Asal-usul di Balik Nama Daerah Cawang, Cakung, dan Bintaro Megapolitan 27 Juni 2025

Asal-usul di Balik Nama Daerah Cawang, Cakung, dan Bintaro
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        27 Juni 2025

Asal-usul di Balik Nama Daerah Cawang, Cakung, dan Bintaro
Editor
 
JAKARTA, KOMPAS.com
— Nama-nama tempat di Jakarta dan sekitarnya sering kali terdengar biasa di telinga kita.
Namun, di balik kata-kata yang terucap harian seperti
Bintaro
,
Cakung
, atau
Cawang
, tersimpan kisah panjang tentang alam, kolonialisme, hingga tokoh-tokoh yang nyaris terlupakan sejarah.
Dikutip dari buku “Asal-Usul Nama Tempat di Jakarta” karya Rachmat Ruchiat (2018), penamaan wilayah di Jakarta Timur dan Selatan ini bukan semata penunjuk lokasi, tapi juga jejak peradaban yang melibatkan cerita rakyat, bahasa lokal, hingga kekuasaan kolonial.
Bintaro bukan sekadar kawasan elit di perbatasan Jakarta Selatan dan Tangerang Selatan.
Nama itu diambil dari tanaman Cerbera manghas, sejenis perdu yang banyak ditemukan di Asia Tenggara dan kawasan tropis lainnya.
Tanaman ini berdaun mengilap, berbentuk mata tombak, dan bunganya putih serta harum.
Namun di balik keindahannya, Bintaro menyimpan racun mematikan.
Buahnya berbentuk bundar telur, sementara bijinya mengandung odolin, senyawa yang berasa pahit dan bersifat toksik.
Bahkan, kulit kayunya mengandung glukosida serbesin yang cukup berbahaya.
Meski demikian, hampir seluruh bagian tanaman ini dipakai dalam pengobatan tradisional.
Nama Bintaro yang lekat dengan racun dan obat, kini menjelma jadi kawasan pemukiman dan komersial modern.
Ironi menarik dari sejarah yang membaur dengan masa kini.
Nama Cakung berasal dari nama sungai yang melintasi wilayah itu: Kali Cakung.
Dalam bahasa Sunda, ”
cakung
” berarti sejenis katak pohon atau katak terbang (Rhacophorus) yang mampu menempel di daun dan batang karena perekat alami di kakinya.
Namun kisah Cakung tak berhenti di situ. Pada masa kolonial, wilayah ini menjadi
tanah partikelir
yang berpindah tangan dari satu elit VOC ke elit lainnya.
Tahun 1686, Cakung tercatat sebagai milik Johannes Cops, pejabat tinggi VOC.
Kemudian, kepemilikan beralih kepada janda Kapten Johan Ruys, Elisabeth, lalu ke tangan pejabat militer Jawa bernama Soedjar, hingga terakhir tercatat atas nama Kauw Tieng Tjoan pada 1881.
Setelah Indonesia merdeka dan sistem partikelir dihapus pada 1942, status tanah Cakung berubah.
Namun jejak sejarah tanah itu tetap tertanam dalam struktur sosial dan tata ruang kawasan.
Cawang, kelurahan di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur, menyimpan asal-usul dari nama seorang tokoh Melayu.
Enci Awang, seorang letnan yang mengabdi pada Kompeni, bermukim di daerah itu bersama pasukannya.
Dari sebutan Enci Awang itulah, nama Cawang lahir, hasil transformasi bahasa dan lidah masyarakat setempat.
Enci Awang adalah bawahan Kapten Wan Abdul Bagus, pemimpin pasukan yang bermukim di wilayah yang kini dikenal sebagai Kampung Melayu, Jatinegara.
Pada pertengahan abad ke-18, Cawang sempat tercatat sebagai milik Pieter van den Velde, tuan tanah yang menguasai berbagai wilayah lain seperti Tanjung Timur dan Cililitan.
Cawang juga menjadi perbincangan publik awal abad ke-20 karena menjadi tempat tinggal pesilat aliran kebatinan bernama Sairin, alias Bapak Cungok.
Sosok ini dituduh oleh Belanda sebagai dalang kerusuhan Tangerang tahun 1924 serta terlibat dalam pemberontakan Entong Gendut di Condet pada 1916—wilayah yang kala itu masih bagian dari tanah partikelir Tanjung Timur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.