlah pengamen meningkat setahun terakhir, tetapi hanya sedikit yang bertahan lama.
“Banyak yang coba-coba. Tapi yang bertahan cuma beberapa,” kata dia.
Hubungan pedagang dan pengamen biasanya harmonis.
“Selama mereka nggak mintain uang ke pedagang, saya oke aja. Banyak juga yang sopan, beli air minum di sini. Kadang kalau lagi nggak punya uang bilang dulu, nanti dibayar,” ucap Laras.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/12/693c3c78ec7fd.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Anggota Polri Jadi Tersangka Pengeroyokan Mata Elang di Kalibata Megapolitan 12 Desember 2025
6 Anggota Polri Jadi Tersangka Pengeroyokan Mata Elang di Kalibata
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Polisi telah menangkap enam tersangka
pengeroyokan mata elang
atau
debt collector
yang menewaskan satu orang di area parkiran TMP Kalibata, Pancoran,
Jakarta Selatan
, Kamis (11/12/2025).
Kasus ini memicu kerusuhan di sekitar lokasi, termasuk pembakaran lapak dan kios pedagang.
“Polri telah melakukan pengejaran para pelaku dari hasil penyelidikan intensif, dan kemudian sampai saat ini mengamankan enam orang terduga pelaku untuk penyidikan,” tutur Karo Penmas Polda Metro Jaya Brigjen Trunoyudo dalam konferensi pers, Jumat (12/12/2025).
“Adapun keenam tersangka tersebut anggota satuan pelayanan markas di Mabes Polri,” lanjut dia.
Tersangka yang diamankan meliputi JLA, RGW, IAB, IAM, BN, dan AN.
Keenamnya dijerat dengan pasal 170 ayat 3 KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Selain itu, keenamnya juga dinyatakan melanggar kode etik profesi Polri dengan level berat.
“Berdasarkan alat bukti telah cukup melanggar kode etik profesi polri,” kata Trunoyudo.
Sebelumnya, dua pria yang diduga
debt collector
atau mata elang dianiaya hingga satu di antaranya meninggal dunia di Jalan Raya Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
Peristiwa bermula ketika kedua pria tersebut menghentikan seorang pengendara sepeda motor. Melihat hal itu, lima orang dari sebuah mobil yang berada di belakang turun untuk membantu pengendara motor tersebut.
“Nah, setelah diberhentiin, tiba-tiba pengguna mobil di belakangnya membantu,” kata Kapolsek Pancoran Komisaris Mansur, saat dikonfirmasi, Kamis.
Berdasarkan kesaksian warga, kelima orang itu kemudian memukuli dua pria tersebut dan menyeret mereka ke pinggir jalan.
Kematian salah satu mata elang memicu kemarahan rekan-rekannya, yang kemudian meluapkan amarah dengan merusak serta membakar lapak dan kios pedagang di sekitar lokasi pengeroyokan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2015/06/30/1420471011-fot0149780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/09/6938199f5f1ad.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)