Keunikan Apen juga tercermin dari peran sosialnya dalam masyarakat Sumenep. Ia tidak hanya diperlakukan sebagai kudapan biasa, melainkan sebagai simbol kebersamaan, terutama dalam acara-acara seperti pengajian, syukuran, atau ritual adat lokal seperti toronan dan ruwatan.
Apen disajikan bersama teh tubruk hangat atau kopi pahit khas Madura sebagai pelengkap, menciptakan suasana keakraban yang mendalam. Bahkan dalam beberapa komunitas di pelosok desa, pembuatan Apen menjadi momen musyawarah antaribu-ibu atau ajang berbagi cerita antar generasi.
Dengan demikian, Apen bukan hanya makanan, tapi juga media penyambung silaturahmi dan pelestari tradisi. Keberadaannya mencerminkan bagaimana kuliner bisa menjadi jembatan antara generasi tua dan muda, sekaligus pengingat akan nilai-nilai lokal yang tidak tergantikan oleh modernitas. Saat dunia semakin tergoda dengan makanan instan dan rasa artifisial, Apen justru menawarkan kejujuran rasa dari alam dan tangan-tangan masyarakat desa yang bekerja dengan cinta.
Ia menjadi bukti bahwa singkong, bahan pangan yang sering dianggap kelas dua, bisa menjelma menjadi sajian istimewa dengan identitas kuat. Apen tidak hanya memanjakan lidah, tetapi juga membangkitkan kenangan dan rasa memiliki terhadap budaya lokal. Setiap gigitannya adalah sepotong sejarah yang hidup, mengajak siapa pun yang mencicipinya untuk menghargai proses, menghormati tradisi, dan mencintai kekayaan kuliner daerah.
Maka tak heran jika Apen, yang mungkin tidak sefamiliar makanan-makanan viral di media sosial, justru memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat Sumenep sebagai simbol rasa, budaya, dan kehangatan yang tak lekang oleh waktu.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3338165/original/061812500_1609473780-cassava-5578528_640.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)