Author: Gelora.co

  • Politikus PKS ke Hasto: Ayo Buka Semua Mas, Penasaran Juga Nih..

    Politikus PKS ke Hasto: Ayo Buka Semua Mas, Penasaran Juga Nih..

  • Harvey Moeis & Sandra Dewi Pakai BPJS Khusus Orang Miskin? Ini Penjelasan Humas BPJS

    Harvey Moeis & Sandra Dewi Pakai BPJS Khusus Orang Miskin? Ini Penjelasan Humas BPJS

  • Menelanjangi Retorika Palsu

    Menelanjangi Retorika Palsu

    Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla*

    SELAMA hampir satu dasawarsa memegang kendali kekuasaan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengusung Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia dari tahun 2014 hingga 2024, meninggalkan catatan kelam dalam perjalanan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Janji perubahan dan kesejahteraan yang digaungkan di awal masa kepemimpinannya justru berujung pada serangkaian kegagalan yang merusak tatanan berbangsa dan bernegara.

    Salah satu tragedi yang membekas dalam ingatan publik adalah kematian ratusan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pada Pemilu 2019. Kasus ini menimbulkan tanda tanya besar tentang transparansi dan kejujuran dalam proses demokrasi di Indonesia. Hingga kini, penyebab kematian massal tersebut masih diselimuti kabut misteri, tanpa investigasi yang memadai dan memuaskan publik. Alih-alih menjadi pesta demokrasi, Pilpres 2019 justru menyisakan duka dan ketidakpercayaan terhadap proses pemilu di bawah pemerintahan PDIP.

    Kemudian, Kasus Kanjuruhan pada tahun 2022, di mana ratusan suporter tewas akibat tragedi di stadion, menjadi bukti nyata buruknya manajemen keamanan dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini memperlihatkan betapa nyawa rakyat sering kali dianggap murah dan diabaikan oleh sistem yang korup dan tidak profesional. Keputusan hukum yang ringan bagi para pelaku juga menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam memberikan keadilan bagi korban.

    Selanjutnya, masih segar dalam ingatan kita soal kematian enam anggota Front Pembela Islam (FPI) di KM 50 Tol Cikampek pada tahun 2020 menambah daftar hitam pelanggaran hak asasi manusia di era pemerintahan PDIP. Peristiwa ini menimbulkan kontroversi besar karena banyaknya kejanggalan dalam proses hukum dan penyelidikan yang tidak transparan. Kasus ini menyoroti praktik kekerasan negara yang mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

    Tak hanya itu, dalam sepuluh tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat bahwa sebagian besar kasus korupsi yang terungkap melibatkan pejabat dan kader PDIP. Mulai dari kasus korupsi bantuan sosial (bansos) yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara, hingga berbagai skandal lainnya yang melibatkan kepala daerah dan anggota legislatif dari partai tersebut. Kasus ini menambah catatan suram PDIP sebagai partai penguasa yang gagal menjaga integritas dan amanah rakyat.

    Selain itu, kasus perampasan tanah dan alih fungsi lahan juga menjadi warisan buruk selama kekuasaan PDIP. Pulau Galang di Kepulauan Riau, yang memiliki potensi strategis dan sejarah besar, dialihfungsikan tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat lokal. Demikian pula dengan proyek Pantai Indah Kapuk (PIK 2) yang melibatkan alih fungsi lahan besar-besaran di pesisir Jakarta, memunculkan polemik karena prosesnya yang sarat dengan isu ketidakadilan dan dugaan perampasan tanah rakyat.

    Kedua kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana oligarki ekonomi dan politik yang dipelihara selama era PDIP telah menguasai sumber daya alam dan mengorbankan hak-hak rakyat kecil. Proyek-proyek raksasa ini mengabaikan kesejahteraan rakyat demi keuntungan segelintir elite, yang sering kali berafiliasi dengan kekuasaan.

    Dalam satu dekade terakhir, Indonesia seharusnya menikmati bonus demografi dengan ledakan jumlah kaum milenial yang produktif. Namun, kesempatan emas ini terbuang sia-sia akibat kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Pengangguran di kalangan anak muda meningkat, sementara lapangan kerja bagi tenaga kerja asing justru dipermudah. Kebijakan ini tidak hanya merampas hak rakyat atas pekerjaan, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di tengah masyarakat.

    Rakyat juga dipaksa menanggung beban ekonomi yang semakin berat. Penerapan pajak di hampir semua sektor ekonomi menambah penderitaan, sementara kenaikan harga kebutuhan pokok memperburuk daya beli masyarakat. Kebijakan ini mencerminkan minimnya keberpihakan pemerintah terhadap rakyat kecil, yang justru menjadi korban utama dari ketidakstabilan ekonomi.

    Ironi Retorika Keadilan PDIP

    Di tengah catatan kelam ini, sangat ironis ketika Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, yang kini menjadi tersangka korupsi, justru berbicara tentang perjuangan untuk keadilan rakyat. Pernyataan ini tidak hanya kontradiktif, tetapi juga mencerminkan sikap hipokrit yang mencederai akal sehat rakyat.

    Selama sepuluh tahun kekuasaan, PDIP memiliki kesempatan emas untuk memperbaiki sistem hukum, ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—kerusakan yang sistemik dan tatanan yang hancur lebur. Kini, setelah kehilangan kekuasaan, mereka berusaha membangun opini negatif terhadap pemerintahan baru, seolah-olah mereka telah lama menjadi partai oposisi.

    Rakyat Indonesia tentu tidak mudah melupakan semua ini. Politik pencitraan dan retorika kosong tidak lagi cukup untuk menutupi kegagalan yang telah tercatat dalam sejarah. Bangsa ini membutuhkan kepemimpinan yang jujur, berintegritas, dan benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan sekadar membangun narasi untuk menyelamatkan citra politik yang telah runtuh.

    Sudah saatnya Indonesia melangkah maju dengan meninggalkan pola-pola politik lama yang merusak dan beralih pada kerja nyata demi mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat. Rakyat menuntut keadilan yang sesungguhnya, bukan sekadar janji-janji kosong yang berulang kali dikhianati.

    *Penulis adalah Purnawirawan TNI AL, pemerhati masalah kebangsaan

  • Vonis Ringan Harvey Moeis Bukti Sinergitas Kejagung dan MA Lemah

    Vonis Ringan Harvey Moeis Bukti Sinergitas Kejagung dan MA Lemah

  • Prabowo Kemarin Mau Maafkan Koruptor, Pas Diprotes Publik, Ucapannya Diralat, Aneh

    Prabowo Kemarin Mau Maafkan Koruptor, Pas Diprotes Publik, Ucapannya Diralat, Aneh

  • Hasto Klaim Punya Video Skandal Pejabat, Ketua Joman Immanuel Ebenezer: Sejuta Persen Enggak Ada Tuh

    Hasto Klaim Punya Video Skandal Pejabat, Ketua Joman Immanuel Ebenezer: Sejuta Persen Enggak Ada Tuh

  • Sosok & Karir Bripda Edy Wally, Polisi Penganiaya Warga Ambon yang Meninggal Diduga Serangan Jantung

    Sosok & Karir Bripda Edy Wally, Polisi Penganiaya Warga Ambon yang Meninggal Diduga Serangan Jantung

  • KPK Bicara Soal Kemungkinan Yasonna Laoly jadi Tersangka Kasus PAW DPR RI Harun Masiku

    KPK Bicara Soal Kemungkinan Yasonna Laoly jadi Tersangka Kasus PAW DPR RI Harun Masiku

  • Jokowi Dukung PPN 12%: Sudah Diputuskan DPR, Pemerintah Harus Jalankan

    Jokowi Dukung PPN 12%: Sudah Diputuskan DPR, Pemerintah Harus Jalankan

  • Kebijakan Baru! Silakan Rame-Rame Korupsi Kalau Ketahuan Tinggal Dikembalikan, Aman Deh!

    Kebijakan Baru! Silakan Rame-Rame Korupsi Kalau Ketahuan Tinggal Dikembalikan, Aman Deh!

    GELORA.CO – Pengamat politik Rocky Gerung mengkritik wacana Presiden Prabowo Subianto mengenai pemberian amnesti kepada koruptor yang bersedia mengembalikan hasil korupsinya.

    Dalam pernyataannya, Rocky menyindir kebijakan tersebut sebagai ajakan terang-terangan untuk melegalkan korupsi.

    “Kebijakan baru ini seperti mengundang orang untuk rame-rame korupsi. Kalau ketahuan, tinggal dikembalikan. Aman deh!” ujar Rocky dengan nada sarkastis saat diwawancarai, Sabtu (28/12/2024).

    Menurut Rocky, pendekatan tersebut tidak hanya bertentangan dengan prinsip keadilan, tetapi juga berpotensi merusak upaya pemberantasan korupsi yang telah diperjuangkan selama bertahun-tahun.

    Rocky menegaskan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan “meminta maaf dan mengembalikan uang.”

    Ia mengkritik pemerintah karena dianggap gagal memahami dampak destruktif dari korupsi terhadap masyarakat dan negara.

    “Ini bukan sekadar soal kehilangan uang negara. Korupsi merusak peradaban, menghancurkan kepercayaan publik, dan menghilangkan hak rakyat atas kekayaan negara. Jangan pernah anggap enteng kejahatan ini,” tegas Rocky.

    Ia juga mengingatkan bahwa amnesti bagi koruptor dapat menciptakan preseden buruk dan mendorong orang untuk melakukan tindakan serupa.

    “Kalau begini caranya, korupsi malah jadi bisnis. Risiko rendah, untung besar,” tambahnya.

    Sikap Rocky sejalan dengan kritik Mahfud MD, yang sebelumnya menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang memerlukan hukuman berat, bukan pengampunan.

    Sebaliknya, Menteri Hukum Supratman Andi Aktas mendukung ide amnesti ini, menyebut prosesnya tidak perlu melibatkan presiden.

    Namun, Rocky mempertanyakan logika di balik dukungan tersebut.

    “Apakah ini kebijakan untuk mempermudah korupsi? Kalau iya, kita harus siap menghadapi keruntuhan moral bangsa,” ucapnya.

    Rocky mengakhiri pernyataannya dengan menekankan pentingnya menjaga prinsip hukum yang tegas dalam menghadapi korupsi.

    “Kita dihadapkan pada dilema moral, membiarkan kejahatan ini terus berlangsung atau memperjuangkan keadilan dengan tegas. Pilihan kita hari ini menentukan masa depan bangsa,” pungkasnya.