Author: Kompas.com

  • 6
                    
                        Banjir Bandang Kembali Terjang Padang, Warga Berlarian ke Perbukitan
                        Regional

    6 Banjir Bandang Kembali Terjang Padang, Warga Berlarian ke Perbukitan Regional

    Banjir Bandang Kembali Terjang Padang, Warga Berlarian ke Perbukitan
    Editor
    PADANG, KOMPAS.com
    – Banjir bandang kembali menerjang Kota Padang, tepatnya di permukiman warga di Batu Busuk, Pauh, Padang, Sumatera Barat, Minggu (14/12/2025) sore. 
    Ketinggian air saat banjir mencapai 1,5 meter. Warga yang tengah kembali ke permukiman untuk mengecek rumah-rumah mereka berlarian ke perbukitan.
    Berdasarkan laporan reporter
    Kompas TV
    ,
    banjir bandang
    terjadi setelah hujan deras turun sejak Minggu siang. Ini merupakan banjir bandang keempat sejak 25 November. 

    Warga sudah diungsikan sejak banjir bandang akhir November. Namun, mereka kadang kembali ke permukiman untuk memantau kondisi rumah dan pengerjaan alat berat.
    Adapun alat berat diarahkan untuk normalisasi sungai karena aliran sungai sudah berubah ke arah permukiman warga sehingga rentan banjir susulan. 
    Akses warga masih belum pulih hingga kini. Untuk menyalurkan bantuan, warga harus berjalan kaki bahu membahu. Ada yang harus berjalan kaki 1 km menjemput bantuan. 
    Berdasarkan pemberitaan
    Antara,
    8 warga terjebak banjir susulan di
    Padang
    ini dievakuasi oleh tim SAR Kota Padang dan TRC Semen Padang.
    Poses evakuasi berlangsung cukup menegangkan selama dua jam dari pukul 16.00 WIB hingga pukul 18.00 di tengah arus banjir yang cukup deras.
    Hadir dalam proses evakuasi tersebut Wakil Ketua DPRD Sumbar, Evi Yandri, dan Sekda Kota Padang, Andre Algamar. Mereka memantau langsung proses evakuasi dan memberikan dukungan kepada tim SAR dan TRC Semen Padang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Abai Reformasi Polri

    Pemerintah Abai Reformasi Polri

    Pemerintah Abai Reformasi Polri
    Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
    KEBERADAAN
    frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri) menciptakan ambiguitas konseptual dan mendorong absurditas normatif dalam desain kelembagaan Polri.
    Di saat ketentuan Pasal 28 ayat (3) UU Polri secara tegas mengatur bahwa anggota Polri dapat menduduki Jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, frasa tersebut justru membuka interpretasi kontraproduktif.
    Sebab penjelasan bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian, salah satunya adalah ”yang tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
    Konsekuensinya, terjadi regresi normatif dalam ketentuan Pasal a quo. Ketentuan Pasal yang sebelumnya memastikan bahwa anggota Polri harus mundur atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar institusi kepolisian, justru kehilangan daya paksa ketentuan karena terdapat ruang penafsiran bahwa anggota Polri masih dapat menduduki jabatan di luar ranah kepolisian selama ada penugasan Kapolri.
    Rumusan ini pada akhirnya membuyarkan semangat reformasi struktural dan memperpanjang potensi erosi profesionalisme.
    Meskipun pada bagian penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri juga terdapat penjelasan lain yang dapat melahirkan penafsiran yang tidak tunggal, bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian, tetapi frasa tersebut paling tidak masih memiliki semangat bahwa kepolisian tidak boleh menyebar ke ranah-ranah yang bukan merupakan mandat inti lembaga penegak hukum.
    Jika frasa tersebut yang digunakan sebagai justifikasi penempatan anggota Polri di berbagai jabatan sipil, antitesis alaminya dapat mengacu kepada ruang lingkup fungsi kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Polri.
    Dengan merujuk pada batasan fungsional tersebut, maka dapat diidentifikasi secara objektif jabatan-jabatan apa yang memang tidak boleh ditempati oleh anggota Polri aktif tanpa harus memicu ambiguitas. Inilah pekerjaan rumah selanjutnya.
    Sebaliknya, frasa “tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru menciptakan ruang yang tidak terbatas.
    Penugasan Kapolri tidak memiliki parameter objektif, tidak dibatasi oleh fungsi kelembagaan, dan tidak melalui mekanisme kontrol sipil atau legislatif.
    Akibatnya, segala jabatan—baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki relevansi dengan kepolisian—secara teoritis dapat “dianggap sah” untuk diisi anggota Polri hanya berdasarkan mandat Kapolri.
    Dalam kerangka permasalahan tersebut, maka Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menyatakan bahwa frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, layak dirayakan sebagai kemenangan-kemenangan kecil dalam upaya reformasi Polri.
    Putusan ini dapat menjadi landasan, terutama bagi pemerintah dan cermin bagi institusi Polri, untuk mempercepat konsolidasi reformasi kepolisian.
    Melalui putusan tersebut, potensi penggunaan frasa tersebut sebagai justifikasi ekspansi penempatan anggota Polri di luar institusi Polri dapat dihentikan.
    Argumentasi MK telah menyentuh titik substansial dampak frasa tersebut, yakni telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
    Menurut MK, perumusan demikian mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam jabatan sipil yang dapat diduduki oleh anggota Polri.
    Akibat lainnya, juga dialami oleh ASN di institusi terkait, terutama terkait jenjang karier, sistem merit, dan profesionalisme birokrasi.
    Motivasi profesional birokrat juga dapat menurun (demotivasi), karena kompetisi jabatan tidak lagi didasarkan pada kualifikasi dan merit, tetapi pada penugasan institusi keamanan.
    Namun, momentum perbaikan dan penguatan reformasi Polri kurang diikuti
    political will
    yang memadai dari pemerintah.
    Putusan MK
    semestinya menjadi energi korektif yang kuat bagi pemerintah, karena argumentasi MK dalam putusannya menegaskan kembali prinsip-prinsip dasar reformasi kepolisian, serta mengembalikan reformasi Polri sesuai tracknya.
    Namun, respons pemerintah justru bergerak ke arah berlawanan ataupun tidak menularkan energi korektif serupa putusan MK.
    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, misalnya, menyampaikan bahwa putusan MK yang melarang polisi aktif menduduki jabatan sipil tidak berlaku surut.
    Artinya, anggota Polri yang telah menjabat jabatan sipil sebelum adanya putusan MK tersebut tidak wajib mengundurkan diri.
    Pernyataan ini tentu mereduksi substansi korektif yang dimaksudkan oleh MK dalam putusannya, seperti aspek reformasi Polri, distribusi jabatan, supremasi sipil dan meritokrasi ASN.
    Dengan tidak menyambut putusan MK dengan komitmen progresif terhadap reformasi kepolisian, pemerintah dalam hal ini tidak hanya mengabaikan arah reformasi yang ditegaskan melalui putusan MK, tetapi juga memperkuat praktik deviasi yang justru hendak dikoreksi.
    Respons seperti ini mengindikasikan bahwa problem reformasi sektor keamanan tidak semata-mata persoalan hukum, tetapi terutama persoalan
    political will
    , di mana putusan lembaga yudisial tertinggi sekalipun tidak cukup kuat untuk mengubah praktik kekuasaan tanpa komitmen eksekutif yang jelas.
    Melalui putusan MK tersebut, dapat dipahami bahwa akselerasi reformasi Polri ternyata tidak dapat bertumpu semata pada kamar yudikatif, bahkan ketika yang berbicara adalah Mahkamah Konstitusi sekalipun.
    Putusan MK mampu memberikan koreksi konstitusional dan arah normatif, tetapi tidak serta-merta mengubah praktik kekuasaan tanpa dukungan politik dari cabang eksekutif.
    Kondisi ini di satu sisi sangat disayangkan, karena menunjukkan bahwa kekuatan yudisial—yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi dan pengawas deviasi regulatif—tidak cukup ampuh mendorong perubahan struktural bila tidak diikuti oleh kemauan politik pemerintah.
    Dalam konteks reformasi sektor keamanan, dalam hal ini Polri, SETARA Institute selalu menyampaikan bahwa reformasi tersebut harus berjalan dua arah.
    Tidak cukup dari internal institusi terkait, tetapi pemerintah perlu menunjukkan komitmen politik dan tindakan yang jelas untuk menopang dan mengakselerasi reformasi Polri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

    Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan

    Peraturan Polri, Putusan MK, dan Batas Kewenangan
    Penulis meraih gelar Doktor Hukum dari Universitas Andalas dan saat ini berkiprah sebagai Hakim dari Peradilan Tata Usaha Negara, serta aktif sebagai akademisi dan peneliti. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Editorial Board Journal of Social Politics and Humanities (JSPH). Tulisan yang disampaikan adalah pendapat pribadi berdasarkan penelitian, dan tidak mewakili pandangan institusi.
    Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.

    No man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
    .” — A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution
    DALAM
    tradisi negara hukum klasik, A.V. Dicey dengan tegas menyatakan bahwa “
    no man is above the law, and every man, whatever his rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm
    .”
    Prinsip ini menegaskan bahwa kekuasaan, betapapun kuatnya, tidak pernah memiliki legitimasi untuk menghindar dari hukum, apalagi menafsirkan ulang putusan lembaga peradilan demi kepentingannya sendiri.
    Lon L. Fuller mengingatkan bahwa “
    a system of law must be addressed to the understanding of those who are bound by it
    .”
    Hukum kehilangan makna moralnya ketika ia diproduksi atau diterapkan secara manipulatif, terlebih ketika putusan pengadilan yang seharusnya memberi kepastian justru dikelola ulang melalui kebijakan administratif.
    Kemudian, Tom Ginsburg menegaskan bahwa “
    courts matter because they can serve as a commitment device, binding political actors to constitutional rules
    .”
    Dalam kerangka ini, pengadilan tidak sekadar forum penyelesaian sengketa, melainkan mekanisme pengikat yang mencegah institusi negara mengubah arah hukum sesuai kepentingan kekuasaan sesaat.
    Kajian-kajian tersebut menegaskan prinsip dasar negara hukum modern: supremasi konstitusi dan putusan pengadilan harus menjadi rujukan tertinggi bagi seluruh organ negara, termasuk institusi penegak hukum.
    Dalam hal ini, demokrasi konstitusional hanya dapat bertahan jika seluruh institusi negara tunduk pada putusan pengadilan, tanpa membuka ruang bagi penafsiran ulang yang bersifat sepihak oleh pemegang kekuasaan.
    Dalam konteks Indonesia, prinsip ini menjadi sangat relevan ketika kebijakan internal suatu lembaga negara justru memunculkan tafsir berjarak, bahkan berpotensi bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
    Polemik seputar Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 tentang penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian menjadi contoh nyata bagaimana ketegangan antara kewenangan administratif dan ketaatan konstitusional kembali mengemuka.
    Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 telah memberikan garis batas yang tegas mengenai kedudukan anggota Polri dalam jabatan sipil.
    Inti putusan tersebut adalah penegasan bahwa anggota Polri yang menduduki jabatan di luar institusi kepolisian wajib mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Frasa dalam Undang-Undang Polri yang sebelumnya membuka ruang penugasan tanpa pengunduran diri dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena menciptakan ketidakpastian hukum.
    Putusan ini bukan sekadar koreksi normatif, melainkan penegasan prinsip konstitusional tentang pemisahan peran antara aparat keamanan dan jabatan sipil.
    Dalam negara demokratis, keberadaan aparat bersenjata di ruang-ruang sipil harus dibatasi secara ketat untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan.
    Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi seharusnya dipahami sebagai perintah konstitusional yang bersifat final dan mengikat, bukan sebagai opsi kebijakan yang dapat ditafsirkan ulang melalui peraturan internal lembaga.
    Dalam kerangka ini, pernyataan para pakar hukum yang menegaskan bahwa Perpol tidak dapat menggugurkan atau mengubah makna putusan Mahkamah Konstitusi menjadi sangat relevan.
    Hierarki norma hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara jelas menempatkan putusan Mahkamah Konstitusi di atas peraturan lembaga, termasuk peraturan kepolisian.
    Ketika garis batas konstitusional telah ditarik secara tegas oleh Mahkamah, maka ruang diskresi institusional menjadi sangat terbatas.
    Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025 mengatur penugasan anggota Polri di luar struktur organisasi kepolisian, termasuk penempatan pada 17 kementerian dan lembaga negara.
    Secara formal, peraturan ini menyatakan bahwa penugasan tersebut dilakukan dengan melepaskan jabatan internal kepolisian.
    Namun, persoalan utamanya bukan semata pada pelepasan jabatan struktural, melainkan pada status keanggotaan Polri itu sendiri: apakah yang bersangkutan masih berstatus anggota aktif atau telah sepenuhnya beralih menjadi warga sipil.
    Di sinilah letak problem mendasarnya. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak berhenti pada soal jabatan internal, melainkan menekankan keharusan pengunduran diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
    Artinya, status sebagai anggota Polri aktif tidak lagi dapat dipertahankan ketika seseorang menduduki jabatan sipil.
    Ketika Perpol membuka ruang bagi penugasan luas di berbagai kementerian dan lembaga, termasuk yang bersifat administratif dan regulatif, muncul kesan bahwa Polri sedang membangun tafsir administratif sendiri terhadap batasan konstitusional yang telah ditetapkan.
    Kebijakan semacam ini berisiko menimbulkan ketegangan normatif. Di satu sisi, Polri tentu memiliki kepentingan institusional untuk mendukung berbagai fungsi negara melalui penugasan personelnya.
    Namun di sisi lain, kepentingan tersebut tidak boleh mengorbankan prinsip kepastian hukum dan ketaatan pada putusan pengadilan.
    Ketika peraturan internal terkesan “mengakali” makna putusan Mahkamah Konstitusi, yang dipertaruhkan bukan hanya soal legalitas administratif, tetapi juga wibawa konstitusi itu sendiri.
    Selain itu, penempatan anggota Polri aktif di berbagai lembaga sipil juga berpotensi menimbulkan persoalan meritokrasi dan keadilan karier bagi aparatur sipil negara.
    Mahkamah Konstitusi secara eksplisit telah menyinggung potensi kerancuan dan ketidakadilan dalam pengisian jabatan sipil apabila ruang tersebut dibuka bagi aparat keamanan yang masih aktif.
    Oleh karena itu, Perpol 10/2025 seharusnya diuji secara kritis, bukan hanya dari sudut kepentingan fungsional Polri, tetapi juga dari dampaknya terhadap sistem kepegawaian sipil secara keseluruhan.
    Kritik terhadap Perpol 10/2025 tidak boleh dipahami sebagai serangan terhadap institusi Polri. Sebaliknya, kritik ini justru penting untuk menjaga profesionalisme Polri sebagai institusi penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap konstitusi.
    Dalam negara hukum, kepatuhan terhadap putusan pengadilan bukan sekadar kewajiban formal, melainkan fondasi legitimasi kekuasaan itu sendiri.
    Polri memiliki posisi strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Oleh karena itu, setiap kebijakan internalnya akan selalu berada dalam sorotan publik.
    Ketika kebijakan tersebut menimbulkan kesan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, kepercayaan publik berpotensi terkikis. Padahal, kepercayaan publik adalah modal utama bagi efektivitas penegakan hukum.
    Langkah yang lebih bijak adalah melakukan penyesuaian kebijakan secara terbuka dan konstitusional.
    Jika Polri menilai bahwa penugasan tertentu memang diperlukan untuk kepentingan negara, maka jalur yang ditempuh seharusnya adalah perubahan undang-undang melalui mekanisme legislasi, bukan melalui peraturan internal yang berpotensi menabrak putusan pengadilan.
    Dengan demikian, kepentingan fungsional negara dapat tetap dijaga tanpa mengorbankan prinsip supremasi konstitusi.
    Pada akhirnya, polemik Perpol 10/2025 menjadi ujian penting bagi eksistensi Indonesia sebagai negara hukum.
    Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh direduksi menjadi sekadar rujukan normatif yang bisa ditafsirkan ulang sesuai kebutuhan institusional.
    Ketaatan penuh terhadap putusan tersebut justru akan memperkuat posisi Polri sebagai institusi profesional, modern, dan sepenuhnya tunduk pada hukum.
    Dalam konteks inilah kritik yang konstruktif perlu terus disuarakan, bukan untuk melemahkan Polri, melainkan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tetap berada dalam koridor konstitusi dan demokrasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8
                    
                        Polisi Keroyok Mata Elang di Kalibata, Penegakan Hukum yang Kebablasan?
                        Megapolitan

    8 Polisi Keroyok Mata Elang di Kalibata, Penegakan Hukum yang Kebablasan? Megapolitan

    Polisi Keroyok Mata Elang di Kalibata, Penegakan Hukum yang Kebablasan?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kriminolog Havina Hasna menilai, kasus pengeroyokan terhadap debt collector atau mata elang di Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, sebagai gagalnya aparat kepolisian dalam mengendalikan emosi.
    Salah satu persoalan utama dalam kasus ini adalah kegagalan pelaku memisahkan emosi personal dengan peran profesional sebagai penegak hukum.
    Konflik di lapangan yang seharusnya dapat dihadapi secara prosedural justru menjadi pengeroyokan.
    “Pelaku gagal memisahkan identitas personal (tersinggung, marah, merasa direndahkan) dengan peran profesional (aparat penegak hukum yang wajib mengendalikan diri),” kata Havina saat dihubungi, Minggu (14/12/2025).
    Kegagalan semacam ini bukan fenomena baru, terutama pada profesi yang memiliki otoritas besar.
    “Kegagalan ini sering muncul pada profesi berotoritas tinggi jika kontrol internal dan budaya reflektif lemah,” kata dia.
    Menurut Havina, tindakan kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian tersebut tidak dapat dilihat sebagai insiden biasa.
    Ia menjelaskan, polisi memang memiliki kewenangan sah atau
    legitimate power
    untuk menggunakan kekuatan dalam situasi tertentu.
    Namun, penggunaan kekuasaan tersebut memiliki batas yang jelas dan harus dilakukan sesuai konteks tugas serta prosedur hukum.
    “Ketika kekuasaan itu dipakai di luar konteks tugas dan prosedur, maka kekerasan berubah dari penegakan hukum menjadi tindak pidana, bahkan lebih serius karena dilakukan oleh aparat negara,” jelas dia.
    Havina menyebut kasus pengeroyokan ini dapat dikategorikan sebagai c
    rimes of the powerful
    , yakni kejahatan yang dilakukan oleh pihak berkuasa dengan dampak yang lebih luas.
    “Kejahatan oleh aktor berkuasa selalu berdampak ganda, Ada korban langsung, Ada kerusakan kepercayaan publik terhadap institusi. Oleh sebab itu, secara kriminologis, kasus ini lebih serius daripada pengeroyokan biasa,” ujar dia.
    Sebelumnya, dua orang
    debt collector
    atau
    mata elang
    tewas setelah mengalami kekerasan di Jalan Raya Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (11/12/2025).
    Peristiwa tersebut terjadi saat kedua korban diduga menghentikan seorang pengendara sepeda motor di lokasi kejadian.
    Situasi itu kemudian menarik perhatian sebuah mobil yang melaju tepat di belakang motor tersebut.
    Lima orang penumpang mobil itu turun dan menghampiri lokasi untuk membela pengendara motor yang dihentikan.
    Sejumlah warga yang berada di sekitar lokasi menyebutkan, kelima orang tersebut kemudian melakukan pemukulan terhadap dua mata elang secara bersama-sama.
    Kedua korban bahkan diseret ke sisi jalan sebelum akhirnya tidak sadarkan diri.
    Akibat pengeroyokan tersebut, dua mata elang meninggal dunia.
    Kematian kedua korban memicu reaksi dari kelompok sesama mata elang.
    Mereka melampiaskan amarah dengan merusak dan membakar sejumlah lapak serta kios milik pedagang di sekitar lokasi kejadian.
    Atas kejadian ini, Polda Metro Jaya telah menetapkan enam polisi sebagai tersangka.
    Mereka berinisial JLA, RGW, IAB, IAM, BN, dan AN. Keenamnya merupakan anggota satuan pelayanan markas di Mabes Polri.
    Para tersangka dijerat Pasal 170 ayat (3) KUHP tentang pengeroyokan yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Selain pidana, keenamnya juga dijerat pelanggaran kode etik profesi Polri dengan kategori berat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fadli Zon Dorong Buku Sejarah Ditulis Sebanyak-banyaknya

    Fadli Zon Dorong Buku Sejarah Ditulis Sebanyak-banyaknya

    Fadli Zon Dorong Buku Sejarah Ditulis Sebanyak-banyaknya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Kebudayaan, Fadli Zon mendorong pihak lain untuk menulis buku sejarah sebanyak-banyaknya, untuk memperkaya referensi buku sejarah Indonesia yang sudah ada.
    “Tidak perlu ada tandingan. Tulislah
    buku sejarah
    sebanyak-banyaknya. Apalagi
    sejarah lokal
    , banyak yang belum ditulis,” kata Fadli saat ditemui di Kantor Kemendikdasmen, Jakarta, Minggu (14/12/2025).
    “Sejarah setiap kabupaten, provinsi, sejarah kota, sejarah tentang manusia, orangnya, sejarah tentang tokoh. Saya kira kita perlu sebanyak-banyaknya,” imbuhnya.
    Menurut Fadli, selama ini tidak ada larangan dari pemerintah kepada pihak yang ingin menulis buku sejarah.
    “Orang yang menulis buku apa saja, sekarang bebas kan. Jadi mau dia menulis, saya aja menulis banyak buku sejarah,” ucapnya.
    “Saya menulis buku tentang Huru-hara Mei ’98. Itu 15 kali cetak gitu ya. Jadi salah satu buku unggulan dan buku terlaris saya begitu ya. Orang bebas kan menulis. Jadi tidak ada masalah,” kata dia.
    Terkait anggapan bahwa
    penulisan sejarah
    oleh negara identik dengan praktik sentralistik ala negara otoriter, Fadli menepis tudingan tersebut. Ia menyebut pernyataan itu keliru dan paradoksal.
    “Justru kita menulis sejarah terbuka. Kalau ada tudingan kayak gitu, untuk apa ada artinya kita memfasilitasi Direktorat Sejarah dan Sejarah. Di Amerika juga mereka menulis sejarah. Bahkan diwajibkan sejarah itu,” urai Fadli.
    Ia menegaskan,
    Kementerian Kebudayaan
    hanya berperan sebagai fasilitator dalam penyusunan buku sejarah nasional tersebut. Seluruh substansi diserahkan kepada para sejarawan tanpa intervensi pemerintah.
    “Silakan bertanya pada sejarawan. Ada yang nggak intervensi? Tidak ada intervensi. Bahkan sampai proses terakhir pun,” kata dia.
    Diketahui, Kementerian Kebudayaan meluncurkan buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” yang ditulis oleh 123 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
    Buku setebal 10 jilid ini diharapkan menjadi rujukan penting dalam memahami perjalanan panjang bangsa Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 5
                    
                        Prabowo Panggil Menteri ke Hambalang, Bahas Banjir Sumatera dan Libur Akhir Tahun
                        Nasional

    5 Prabowo Panggil Menteri ke Hambalang, Bahas Banjir Sumatera dan Libur Akhir Tahun Nasional

    Prabowo Panggil Menteri ke Hambalang, Bahas Banjir Sumatera dan Libur Akhir Tahun
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden RI Prabowo Subianto memanggil para menteri di kediaman pribadinya, Hambalang, Jawa Barat, pada Minggu (14/12/2025) hari ini.
    Pemanggilan ini dilakukan usai Prabowo meninjau banjir dan longsor di Sumatera dalam beberapa hari terakhir ini.
    “Setelah melakukan peninjauan langsung ke lokasi terdampak bencana, Presiden Prabowo memanggil beberapa
    Menteri Kabinet Merah Putih
    di kediaman pribadinya di Hambalang,” ujar Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya dalam akun Instagram-nya, Minggu.
    Teddy menjelaskan, Prabowo membahas mengenai
    penanganan bencana
    bersama para menteri.
    Prabowo, kata Teddy, meminta agar pembangunan hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) untuk seluruh warga terdampak bencana di Sumatera.
    “Presiden ingin secepat mungkin segera selesai terbangun,” ucapnya.
    Lalu, Prabowo juga meminta penambahan secara maksimal untuk alat berat dan truk air minum, persediaan air bersih, serta toilet portable, terutama di lokasi yang paling terdampak.
    “Presiden ingin menteri PU memastikan semua pengungsi mendapat kebutuhan tersebut,” kata Teddy.
    Tidak hanya soal bencana, Teddy mengungkapkan, Prabowo dan para menteri juga membahas kesiapan menghadapi liburan akhir tahun.
    Menurutnya, Prabowo menanyakan perkembangan stabilitas ketahanan pangan dan harga kebutuhan pokok.
    Selain itu, turut dibahas perkembangan terkini perekonomian di Tanah Air, termasuk bea cukai dan pajak.
    “Pemberian insentif terhadap beberapa sektor untuk kelancaran liburan akhir tahun, terutama pengurangan harga secara signifikan untuk tarif jalan tol, tiket pesawat terbang, kereta api, kapal laut, serta fasilitas publik lainnya,” imbuhnya.
    Dalam rapat ini, tampak hadir Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Mendikti Saintek Brian Yuliarto, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, serta beberapa menteri lain.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Kasus Dugaan Anak Bunuh Ibu di Medan: Polisi Gelar Pra-Rekonstruksi Selama 6 Jam
                        Medan

    7 Kasus Dugaan Anak Bunuh Ibu di Medan: Polisi Gelar Pra-Rekonstruksi Selama 6 Jam Medan

    Kasus Dugaan Anak Bunuh Ibu di Medan: Polisi Gelar Pra-Rekonstruksi Selama 6 Jam
    Tim Redaksi
    MEDAN, KOMPAS.com
    – Polrestabes Medan menggelar pra-rekonstruksi kasus anak berinisial AL (12) yang diduga membunuh ibunya, F (42), di Medan.
    “Kurang lebih 6 jam, tim telah melaksanakan pra-rekonstruksi kedua,” kata Kapolrestabes Medan Kombes Calvijn Simanjuntak saat diwawancarai di lokasi pada Minggu (14/12/2025).
    Ia menerangkan, pra-rekonstruksi pertama sudah dilakukan di lokasi pengganti, yakni di
    Polrestabes Medan
    beberapa waktu lalu.
    “Pra-rekonstruksi hari ini kami lakukan dengan pemeran sesuai dengan fakta aslinya. Setidaknya ada 43 adegan,” ujar Calvijn.
    Adapun dalam pra-rekonstruksi ini, saksi maupun terduga pelaku didampingi psikolog serta petugas dari dinas perlindungan anak.
    “Mudah-mudahan ini lebih menyempurnakan proses penyidikan dan proses penyelidikan lanjutan yang kami laksanakan,” sebut Calvijn.
    “Selain pra-rekonstruksi, kami kembali melakukan proses penggeledahan. Ada beberapa barang-barang yang kami bawa untuk didalami,” tambahnya.
    Sebelumnya diberitakan, F ditemukan meninggal dunia pada Rabu (10/12/2025).
    Kepala Lingkungan V, Kelurahan Tanjung Rejo, Tono, mengungkapkan situasi saat tiba di lokasi kejadian.
    “Saya lihat korban sudah tergeletak di dalam kamar lantai satu, di atas kasur,” kata Tono kepada Kompas.com.
    “Kalau kondisi kakaknya waktu itu jari-jarinya terluka. Jadi diobati dokter yang datang. Terus adiknya (AL) terduduk saja di sofa ruang tamu,” tuturnya.
    Tono menyampaikan, AL tidak menangis sama sekali, sementara sang suami tak kuasa menahan tangis melihat istrinya sudah meninggal dunia.
    “Jadi, posisi tidurnya, istri sama dua anaknya di dalam kamar lantai satu. Kalau suaminya di lantai dua,” ujar Tono.
    Selama ini, keluarga korban tidak terlalu sering berinteraksi dengan tetangga.
    Bahkan, kedua anak korban dikenal tertutup oleh warga setempat.
    “Kalau kata warga, anak-anaknya ini setiap pulang sekolah langsung di rumah saja terus. Jadi, jarang berinteraksi sama tetangga,” tutur Tono.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dari Rakyat untuk Rakyat ala Jokowi, PSI Optimistis Menang di Pemilu 2029

    Dari Rakyat untuk Rakyat ala Jokowi, PSI Optimistis Menang di Pemilu 2029

    Dari Rakyat untuk Rakyat ala Jokowi, PSI Optimistis Menang di Pemilu 2029
    Tim Redaksi
     
    TANGERANG, KOMPAS.com
    – Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menargetkan menjadi partai pemenang dalam Pemilihan Umum 2029 mendatang. Target ambisius itu disampaikan Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP)
    PSI
    Ahmad Ali
    dalam Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) DPW PSI Banten di Mercure Serpong Alam Sutera, Tangerang, Banten, Minggu (14/12/2024).
    Ahmad Ali menegaskan, optimisme PSI untuk meraih kemenangan pada 2029 bukan sekadar lolos
    parliamentary threshold
    . Partai berlambang gajah ini, bahkan menargetkan posisi sebagai salah satu kekuatan politik yang diperhitungkan di Indonesia.
    “Optimisme kami untuk lolos di 2029 itu tidak hanya lolos parlemen, tapi insyaallah bisa menjadi bagian dari pemenang
    Pemilu 2029
    . PSI diciptakan untuk menjadi pemenang Pemilu 2029,” ujar Ahmad Ali disambut tepuk tangan peserta rakorwil.
    Untuk mewujudkan target tersebut, PSI tengah gencar melakukan konsolidasi organisasi di seluruh Indonesia. Rakorwil di Banten merupakan bagian dari rangkaian persiapan menjelang Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang dijadwalkan pada akhir Januari 2025.
    Ahmad Ali menjelaskan, konsolidasi struktural hingga tingkat Dewan Pimpinan Cabang (DPC) menjadi prioritas DPP PSI pascakongres. Langkah ini dilakukan untuk memastikan partai siap menghadapi verifikasi faktual yang akan dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2027.
    “Sebelum rakernas, tentunya kami ingin memastikan bahwa DPP telah melaksanakan konsolidasi struktural sampai dengan tingkat DPC. Ini merupakan tugas yang harus dilaporkan oleh DPP setelah kongres selesai,” kata Ahmad Ali.
    Pembentukan struktur lengkap dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), DPD, hingga DPC di seluruh Indonesia dinilai krusial agar kader lebih siap menghadapi verifikasi. Dengan konsolidasi yang disiapkan jauh hari, PSI optimistis tidak akan ada keraguan secara struktural saat verifikasi berlangsung.
    Ahmad Ali juga menyoroti pencapaian PSI di Banten pada Pemilu 2024. Menurutnya, di provinsi ini seharusnya sudah menghasilkan satu kursi DPR RI, tapi belum terwujud karena dukungan dari daerah lain belum optimal.
    Meski begitu, ia yakin bahwa dengan konsolidasi yang lebih matang, PSI akan tampil lebih kuat pada 2029. Kunci kemenangan terletak pada kerja sama dan soliditas di bawah kepemimpinan Ketua Umum PSI
    Kaesang Pangarep
    .
    Dalam upaya meraih kemenangan 2029, PSI mengusung spirit kuat dengan menempatkan mantan Presiden RI ketujuh
    Joko Widodo
    (
    Jokowi
    ) sebagai patron partai.
    “Di PSI, kami memiliki salah satu tokoh utama yang menurut saya menjadi patron bangsa ini. Menurut saya, beliau adalah presiden terbaik yang pernah dilahirkan bangsa ini, yaitu Pak Presiden Joko Widodo,” kata Ahmad Ali.
    Positioning
    Jokowi sebagai patron bukan untuk mendompleng popularitas, melainkan untuk memberikan harapan kepada masyarakat. PSI ingin menunjukkan bahwa partai ini berkomitmen melahirkan pemimpin-pemimpin dari kalangan rakyat biasa, bukan dari
    dinasti politik
    atau keturunan kekuasaan.
    Ia menekankan, Jokowi adalah contoh nyata bahwa seseorang tidak perlu berasal dari keluarga berada atau dinasti politik untuk menjadi pemimpin. Cukup dengan dicintai rakyat dan mendekat kepada rakyat, seseorang bisa terpilih menjadi pemimpin.
    “Pak Jokowi adalah contoh hidup. Dia adalah pemimpin yang lahir dari rakyat. Dia bukan keturunan raja atau keturunan politisi atau keturunan orang berkuasa, tapi dia lahir dari rakyat,” ungkap Ahmad Ali.
    PSI mendesain dirinya untuk melahirkan pemimpin yang benar-benar mengerti kebutuhan rakyat. Ahmad Ali menegaskan bahwa kader PSI yang terpilih menjadi pemimpin tidak berutang kepada partai, tetapi kepada rakyat Indonesia yang telah memberikan kepercayaan.
    “Untuk itu, ketika saudara dipilih, maka mengerti lah. Berikanlah karya terbaik kalian terhadap rakyat Indonesia,” tegas Ahmad Ali.
    Lebih lanjut, ia menekankan bahwa PSI tidak dibangun untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu. Partai ini dibesarkan untuk menampung tokoh-tokoh terbaik dan anak muda terbaik yang ada di berbagai daerah.
    “PSI dibangun, dibesarkan, dan kemudian kami undang tokoh-tokoh terbaik, anak-anak muda terbaik yang ada di provinsi Banten untuk mengisi, menjadikan mereka sebagai anggota legislatif, tokoh-tokoh menjadi kepemimpinan daerah di daerah ini,” ujarnya.
    Bagi Ahmad Ali, yang terpenting bukan siapa yang menjadi anggota DPR dari PSI, melainkan apakah rakyat Indonesia bisa sejahtera melalui partai tersebut.
    Dalam konsolidasi di Banten, Ahmad Ali memberikan arahan khusus terkait pendekatan kultural yang harus dilakukan kader PSI. Ia mengakui bahwa Banten merupakan provinsi yang memiliki karakter religius kuat sehingga pendekatan harus disesuaikan dengan kondisi lokal.
    Mengutip pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”, Ahmad Ali menginstruksikan seluruh kader PSI di Banten untuk mendatangi para kiai dan ulama. Namun, pendekatan ini bukan untuk kepentingan politik praktis atau menjadikan mereka sebagai basis politik.
    “Saya minta, datangilah para kiai atau ulama. Bertanyalah kepada mereka ketika ada permasalahan-permasalahan. Jadikanlah mereka sebagai guru-guru kalian. Namun, jangan memanfaatkan mereka untuk kepentingan politik,” tegas Ahmad Ali.
    Menurutnya, pendekatan kepada tokoh agama dimaksudkan agar kader PSI bisa belajar dan meminta nasihat ketika menghadapi berbagai persoalan di lapangan. Pemisahan antara dunia politik dan tokoh agama justru akan menciptakan kesenjangan informasi yang berbahaya.
    Ia mencontohkan, jika para kiai, pendeta, dan orang-orang bijak berdiam diri serta tidak peduli terhadap politik, hal ini akan memberi kesempatan kepada pihak yang tidak bertanggung jawab untuk berkuasa. Oleh karena itu, PSI mendorong kader untuk menjadikan tokoh agama sebagai tempat berguru, bukan sebagai basis politik.
    “Jangan jadikan PSI sebagai rumah untuk satu kelompok hanya karena punya keinginan untuk memenangkan satu kontestasi. Terus kemudian kita terjebak pada politik identitas,” katanya.
    PSI, menurut Ahmad Ali, tetap akan menjadi partai yang menjadi rumah untuk semua orang Indonesia. Partai sadar bahwa Indonesia dihuni oleh begitu banyak keragaman.
    Di akhir sambutannya, Ahmad Ali mengapresiasi DPW PSI Banten yang telah mengumpulkan donasi sebesar Rp 250 juta untuk membantu korban bencana di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Dana tersebut akan disalurkan untuk kebutuhan pokok masyarakat yang terdampak musibah.
    “Jangan mengira bahwa uang tersebut tidak ada arti apa-apa. Saya yakin, (bantuan tersebut) paling tidak bisa mengurangi, menghibur teman-teman, saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah bencana,” kata Ahmad Ali.
    Ia juga menyampaikan bahwa Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep sedang dalam perjalanan kemanusiaan ke Aceh untuk menyalurkan bantuan secara langsung.
    Ahmad Ali menceritakan, pada malam sebelum rakorwil, ia bertemu dengan Gubernur Aceh selama kurang lebih dua jam. Gubernur Aceh menyampaikan terima kasih atas perhatian PSI yang telah memberikan bantuan sejak awal bencana terjadi.
    Meski bantuan tersebut tidak dipublikasikan secara luas karena instruksi Ketua Umum, Gubernur Aceh sengaja datang untuk mengapresiasi langsung kepada Ahmad Ali dan pimpinan PSI.
    Ahmad Ali menutup sambutannya dengan harapan agar Ketua Umum PSI diberikan kekuatan oleh Allah SWT dan bisa kembali dengan selamat ke Jakarta setelah menjalankan misi kemanusiaan di Aceh.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 3
                    
                        Lurah Cipayung Sebut Sampah di Kolong Flyover Ciputat Dibuang Warga Luar Wilayah
                        Megapolitan

    3 Lurah Cipayung Sebut Sampah di Kolong Flyover Ciputat Dibuang Warga Luar Wilayah Megapolitan

    Lurah Cipayung Sebut Sampah di Kolong Flyover Ciputat Dibuang Warga Luar Wilayah
    Tim Redaksi
    TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com
    – Lurah Cipayung, Dini Nurlianti, mengatakan tumpukan sampah yang berjajar di kolong
    flyover
    Ciputat, Kelurahan Cipayung, Tangerang Selatan (Tangsel), bukan berasal dari warganya.
    Menurut Dini, lokasi tersebut bukan tempat pembuangan sampah, melainkan jalan nasional yang disalahgunakan oleh orang-orang dari luar wilayah Cipayung untuk membuang sampah.
    “Tidak ada warga Cipayung yang buang sampah di sini tapi yang buang ke sini tuh dari mana-mana dan buangnya di sini,” ujar Dini saat ditemui di kolong
    flyover
    Ciputat, Cipayung, Ciputat, Tangsel, Minggu (14/12/2025).
    Dini menjelaskan, penumpukan sampah di kolong flyover Ciputat sudah dalam kondisi darurat karena volumenya terus bertambah.
    Hal ini membuat kondisi sebagian Jalan Ir H Juanda tertutup sampah dan mengganggu para pengguna jalan.
    “Sampahnya sudah makin melebar, bahkan tadi sempat menutup separuh jalan,” kata dia.
    Maka dari itu, ia bersama dengan warga sekaligus RT/RW, camat, dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) melakukan pembersihan jalan serta menutup tumpukan sampah menggunakan terpal.
    Namun, tumpukan sampah belum bisa diangkut sekarang karena TPA Cipeucang sedang ditutup dan kelebihan kapasitas.
    “Kalau untuk diangkut, kita nunggu Cipeucang dulu. Sebenarnya pengennya dari kemarin diangkut, tapi pembuangan air lindinya belum siap karena lagi dibenahi,” jelas dia.
    Sampah yang menumpuk di Kolong Flyover Ciputat, didominasi oleh sampah rumah tangga.
    Menurut Dini, kebanyakan dari sampah tersebut dibuang oleh orang-orang yang melintas menggunakan sepeda motor.
    “Kebanyakan sampah rumah tangga. Orang lewat naik motor, buang begitu saja, asalnya dari mana kita juga enggak tahu,” ucap Dini.
    Oleh sebab itu, untuk menghindari warga yang buang sampah sembarangan, warga setempat diberdayakan untuk menjaga lokasi selama 24 jam agar tidak ada lagi pihak yang membuang sampah di kolong
    flyover.
    “Semalam sampai subuh sudah ada yang jaga. Kita jagain terus sampai nanti pengangkutan, supaya enggak ada lagi yang buang sampah ke sini,” jelas dia.
    Sementara itu, Wali Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Benyamin Davnie mengakui sampah di wilayahnya sempat tidak tertangani optimal dalam beberapa hari terakhir.
    Kondisi itu disebabkan oleh proses perbaikan dan penataan konstruksi di TPA Cipeucang.
    “TPA Cipeucang sedang dalam tahap perbaikan dan penataan konstruksi dan timbunan sampahnya, sehingga memang dalam beberapa hari belakangan sampah tidak dapat masuk dulu,” ujar Benyamin Davnie saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Minggu.
    Perbaikan saat ini difokuskan pada
    landfill
    3 di TPA Cipeucang. Setelah proses tersebut rampung, area
    landfill
    kembali bisa menampung sampah dari seluruh wilayah Tangsel.
    “Cipeucang
    landfill
    3 yang sedang dalam perbaikan dan mah bisa nampung sampah, bulan ini akan selesai perbaikannya,” jelas dia.
    Meskipun begitu, Benyamin memastikan, pihaknya tetap mengupayakan solusi jangka pendek dengan mengajukan pemanfaatan fasilitas pengolahan sampah di luar daerah.
    “PSEL sudah kita ajukan peminatannya dan masih menunggu tahap berikutnya dari KLH,” ucap Benyamin.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jembatan Gantung Putus di Purworejo, Warga Terperosok ke Sungai, Polisi Turun Tangan
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        14 Desember 2025

    Jembatan Gantung Putus di Purworejo, Warga Terperosok ke Sungai, Polisi Turun Tangan Regional 14 Desember 2025

    Jembatan Gantung Putus di Purworejo, Warga Terperosok ke Sungai, Polisi Turun Tangan
    Tim Redaksi
    PURWOREJO, KOMPAS.com
    – Sebuah jembatan gantung yang menghubungkan Desa Tanjunganom dengan Desa Sidomulyo, Kecamatan Butuh, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dikabarkan putus dan viral di media sosial, Minggu (14/12/2025).
    Peristiwa tersebut pertama kali ramai diperbincangkan setelah diunggah akun Instagram @
    purworejo
    .terkini.
    Video tersebut telah ditonton sebanyak 21 ribu kali dan mendapatkan beragam komentar.
    Dalam video yang beredar, tampak sejumlah warga tengah melintasi
    jembatan gantung
    di area persawahan.
    Beberapa saat kemudian, bagian jembatan terlihat tidak stabil hingga akhirnya mengalami kerusakan serius.
    Pada unggahan tersebut disebutkan bahwa jembatan diduga putus akibat kelebihan beban.
    Sejumlah warga pun terlihat terperosok ke dalam sungai.

    Jembatan penghubung Desa Tanjunganom–Sidomulyo Kecamatan Butuh dikabarkan putus, diduga karena kelebihan beban
    ,” tulis akun @purworejo.terkini dalam keterangannya.
    Akun tersebut juga mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dan sementara waktu mencari jalur alternatif jika hendak melintas.
    Kapolsek Butuh, Iptu Irfan Sofar, saat dikonfirmasi membenarkan terjadinya peristiwa jembatan gantung yang putus tersebut.
    Jembatan putus terjadi sekitar pukul 07.44 WIB.
    Begitu menerima laporan dari masyarakat, jajaran Polsek Butuh bersama Unit Reskrim, Unit Identifikasi, Unit 3 Satreskrim Polres Purworejo, Inafis, serta Pamapta Polres Purworejo langsung mendatangi lokasi kejadian untuk melakukan pemeriksaan dan olah tempat kejadian perkara (TKP).
    “Benar telah terjadi kejadian putusnya tali penahan jembatan gantung,” ujar Iptu Irfan.
    Jembatan tersebut membentang di atas Sungai Bedono dan disangga oleh tiang besi setinggi kurang lebih delapan meter.
    “Situasi sudah kondusif dan penanganan di lokasi telah selesai dilakukan. Kami mengimbau masyarakat agar lebih berhati-hati dan memperhatikan kondisi sarana umum sebelum digunakan,” tuturnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.