Korban Tewas Akibat Banjir-Longsor Sumatera Bertambah Jadi 1.016 Jiwa, 212 Hilang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari menyampaikan, korban tewas akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bertambah menjadi 1.016 jiwa per Minggu (14/12/2025).
Pada Sabtu (13/12/2025) kemarin, diketahui
korban tewas
mencapai 1.006 orang.
“Per hari ini, hasil pencarian dan pertolongan bertambah 10 jasad yang ditemukan,” ujar Muhari dalam jumpa pers virtual, Minggu.
Muhari memaparkan, korban meninggal bertambah 9 orang dari Aceh. Sedangkan satu lagi, korban tewas bertambah dari Agam, Sumatera Barat.
“Sehingga total yang kemarin 1.006 jiwa, hari ini bertambah menjadi 1.016 jiwa,” ucapnya.
Sementara itu, jumlah korban hilang saat ini mencapai 212 orang. Sedangkan untuk pengungsi mencapai 624.670 orang.
Sebelumnya, pada Jumat (12/12/2025) kemarin, Presiden
Prabowo Subianto
berkunjung ke Aceh Tamiang, Takengon, dan Bener Meriah di Aceh yang turut dilanda bencana.
Dalam kunjungannya itu, Prabowo menegaskan bahwa pemerintah bekerja keras menangani bencana di Sumatera serta mengawal
pemulihan pascabencana
.
Ia pun meminta maaf jika ada berbagai hal yang belum tertangani secara sempurna.
“Saya minta maaf kalau masih ada yang belum (tertangani). Kita sedang bekerja keras. Kita tahu kondisi di lapangan sangat sulit, jadi kita atasi bersama-sama. Mudah-mudahan kalian cepat pulih dan cepat kembali normal,” kata Prabowo.
Kepala Negara juga berjanji mengawal proses pemulihan pascabencana agar anak-anak dapat segera kembali bersekolah.
“Pesan saya, anak-anak harus tabah dan tetap semangat. Kita akan bergerak cepat supaya anak-anak bisa cepat kembali sekolah,” kata Prabowo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Author: Kompas.com
-
/data/photo/2025/12/14/693e3c422ff20.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kesaksian Tour Leader di Bangsring Banyuwangi: Pelaku Ancam, Jika Tak Bayar, Bus Tak Bisa ke Luar Surabaya 14 Desember 2025
Kesaksian Tour Leader di Bangsring Banyuwangi: Pelaku Ancam, Jika Tak Bayar, Bus Tak Bisa ke Luar
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Rombongan wisatawan asal Surabaya, Jawa Timur mengalami kejadian tak mengenakkan saat berkunjung ke Pantai Bangsring, Banyuwangi.
Para wisatawan mengalami pemalakan dan sempat dilarang pulang di sekitar kawasan Mutiara Pulau Tabuhan oleh oknum yang mengatasnamakan warga lokal dengan embel-embel “uang pengawalan”.
Tour leader rombongan, Timothy menceritakan awal mula kejadian ketika rombongan bus parkir di kawasan Mutiara Pulau Tabuhan, samping Pantai Bangsing pada Sabtu (13/12/2025).
“Kita kemarin bawa rombongan bus medium yang kecil. Parkir di depan Pantai Mutiara sebelahnya Bangsring,” kata Timothy saat dihubungi
Kompas.com
, Minggu (14/12/2025).
Timothy mengaku telah membayar tiket resmi sejumlah rombongan untuk masuk ke wisata
Pantai Bangsring
.
Rombongan pun menikmati suasana lalu pulang menuju parkiran bus.
“Setelah kita semua selesai, waktu kita mau keluar ternyata ada yang menghentikan kendaraan. Alasannya untuk pengawalan,” terangnya.
Agen yang merasa curiga pun langsung melapor ke pengelola tempat wisata dan dipastikan tidak ada biaya tambahan “uang pengawalan” sebesar Rp 150.000.
“Dari pengelola resmi gak ada itu iuran pengawalan kecuali kalau untuk kendaraan bus besar memang gak bisa masuk lalu mereka menyediakan shuttle tapi untuk medium bisa,” imbuhnya.
Rombongan pun sempat tertawan tidak bisa pulang karena bernegosiasi dengan oknum pungli.
Pihak agen pun bersedia membayar asal ada bukti kuitansi jelas dari pihak desa agar transparan.
“Tapi dia (pelaku) ini mengatasnamakan dari warga lalu bilang kalau misal gak bayar kendaraannya gak bisa keluar, jadi kita gak bisa pulang,” ucapnya.
Oknum pungli pun pergi sebentar mengambil kuitansi lalu kembali menyerahkan ke agen.
Namun anehnya, kuitansi yang ditunjukkan tidak ada logo atau stiker resmi dari pihak desa.
“Kan bilangnya yang mengeluarkan itu aturan desa tapi setelah kita minta tanda terima, dia gak bisa menunjukkan alasannya tanda terimanya di rumah,” bebernya.
“Lalu ya sudah ambil saja nggak apa-apa kita tunggu di sini. Orangnya pergi balik lagi bawa kuitansi ternyata ditulis tangan tanpa ada stempel atau kop dari desa,” sambung Timothy.
Agen pun geram. Tetapi, untuk menghindari keributan dan mengutamakan kondisi wisatawan, agen akhirnya membayar pungli tersebut sebesar Rp 100.000 lalu berhasil pulang.
“Dan setelah kita konfirmasi ternyata dari pihak desa itu tidak pernah mengeluarkan aturan tersebut. Dari pihak Polsek juga mengkonfirmasi bahwa orang tersebut bukan bagian dari pengelola, hanya mengatasnamakan warga,” pungkasnya.
Kejadian ini langsung mendapat respons dari pihak kepolisian setempat.
2 pelaku Busahra (56) dan Joddy Soebiyanto (61), yang merupakan warga Desa Bangsring dan Desa Bimorejo, Kecamatan Wongsorejo.
Keduanya telah diamankan oleh pihak Polsek Wongsorejo.
Tetapi, kedua pelaku tidak ditahan, melainkan hanya disanksi wajib lapor.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/19/68cd180779141.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tahun Baru dan Krisis Kesadaran Kita
Tahun Baru dan Krisis Kesadaran Kita
Pemerhati peristiwa sosial dan keagamaan
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
MENJELANG
pergantian tahun, ruang publik di Indonesia kembali dipenuhi hiruk-pikuk. Media sosial dipadati hitung mundur, pusat perbelanjaan menawarkan promo akhir tahun, sementara pemerintah daerah menyiapkan panggung hiburan dan pengamanan.
Di tengah tekanan ekonomi, ketidakpastian global, dan kelelahan sosial pascapandemi,
tahun baru
hadir sebagai jeda yang dinanti—sebuah harapan singkat untuk melepaskan penat kolektif.
Setiap pergantian tahun, wajah kota-kota di Indonesia nyaris seragam. Kembang api menghiasi langit, musik mengalun dari berbagai sudut, dan ruang publik dipenuhi kerumunan hingga larut malam. Tahun baru dirayakan sebagai pesta bersama, penanda jeda dari rutinitas dan kepenatan hidup sehari-hari.
Dalam masyarakat yang kian kompetitif dan sarat tekanan, kebutuhan akan hiburan tentu tidak bisa disangkal. Ia menjadi katup pelepas yang wajar. Namun, di balik kemeriahan itu, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan secara jujur: apa yang sebenarnya kita rayakan?
Pergantian angka pada kalender kerap diperlakukan seolah membawa harapan otomatis, seakan waktu akan menyelesaikan masalah dengan sendirinya. Padahal, waktu bergerak netral. Ia tidak memilih, tidak menunggu, dan tidak memberi keringanan. Yang berubah—atau justru tidak berubah—adalah cara manusia memaknai dan mengelolanya.
Di sinilah krisis kesadaran itu muncul. Kita tidak kekurangan perayaan, tetapi kekurangan perenungan. Budaya kita relatif akrab dengan seremoni, namun sering gagap dalam
refleksi
. Kita piawai menciptakan momen ramai, tetapi kurang tekun membangun kebiasaan evaluasi. Tahun baru pun lebih sering dipahami sebagai pesta kolektif, bukan sebagai kesempatan meninjau ulang arah hidup—baik secara personal maupun sebagai masyarakat.
Ironisnya, dalam konteks Indonesia, krisis ini terjadi di tengah kekayaan tradisi reflektif. Dalam khazanah budaya dan keagamaan kita dikenal praktik muhasabah, tirakat, semedi, hingga laku prihatin. Semua mengajarkan nilai yang sama: perubahan menuntut kesadaran, pengendalian diri, dan kesabaran.
Namun, di tengah arus budaya populer yang serba instan, tradisi perenungan itu kian terpinggirkan, tergantikan oleh euforia sesaat dan optimisme musiman. Akibatnya, pergantian tahun sering berlalu tanpa makna substantif. Resolusi disusun dengan penuh semangat, tetapi cepat dilupakan. Target hidup dipancang tinggi, sementara kebiasaan lama tetap dipelihara.
Kita berharap perubahan besar, tetapi enggan memulai dari disiplin kecil: menghargai waktu, jujur pada proses, konsisten pada tanggung jawab. Tahun berganti, tetapi pola hidup dan cara kerja nyaris tak beranjak.
Perlu ditegaskan, tahun baru tidak memiliki daya transformatif apa pun. Ia tidak mengubah individu, masyarakat, apalagi bangsa, hanya karena kalender bergeser. Perubahan hanya mungkin terjadi melalui kesadaran yang disertai ikhtiar nyata dan kerja panjang. Momentum pergantian tahun penting bukan karena sifatnya yang simbolik, melainkan karena ia memberi ruang jeda—kesempatan langka untuk berhenti sejenak, menilai arah, lalu memperbaiki langkah.
Dalam kehidupan berbangsa, refleksi semacam ini menjadi semakin relevan. Berbagai persoalan—dari rendahnya etos kerja, rapuhnya integritas publik, hingga menurunnya kualitas relasi sosial—tidak akan selesai dengan optimisme seremonial. Ia menuntut pembaruan kesadaran yang berkelanjutan.
Tanpa refleksi, kita berisiko mengulang kesalahan yang sama dari tahun ke tahun, hanya dengan kemasan waktu yang berbeda.
Perayaan tahun baru
tentu tidak perlu dilarang atau dipersoalkan secara berlebihan. Ia bagian dari dinamika sosial yang wajar. Namun, masyarakat yang sehat bukan hanya pandai merayakan, melainkan juga mampu bercermin.
Pesta yang tidak diimbangi refleksi berisiko menjelma kebisingan kolektif—ramai di permukaan, tetapi hampa di kedalaman. Pada akhirnya, ukuran kemajuan hidup tidak ditentukan oleh seberapa meriah awal tahun disambut, melainkan oleh kualitas langkah-langkah yang diambil setelahnya.
Tahun baru seharusnya tidak berhenti sebagai ritual tahunan, tetapi menjadi titik tolak pembaruan kesadaran. Tanpa itu, pergantian kalender hanyalah peristiwa rutin: datang, berlalu, dan dilupakan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/14/693e90e0354fd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Viral 2 Siswa Sekelas di Bali Duel Gara-gara Persoalan Asmara, Polisi Turun Tangan Denpasar 14 Desember 2025
Viral 2 Siswa Sekelas di Bali Duel Gara-gara Persoalan Asmara, Polisi Turun Tangan
Tim Redaksi
BULELENG, KOMPAS.com
– Video perkelahian antara dua siswa sekolah menengah atas (SMA) di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali, menjadi viral di media sosial.
Duel yang terjadi pada Jumat (12/12/2025) ini diduga dipicu oleh persoalan asmara.
Dalam rekaman video yang beredar, dengan durasi sekitar 50 detik dan 1 menit 39 detik, tampak dua remaja bercelana pendek saling adu pukulan dan tendangan di tengah lapangan terbuka.
Perkelahian tersebut disaksikan oleh belasan remaja lainnya yang mengenakan seragam sekolah.
Alih-alih melerai, mereka justru terlihat menyemangati dan menyoraki kedua siswa yang sedang bertarung.
Kapolsek Gerokgak, Kompol I Made Derawi, menjelaskan bahwa pihaknya telah menangani dan menyelesaikan kasus ini melalui proses mediasi di sekolah pada Sabtu (13/12/2025).
“Kedua siswa yang berkelahi merupakan siswa satu sekolah dan duduk di kelas yang sama,” ungkapnya saat dikonfirmasi pada Minggu (14/12/2025).
Mediasi tersebut dihadiri oleh para guru, wali kelas, guru kesiswaan, serta orang tua dari kedua siswa.
Kompol Derawi menambahkan bahwa perkelahian ini dipicu oleh
masalah asmara
.
“Kami berharap kejadian ini menjadi pelajaran, tidak hanya bagi yang terlibat, tetapi juga bagi siswa lainnya agar tidak mudah terprovokasi,” tutupnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/13/693cded274c88.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/14/693ea3c2025d5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/07/6935139426a9d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/14/693e876cca495.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693c2008414a5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/12/693be6325092f.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/14/693e643c1a4f5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)