Jakarta, CNN Indonesia —
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) melaporkan jumlah pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia sejak November 2023 mencapai 1.200 jiwa.
Kedatangan ribuan pengungsi ini mendapat reaksi pro dan kontra dari masyarakat Indonesia, terutama karena fasilitas yang diberikan UNHCR dianggap berlebihan.
Rekam jejak buruk yang dimiliki pengungsi Rohingya di Malaysia juga menambah kekhawatiran masyarakat Indonesia.
Rohingya merupakan kelompok etnis mayoritas beragama Islam yang telah berabad-abad tinggal di Myanmar sebagai negara mayoritas beragama Budha.
Terjadinya serangan bersenjata, kekerasan berskala besar, dan pelanggaran hak asasi manusia pada Agustus 2017, memaksa ribuan warga Rohingya keluar dari rumah mereka di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dilansir dari USA for UNHCR.
Banyak dari mereka bahkan harus berjalan kaki selama berhari-hari di dalam hutan dan melalui perjalanan laut berbahaya untuk sampai di Bangladesh.
Kelompok etnis Rohingya saat ini berjumlah lebih dari 1,1 juta orang dan tersebar di berbagai negara Asia Tenggara.
Orang Rohingya berkomunikasi menggunakan Bahasa Rohingya atau Ruaingga. Dialek yang digunakan berbeda dengan bahasa Myanmar pada umumnya.
Bangsa Rohingya tidak termasuk dalam 135 kelompok etnis resmi negara tersebut dan status kewarganegaraan telah ditolak Myanmar sejak 1982.
Hampir seluruh bangsa Rohingya tinggal di pesisir barat Rakhine dan mereka tidak diperbolehkan melewati perbatasan tanpa izin dari pemerintah.
Negara ini merupakan salah satu negara bagian termiskin di Amerika, dengan kamp-kamp yang mirip ghetto.
Asal Etnis Rohingya
Para sejarawan meneliti bahwa etnis Rohingya telah berada di Myanmar sejak abad ke-12.
“Rohingya telah tinggal di Arakan sejak dahulu kala,” ungkap Organisasi Nasional Rohingya.
Selama lebih dari 100 tahun masa pemerintahan Inggris (1824-1948), terjadi migrasi pekerja secara masal ke wilayah Myanmar dari India dan Bangladesh, dilansir dari Al Jazeera.
Migrasi ini dianggap negatif oleh mayoritas penduduk asli.
Setelah Myanmar berhasil mendapat kemerdekaan, migrasi yang terjadi pada masa pemerintahan Inggris dinilai ilegal, sehingga mereka menolak kewarganegaraan Rohingya.
Hal ini menyebabkan banyak umat Buddha menganggap Rohingya sebagai orang Bengali dan menolak penyebutan istilah Rohingya atas dasar politik.
Bersambung ke halaman berikutnya…
Tidak lama setelah diresmikannya kemerdekaan Myanmar pada 1948, disahkan Undang-Undang Kewarganegaraan Uni.
Undang-undang ini mengatur etnis mana yang bisa mendapatkan kewarganegaraan. Etnis Rohingya tidak tercantum dalam undang-undang ini, tetapi pemerintah mengizinkan warga Rohingya tinggal di Myanmar selama dua generasi untuk mengajukan identitas.
Rohingya pada mulanya diberi identifikasi dan kewarganegaraan berdasarkan ketentuan generasi. Bahkan beberapa warga Rohingya bertugas di parlemen.
Kudeta militer pada 1962 di Myanmar menciptakan berbagai perubahan dramatis bagi penduduk Rohingya.
Semua warga diwajibkan untuk mendapatkan kartu registrasi nasional, tetapi warga Rohingya hanya diberikan kartu identitas asing.
Penetapan Undang-Undang Kewarganegaraan baru kembali tidak memasukkan Rohingya sebagai etnis resmi.
Undang-undang tersebut membagi kewarganegaraan menjadi tiga tingkatan. Persyaratan dasarnya adalah memiliki dokumen bukti lahir di Myanmar sebelum 1948 dan fasih dalam salah satu bahasa nasional.
Ketidakmampuan warga Rohingya untuk memenuhi persyaratan tersebut semakin menyulitkan mereka.
Mereka merasakan pembatasan dalam hak belajar, bekerja, bepergian, beragama, dan mengakses layanan kesehatan.
Penganiayaan Rohingya
Masyarakat Rohingya mengalami kekerasan, diskriminasi, dan penganiayaan selama beberapa dekade.
Sejak tahun 1970-an, sejumlah tindakan keras terhadap etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine telah memaksa ratusan ribu orang mengungsi ke negara tetangga Bangladesh, Malaysia, Thailand, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Eksodus terbesar yang menimpa mereka terjadi pada 2017 dengan gelombang kekerasan besar-besaran terjadi di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.
Seluruh desa dibakar habis, ribuan keluarga terbunuh atau terpisah dan pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran terjadi.
Human Right Watch (HRW) melaporkan bahwa Myanmar beberapa kali melakukan kampanye pembersihan etnis Rohingya.
Saat ini, lebih dari 930.000 pengungsi Rohingya berada di Bangladesh, terutama kamp pengungsi Kutupalong dan Nayapara di wilayah Cox’s Bazar Bangladesh.
Populasi pengungsi saat ini berjumlah sepertiga dari total populasi di wilayah Cox’s Bazar.
Pada bulan Mei 2023, Topan Mocha melanda Bangladesh dan Myanmar. Bencana Topan ini merusak berbagai infrastruktur publik. Salah satu yang terdampak parah adalah pengungsi Rohingya berjumlah 930.000 jiwa.