Mohon ke Prabowo, Bupati Aceh Utara: Belum Satu Pun Menteri Hadir, Seratusan Jenazah Belum Ditemukan
Tim Redaksi
ACEH UTARA, KOMPAS.com
– Bupati Aceh Utara, Provinsi Aceh, Ismail A Jalil meminta Presiden RI Prabowo Subianto untuk membantu kabupaten itu dalam penanganan banjir.
Hingga hari ke 12 banjir, belum satu pun menteri dari Kabinet Merah Putih yang datang ke Kabupaten
Aceh Utara
. Padahal, kabupaten itu daerah terluas dan terparah terkena banjir.
Hingga Rabu (3/12/2025) pukul 12.00 WIB, sebanyak 121 orang tewas, 109 dilaporkan hilang.
“Kami mohon pusat dan seluruh rakyat Indonesia bantu Aceh Utara. Pusat selain Basarnas belum hadir ke Aceh Utara. Rakyat saya kelaparan, jenazah rakyat saya belum diambil, tolong dibantu,” kata dia.
Dia tidak memahami mengapa belum ada pejabat pusat yang datang ke kabupaten itu.
“Apakah pejabat pusat tidak tahu, lalu ada pejabat pusat yang menyatakan banjir tidak parah. Saya emosial, tolong bantu kami. Jangan biarkan rakyat kami mati kelaparan,” katanya.
Dia menyatakan, dana darurat yang bisa digunakan sangat minim. Itu pun telah habis digunakan untuk membeli bahan bantuan.
“Rakyat saya tinggal baju di badan. Mereka kehilangan rumah, harta dan benda. Sekarang sudah bertambah sakit-sakitan. Saya sudah kerahkan semua kekuatan daerah, namun tidak mampu menjangkau seluasnya wilayah ini,” ucap dia.
Banjir di kawasan Aceh Utara mulai terjadi 22 November 2025. Kini, sejumlah titik masih terisolasi dan belum bisa diakses. Di kabuapten lain, banjir baru terjadi pada 26 November 2025.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Author: Kompas.com
-
/data/photo/2025/12/03/692feda998ea5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Mohon ke Prabowo, Bupati Aceh Utara: Belum Satu Pun Menteri Hadir, Seratusan Jenazah Belum Ditemukan Regional
-
/data/photo/2025/12/04/6930b97495dd9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana Nasional 4 Desember 2025
Nirempati di Tengah Puing, Ruang Kosong dalam Komunikasi Kepemimpinan Tata Kelola Bencana
18 tahun sebagai akademisi (dosen), konsultan, pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & sustainability (keberlanjutan). Saat ini mengemban amanah sebagai Full-time Lecturer, Associate Professor & Head of Centre Sustainability and Leadership Centre di LSPR Institute of Communication & Business, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Dewan Pakar Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT), GEKRAF & HIPMI Institute
INDONESIA
kembali memasuki musim bencana dengan luka yang belum benar-benar sembuh dari tahun-tahun sebelumnya.
Di berbagai daerah, banjir bandang, longsor, dan cuaca ekstrem terus merenggut nyawa dan menenggelamkan harapan.
Dari Sumatera hingga Sulawesi, dari desa-desa terpencil hingga pesisir yang padat penduduk, tangisan warga sering kali lebih cepat terdengar melalui video amatir di media sosial ketimbang pernyataan resmi pemerintah.
Situasi ini bukan sekadar persoalan cuaca atau geologi, tetapi ujian bagi komunikasi kepemimpinan kita. Bencana alam setiap tahun seolah mengulang pertanyaan yang sama bagaimana pemimpin hadir, berbicara, dan memenuhi tanggung jawab moralnya?
Dalam lanskap bencana yang kompleks ini, ada satu hal yang terasa makin langka: empati yang otentik. Kita menyaksikan bukan empati yang sekadar dangkal, tetapi lebih berbahaya: nirempati, kondisi ketiadaan empati.
Nirempati dalam makna sesungguhnya berarti ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk memahami, merasakan, atau merespons perasaan dan kebutuhan emosional orang lain.
Ini adalah sikap mengutamakan kepentingan diri sendiri dan bersikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang lain.
Kita menyaksikan pejabat berdiri di tengah puing-puing rumah yang hanyut, memegang mikrofon, diapit kamera dan perangkat dokumentasi, mengucapkan frasa-frasa seperti “kami berduka”, “kami hadir untuk rakyat”, atau “kami akan segera bergerak”.
Namun, pada saat yang sama masyarakat bertanya apa bedanya dengan tahun lalu, dan tahun sebelumnya, dan sebelumnya lagi?
Mereka menunggu bukan sekadar kata-kata yang menenangkan, tetapi jaminan bahwa hidup mereka benar-benar diperhatikan dan tidak hanya dijadikan latar belakang cuplikan berita.
Sebagai pengamat aspek kepemimpinan, saya melihat bahwa gestur-gestur superfisial itu bukanlah empati semu, melainkan manifestasi dari nirempati yang berwajah manis.
Nirempati muncul ketika pemimpin hanya menampilkan gestur empatik, tetapi tidak menindaklanjutinya dengan pendengaran yang sungguh-sungguh atau kebijakan yang berubah.
Mereka hadir, tetapi tidak betul-betul hadir, hanya memenuhi protokol visual yang steril. Mereka berbicara, tetapi tidak memasuki ruang emosional masyarakat, menjaga jarak aman dari trauma yang sebenarnya.
Empati yang diharapkan korban bencana bukanlah simpati instan yang memisahkan, melainkan kehadiran yang memahami, mengakui, dan berkomitmen untuk bertindak nyata.
Banyak penelitian tentang kepemimpinan dalam krisis menyebutkan bahwa empati yang otentik mampu menurunkan kecemasan kolektif, memperkuat kohesi sosial, dan meningkatkan kepercayaan publik.
Ketika pemimpin tidak mampu menunjukkan empati sejati, maka ruang publik terisi oleh kebingungan, frustrasi, dan kecurigaan, yang dalam konteks manajemen bencana, adalah penghambat terbesar bagi koordinasi dan pemulihan, sebuah kegagalan kepemimpinan pada tingkat moral.
Ketika bencana datang bertubi-tubi, masyarakat tidak hanya mencari pertolongan fisik, tetapi juga petunjuk moral, mereka mencari arah yang jelas dan kejujuran.
Untuk melawan nirempati yang fatal ini, pemimpin harus mengusung Komunikasi Kehadiran Moral yang menuntut pertanggungjawaban utuh.
Konsep ini menuntut pemimpin untuk menyapu bersih kabut informasi, menuntaskan kebingungan publik, dan menghadirkan kejelasan yang menenangkan.
Pemimpin harus menyampaikan informasi secara jujur apa yang sudah dilakukan, apa yang belum, apa yang salah, dan apa yang sedang diperbaiki.
Tidak ada pencitraan, tidak ada pengaburan, hanya komitmen untuk kejelasan dan tanggung jawab, yang merupakan fondasi paling kuat untuk membangun kembali kepercayaan pascabencana.
Sebaliknya, komunikasi yang berakar pada nirempati cenderung menghasilkan pesan yang rapi, tetapi steril. Pemimpin berbicara dengan kalimat normatif yang telah disusun tim komunikasi, lengkap dengan struktur yang mulus, tetapi minim substansi.
Tidak jarang bahasa yang digunakan terasa terlalu teknokratis atau defensif, alih alih humanis. Ketika masyarakat sedang trauma, kehilangan keluarga, rumah, atau masa depan, mereka tidak membutuhkan paragraf teknis tentang status tanggap darurat atau bilai logistik.
Mereka membutuhkan pengakuan bahwa penderitaan mereka dipahami, dan bahwa negara hadir bukan hanya dalam bentuk pernyataan, tetapi melalui keputusan dan tindakan yang nyata.
Komunikasi jenis ini, yang fokus pada data dan bukan jiwa, adalah kegagalan humanisme di tengah krisis dan penanda bahwa pemimpin berada pada posisi nirempati.
Salah satu masalah besar yang saya amati dalam komunikasi kepemimpinan bencana adalah kecenderungan mengalihkan fokus hanya pada respons darurat.
Kita terbiasa mendengar narasi “yang penting sekarang fokus dulu pada penanganan korban”, seolah pembahasan akar masalah hanya menambah beban emosional di tengah situasi sulit. Padahal, justru di momen genting inilah keberanian politik diuji.
Apakah pemimpin bersedia menyatakan bahwa banjir bukan hanya soal curah hujan, tetapi soal pilihan kebijakan?
Jika pemimpin hanya mengulang retorika “musibah alam” atau “takdir ilahi”, maka masyarakat dipaksa percaya bahwa mereka hidup dalam siklus bencana yang tak memiliki hubungan dengan kebijakan publik.
Retorika itu merupakan pemikiran yang menyesatkan secara intelektual dan berbahaya secara moral karena mengesankan bahwa negara tak berdaya di hadapan alam. Padahal banyak elemen kerentanan berasal dari keputusan manusia.
Nirempati dalam manajemen bencana adalah ketika masalah diulang setiap tahun tanpa ada intervensi kebijakan yang fundamental.
Di era digital seperti sekarang, tantangan semakin pelik karena bencana tidak terjadi di ruang fisik saja, melainkan juga di ruang informasi.
Saat air menggenangi rumah-rumah, linimasa kita juga dibanjiri oleh hoaks, misinformasi, dan spekulasi yang viral jauh lebih cepat dibanding klarifikasi resmi pemerintah.
Warga sering merasa lebih terhubung dengan laporan
real time
dari influencer, relawan independen, atau akun-akun warga daripada dari kanal resmi pemerintah.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat bukan hanya mencari informasi, tetapi mencari kehadiran yang konsisten dan otentik.
Mereka ingin merasakan bahwa suara mereka didengar, kebutuhan mereka direspons, dan pola komunikasi yang digunakan pemimpin tidak memosisikan mereka sebagai objek informasi, tetapi sebagai mitra dalam pemulihan.
Dalam manajemen bencana modern, komunikasi yang gagal menguasai ruang digital sama fatalnya dengan kegagalan distribusi logistik, dan kevakuman ini adalah ruang yang diciptakan oleh nirempati birokrasi.
Dalam situasi seperti ini, saya berpendapat komunikasi kepemimpinan harus dipahami sebagai bagian integral dari logistik darurat.
Sama pentingnya dengan perahu karet, tenda pengungsian, atau suplai makanan, komunikasi yang jernih dan empatik dapat menyelamatkan hidup.
Komunikasi yang baik mencegah kepanikan, memastikan bantuan sampai ke titik yang tepat, dan menjaga masyarakat tetap terinformasi.
Sebaliknya, komunikasi yang buruk menyebabkan kebingungan, memperlebar jarak antara pemerintah dan warga, dan memicu sentimen negatif yang menggerogoti legitimasi institusi.
Jika pada masa lalu komunikasi publik dianggap sebagai pelengkap kebijakan, kini komunikasi adalah kebijakan itu sendiri, ia adalah
action
yang harus direncanakan dan dieksekusi dengan presisi, layaknya operasi penyelamatan.
Pemimpin yang mampu melewati badai bencana dengan komunikasi yang efektif biasanya menunjukkan tiga hal penting.
Pertama, mereka merumuskan narasi berdasarkan data akurat, bukan angka yang dibuat stabil demi menenangkan publik. Transparansi data adalah bentuk penghormatan paling dasar terhadap martabat warga.
Menyampaikan angka korban secara jujur, mengakui ketidakpastian, atau meminta tambahan waktu untuk verifikasi adalah bagian dari komunikasi etis.
Kedua, mereka mengakui penderitaan masyarakat tanpa meromantisasinya. “Warga kita tangguh” memang terkesan positif, tetapi sering kali frasa itu dipakai untuk menutupi kegagalan negara dalam memastikan keselamatan warganya.
Mengakui kesedihan dan trauma warga, serta menyatakan bahwa negara bertanggung jawab memperbaiki sistem, jauh lebih bermakna daripada pujian kosong.
Ketiga, mereka menghubungkan komunikasi dengan tindakan. Setiap pidato, setiap konferensi pers, setiap unggahan di media sosial harus memiliki konsekuensi kebijakan, harus ada pertanggungjawaban di balik setiap janji. Komunikasi tanpa aksi hanya akan memperburuk rasa kehilangan dan ketidakpercayaan.
Dalam banyak kasus, saya melihat bagaimana pejabat lebih fokus pada gestur simbolis daripada pendengaran yang mendalam.
Mereka mengunjungi lokasi bencana, meninjau dapur umum, atau mengangkat anak kecil untuk difoto.
Tindakan ini tentu baik, tetapi jika berhenti di situ, maka itu hanya menjadi panggung estetika penderitaan, sebuah pementasan yang menunjukkan nirempati yang tersembunyi.
Pada sisi lain, korban bencana sering kali hanya ingin didengar. Mereka ingin menceritakan apa yang terjadi, bagaimana mereka kehilangan rumah, atau kegelisahan mereka tentang masa depan. Di sinilah kehadiran tanpa kamera menjadi penting.
Pemimpin yang turun tanpa protokol berlapis lapis, yang duduk bersama warga tanpa mikrofon, yang mendengar tanpa interupsi, akan lebih dipercaya daripada pemimpin yang hanya datang untuk “membuka jalur liputan”.
Tindakan humanis sederhana ini, duduk dan mendengarkan, adalah investasi kepercayaan jangka panjang.
Beberapa pemimpin dunia menunjukkan bagaimana empati otentik dapat mengubah dinamika krisis. Jacinda Ardern, misalnya, dipuji karena gaya komunikasinya yang tegas sekaligus penuh kehangatan selama krisis Covid 19 dan tragedi penembakan di Christchurch.
Ia berbicara bukan hanya sebagai kepala pemerintahan, tetapi sebagai manusia yang hadir sepenuhnya. Ia mengakui ketakutan publik, tetapi menawarkan kejelasan. Ia menangis ketika masyarakat berduka, tetapi bertindak cepat dalam kebijakan.
Contoh lain adalah Presiden Korea Selatan, Moon Jae in, yang terkenal dengan kebiasaan mendengar langsung aspirasi warga tanpa perantara dalam berbagai situasi darurat.
Pemimpin seperti mereka menunjukkan bahwa empati bukanlah kelemahan, tetapi kekuatan strategis dalam membangun kepercayaan dan kohesi sosial yang esensial dalam fase pemulihan.
Refleksi saya sebagai pengamat menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam jiwa kearifan lokal. Kita memiliki sejarah panjang tokoh-tokoh lokal yang mempraktikkan empati otentik di masa bencana, meskipun tidak selalu mendapat sorotan media.
Banyak kepala desa, camat, lurah, dan relawan komunitas yang menghadirkan empati total secara alami. Mereka mungkin tidak memiliki kalimat retoris yang indah, tetapi mereka hadir secara fisik dan emosional.
Mereka menjaga warganya, berjalan dari rumah ke rumah, memastikan semua orang selamat. Pemimpin seperti ini mengajarkan bahwa empati sejati tidak membutuhkan mikrofon atau pencitraan.
Ia hadir dalam tindakan, dalam kejujuran, dalam komitmen, dan paling penting, dalam pengakuan bahwa penderitaan warga adalah penderitaan negara.
Dalam konteks inilah kita perlu bertanya bagaimana seharusnya model komunikasi kepemimpinan Indonesia di era bencana ke depan?
Pertama, kita perlu menyadari bahwa komunikasi harus diperlakukan sebagai bagian dari mitigasi bencana, bukan sebagai pelengkap, menuntut investasi pada sistem komunikasi risiko terpadu.
Kedua, kita perlu mendorong pemimpin untuk berani mengakui kesalahan dan ketidakpastian, sebab ini adalah tanda kematangan dan kedewasaan kepemimpinan yang humanis.
Ketiga, kita harus membangun budaya baru di mana pejabat publik tidak dihargai karena kelancaran berbicara, tetapi karena kedalaman mendengarkan dan ketepatan bertindak yang menyelamatkan nyawa dan martabat.
Akhirnya, kita sampai pada refleksi paling penting bencana alam sebenarnya hanyalah satu bagian dari cerita.
Bencana yang lebih besar bisa jadi adalah bencana komunikasi ketika pemimpin gagal memberikan kejelasan, gagal menghadirkan kehangatan, dan gagal memaknai penderitaan rakyat.
Kegagalan ini, yang berakar pada nirempati birokrasi, meruntuhkan jembatan kepercayaan antara negara dan warga.
Jembatan yang runtuh itu, sebagai seorang pengamat, saya yakini jauh lebih sulit dibangun kembali dibanding jalan yang ambles atau jembatan fisik yang putus, sebab ia melibatkan rekonsiliasi emosional dan psikologis mendalam.
Dalam dunia yang dipanaskan oleh perubahan iklim, intensitas bencana di Indonesia tidak akan menurun.
Hujan mungkin tidak bisa kita hentikan. Lempeng bumi tidak bisa kita kendalikan. Namun, bagaimana pemimpin hadir di hadapan warganya itulah yang sepenuhnya berada dalam kendali kita.
Pada akhirnya, masyarakat yang berdiri di depan rumah yang hanyut tidak menilai pemimpin dari betapa indahnya kata-kata yang diucapkan, tetapi dari satu pertanyaan sederhana apakah saya merasa lebih sendiri atau lebih ditemani setelah pemimpin berbicara?
Jika jawaban publik adalah “lebih ditemani”, maka kita sedang dipimpin oleh empati yang sejati. Jika jawabannya “lebih sendiri”, maka yang hadir adalah bayangan kekuasaan yang acuh.
Indonesia membutuhkan lebih banyak pemimpin yang mampu menunjukkan empati total untuk memulihkan rasa percaya.
Sebab di tengah badai bencana, hal yang paling menyelamatkan bukan hanya bantuan fisik, tetapi keyakinan bahwa negara benar-benar hadir sepenuhnya, gerak cepat, utuh, dan manusiawi.
Sudah saatnya kita menuntut para pemimpin untuk keluar dari ruang kosong retorika dan mengisi kehampaan komunikasi dengan kejujuran, komitmen kebijakan, dan kehadiran yang seutuhnya.
Tanggung jawab moral ini ada di pundak kita semua. Mari bersama-sama menggugat nirempati, menuntut pemimpin untuk bertindak dengan hati nurani, sebelum bencana komunikasi meruntuhkan semua yang tersisa.
Pray for Sumatera, pray for Indonesia….
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/02/692edca48630a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Korban Banjir Punguti Beras yang Dilempar dari Helikopter, Bupati Minta Maaf Regional
Korban Banjir Punguti Beras yang Dilempar dari Helikopter, Bupati Minta Maaf
Tim Redaksi
MEDAN,KOMPAS.com-
Bupati Tapanuli Utara (Taput), Sumatera Utara, Jonius Taripar Parsaoran meminta maaf atas insiden warga memunguti beras bantuan banjir bercampur tanah, akibat dilempar dari helikopter.
Permintaan maaf disampaikannya melalui sebuah video.
“Saya Bupati
Tapanuli Utara
, bersama pilot, kami pertama-tama meminta maaf kepada seluruh masyarakat Tapanuli Utara, secara khusus masyarakat yang ada di Desa Manalu Purba, tepatnya di Hajorang,” ujar Jonius dalam sebuah video.
Pada kesempatannya, Jonius menjelaskan kronologi peristiwa, awalnya dia dan rombongan Tim SAR gabungan mendistribusikan
bantuan logistik
melalui helikopter.
Mereka mendistribusikan ke desa terpencil dan terisolir akibat banjir di Taput.
“Kemarin (yang) terjadi adalah bagaimana kami mendistribusikan makanan sembako ke daerah terpencil, daerah terisolir,” ujarnya.
Pihaknya sudah melakukan penerbangan untuk mendistribusikan logistik sebanyak tujuh kali penerbangan.
“Kami lakukan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang masih belum bisa kita jangkau dengan jalan darat,” ujarnya dalam video.
Lalu tibalah mereka di Kecamatan Hajoran, saat itu mereka hendak mendarat di salah satu sekolah.
Namun terjadi kendala, lantaran adanya kabel di sekitar lokasi pendaratan.
“Saya mengajak pilot untuk mendarat di sekolah, kemudian pilot mencari (tempat) untuk bisa mendarat,” ujarnya.
Akan tetapi pada ketinggian kurang lebih 10 hingga 15 meter, pendaratan terhambat karena ada kabel listrik.
“Sehingga pilot menyarankan untuk tidak mendarat dan masyarakat sudah berkumpul di bawah,” ujar Jonius.
Karena takut masyarakat kecewa, Jonius berusaha tetap menurunkan bantuan beras dari helikopter.
“Kami menurunkan tidak lebih dari 10 (karung) mungkin,” katanya.
“Saat kami melihat ke bawah, mereka bilang sudah ada yang rusak. Dan waktu itu memang saat kita keluarkan ada indomie, Indomie nya langsung berserak (berhamburan),” ujarnya.
Karena kerusakan logistik akibat diturunkan dari helikopter, pilot mencoba mencari lokasi pendaratan di landasan yang baru di sekitar lokasi.
“Nah tidak jauh dari situ, kami melihat ada landasan, yaitu ada kebun dan kami mencoba mendarat di sana. Setelah itu kami mendarat dengan ketinggian hanya sekitar 1 meter dari tanah,” ujarnya.
Pihaknya kemudian mengeluarkan semua bantuan dari helikopter tersebut dan kemudian diserahkan ke warga.
“Yang pasti bantuan itu ada kurang lebih 400 kilogram (beras) yang kami bawa saat itu. Yang kami jatuhkan dengan jarak 20 meter itu, paling tidak sampai 10 karung beras. Selebihnya kami turunkan dengan normal, itu pada ketinggian 1 meter di atas permukaan lahan,” ujarnya.
Kendati demikian, pihaknya tetap meminta maaf atas insiden terjadi.
Ia menyatakan semua bantuan yang diberikan atas dasar kemanusiaan.
“Mungkin itu yang bisa kami sampaikan, dan semua ada dokumentasi dan bukti-buktinya. Jadi sekali lagi, atas nama pemerintahan, kami mohon maaf, yang pasti kami melakukan ini adalah upaya kemanusiaan,” ujarnya.
Sebelumnya video warga memunguti beras bantuan banjir yang bercampur tanah akibat dilempar dari helikopter viral di media sosial.
Disebutkan peristiwa terjadi di lokasi banjir dan longsor di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
Dilihat dari akun instagram @jawatimurpopuler, awalnya tampak helikopter menjatuhkan beras dan bantuan mie instan dari helikopter kepada korban banjir dan longsor di sana.
Video warga memunguti beras bantuan banjir yang bercampur tanah akibat dilempar dari helikopter viral di media sosial.
Disebutkan peristiwa terjadi di lokasi banjir dan longsor di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara.
Data Korban
Sementara itu berdasarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumut, Rabu (3/2/2025), korban meninggal sudah mencapai angka 307 orang.
Lalu sejauh ini ada 17 kabupaten/kota yang masih terdampak bencana alam yang terjadi sejak Senin (24/11/2025).
Lokasi terparah berada di Tapanuli Tengah. Korban meninggal disana 86 orang, hilang 112 orang dan luka-luka 521 orang.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/03/69305a904c5ca.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
8 Eks Kepala SMKN 1 Ponorogo: Saya Dipojokkan Kegiatan Komite Sekolah yang Saya Tidak Tahu Surabaya
Eks Kepala SMKN 1 Ponorogo: Saya Dipojokkan Kegiatan Komite Sekolah yang Saya Tidak Tahu
Editor
PONOROGO, KOMPAS.com
– Dugaan adanya sumbangan partisipasi pada wali murid sebesar Rp 1,4 juta, Kepala SMKN 1 Ponorogo, Katenan dimutasi ke SMAN 1 Tegalombo Pacitan, Jawa Timur.
Kepada jurnalis, Rabu (3/12/2025), Katenan merasa dipojokkan dengan adanya penggiringan isu sumbangan yang digagas komite sekolah.
Ia menegaskan bahwa ia sudah dimutasi sesuai SK, baru kemudian viral unggahan mengenai pungutan di SMKN 1.
“Saya sudah mendapatkan SK mutasi pada 21 November,” ungkap Katenan.
Katenan mempertegas lagi, bahwa pasca menerima surat pemindahtugasan dari
SMKN 1 Ponorogo
ke SMAN 1 Tegalombo Pacitan, baru beredar berita dugaan pungli itu di media sosial.
“Setelah SK saya terima, malamnya saya langsung dilantik. Kemudian besoknya (22 November) malah ada berita begitu,” kata Katenan dalam pers rilis bersama Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) PGRI Ponorogo.
Setelah semua persoalan ini beredar luas di masyarakat, Katenan menjelaskan bahwa ia resmi sudah dimutasi.
Justru menurutnya, mutasi dirinya dari SMKN 1 Ponorogo ke SMAN 1 Tegalombo Pacitan terlebih dahulu dilakukan, baru viral dugaan pungli.
“Tanggapan saya dengan adanya berita bahwa saya dimutasi akibat ada pungli, kesannya saya dituding saya memperkaya diri. Padahal tidak. Sedangkan sumbangan partisipasi itu (inisiatif) komite sekolah, dan saya waktu itu tidak tahu,” tegasnya.
Sekarang Katenan merasa dipojokkan banyak pihak.
Padahal sejak awal ia mempersoalkan SK Mutasi pada 21 November 2025 yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Permendikdasmen) Nomor 7 Tahun 2025.
Permendikdasmen Tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah Bab IV perihal Masa Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah Pasal 23 poin (3) dinyatakan bahwa, Penugasan Guru ASN sebagai Kepala Sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahkan pada satuan administrasi pangkal lain setelah bertugas paling singkat 2 tahun.
“Asumsi saya, saya dimutasi itu karena dianggap menyalahi Permendikdasmen. Kemudian muncul dugaan pungli. Ini seperti ada penggiringan opini, saya dipojokkan kegiatan komite. Agar dinilai jelek oleh masyarakat,” sesalnya.
Ketika ditanya tentang sumbangan partisipasi Rp 1,4 juta, Katenan mengaku pembahasannya sudah dilakukan pada September 2025 lalu. Namun ia tidak ikut andil.
“Saya tidak tahu menahu tentang itu. Kalau mutasi, saya serahkan kuasa hukum saya,” pungkasnya.
Katenan melalui LKBH PGRI Ponorogo melayangkan somasi kepada Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa karena mutasinya menabrak aturan dalam Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025.
“Sedangkan Pak Katenan baru diangkat menjadi
Kepala SMKN 1 Ponorogo
selama 6 bulan. Mulai 15 Mei dan dimutasi pada 21 November 2025,” ungkap Ketua LKBH PGRI Ponorogo, Thohari, Rabu (3/12/2025).
Artikel ini telah tayang di Surya.co.id dengan judul
Eks Kepala SMKN 1 Ponorogo Hanya Persoalkan Mutasi, Katenan Geram Diseret Dugaan Pungli Sekolah
.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2022/02/25/6218c81795c83.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Baru Tiba dari Bandara Soetta, Penumpang Mobil Sewa Diperas Rp 780.000 Megapolitan
Baru Tiba dari Bandara Soetta, Penumpang Mobil Sewa Diperas Rp 780.000
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com –
Polisi menangkap tiga pria yang diduga memeras dua penumpang yang baru tiba dari Bandara Soekarno Hatta di Jalan Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (1/12/2025) sekitar pukul 00.30 WIB.
Pelaku memaksa korban membayar ongkos hingga Rp 780.000 dengan mengunci pintu mobil Toyota Avanza yang ditumpangi korban.
Korban berhasil diselamatkan berkat laporan cepat warga melalui layanan darurat 110.
“Dengan laporan cepat, petugas dapat langsung bergerak dan mengamankan korban,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Budi Hermanto, Rabu (3/12/2025), dikutip
Tribunnews
.
Tim Patroli Jaga Jakarta Regu C yang dipimpin Aipda Khoirul Setyawan segera melacak kendaraan berdasarkan ciri-ciri yang dilaporkan.
Polisi menemukan ketiga pelaku bersama kendaraan di kawasan Jalan Enggano dan menangkap mereka tanpa perlawanan.
Kapolres Metro Jakarta Utara, Kombes Pol Erick Frendriz menegaskan, penangkapan ini menjadi bukti keseriusan aparat dalam menjaga rasa aman masyarakat.
“Kami tidak akan memberi celah bagi pelaku yang mencoba merugikan masyarakat,” kata Erick Frendriz.
Dalam operasi itu, polisi menyita satu unit Avanza hitam, uang tunai, ponsel, kartu identitas, dan pelat nomor palsu.
Dua dari pelaku juga dinyatakan positif amphetamine dan methamphetamine berdasarkan hasil tes urine awal.
Seluruh pelaku kini diserahkan ke Polres Metro Jakarta Utara untuk penyidikan lebih lanjut. Polisi mengimbau warga agar terus melapor melalui layanan 110 bila melihat tindakan mencurigakan.
“Kami mengimbau masyarakat tidak ragu melapor melalui layanan 110 bila melihat tindakan mencurigakan,” kata Erick Frendriz.
Artikel ini telah tayang di Tribunbekasi.com dengan judul “Sewa Mobil dari Bandara Soetta, Penumpang Diperas Rp 780.000 oleh Sopir Avanza Positif Sabu”
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/12/03/693036a61c5e8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Prabowo Bertemu Luhut di Istana, Ini yang Dibahas Nasional
Prabowo Bertemu Luhut di Istana, Ini yang Dibahas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Presiden RI Prabowo Subianto menerima Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Momen pertemuan keduanya diunggah Sekretariat Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya melalui media sosial Instagramnya, @sekretariat.kabinet.
”
Presiden Prabowo menerima Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Bapak Luhut Binsar Pandjaitan di Istana Merdeka, Jakarta, pada 3 Desember 2025,
” tulis Teddy dalam keterangannya.
Secara singkat, Teddy mengungkap pertemuan itu untuk membahas soal
situasi ekonomi
baik tingkat nasional maupun global.
”
Dalam pertemuan tersebut, Ketua DEN melaporkan perkembangan situasi ekonomi global dan nasional,
” ucap Teddy.
Selain itu, pertemuan Prabowo dan Luhut sekaligus membahas soal kemajuan program hortikultura.
“Serta kemajuan program hortikultura dan berbagai temuan di bidang sains dan teknologi yang berpotensi dikembangkan di Indonesia,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/04/6930b2a06f6d4.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/03/692ffa46bfe01.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/12/03/692fef9851cb1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/10/30/69034a8ee538e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)