Presiden Emmanuel Macron membubarkan parlemen bulan Juni lalu setelah dalam pemilihan parlemen Uni Eropa partainya hanya memperoleh setengah dari jumlah suara yang diraup partai sayap kanan Rassemblement National, yang menempati posisi pertama.
Macron lalu menunjuk Michel Barnier sebagai perdana menteri baru, sekalipun tidak ada dukungan mayoritas di parlemen.
Pada hari Rabu (04/12) partai oposisi mengajukan mosi tidak percaya dan menjatuhkan pemerintahan Barnier. Hal ini sekarang menyebabkan krisis pemerintahan di Prancis, dan dapat menjerumuskan negara tersebut ke dalam krisis ekonomi yang parah.
Perekonomian Prancis sebenarnya tampak berjalan cukup baik akhir-akhir ini. Tahun ini diperkirakan akan tumbuh sebesar 1,1 persen – sebagai perbandingan, perekonomian Jerman diperkirakan akan menyusut sebesar 0,2 persen. Angka inflasi juga berkisar dua persen – dua tahun lalu masih di atas lima persen. Tingkat pengangguran mencapai 7,4 persen – angka yang cukup baik untuk Prancis.
Namun, angka-angka yang relatif positif ini tidak dapat menyembunyikan kelemahan mendasar dalam perekonomian Perancis, menurut Denis Ferrand, kepala lembaga penelitian ekonomi Rexecode yang berbasis di Paris. “Sejak 2019, perusahaan Prancis – dan Eropa – telah kehilangan daya saing yang signifikan dibandingkan dengan Cina,” katanya kepada DW. “Di Eropa, biaya produksi meningkat rata-rata 25 persen, di Cina hanya sebesar tiga persen.”
Krisis struktural
“Kami melakukan survei terhadap 1.000 pimpinan perusahaan kecil dan menengah di Prancis setiap kuartal mengenai perilaku investasi mereka – 45 persen ingin menundanya, 18 persen tidak berinvestasi sama sekali. Tren seperti ini sudah terlihat jelas pada awal tahun ini, tetapi pemilu parlemen yang lebih awal telah meningkatkan tren tersebut secara drastis,” kata Ferrand.
Survei yang dilakukan perusahaan konsultan Inggris Ernest & Young (EY) terhadap 200 pimpinan perusahaan internasional pada pertengahan November lalu juga menunjukkan, sekitar setengah dari mereka telah mengurangi atau menunda rencana investasi di Prancis. Padahal menurut EY, Prancis telah menjadi negara Eropa yang paling banyak menarik investasi internasional sejak tahun 2019.
Philippe Druon, pengacara kebangkrutan di firma hukum Paris Hogan Lovells, juga membenarkan sikap menahan diri para investor. “Saat ini sangat sulit menemukan pembeli bagi perusahaan-perusahaan yang sedang dalam proses kebangkrutan. Saat ini saya punya 60 kasus yang sedang dalam pengerjaan, dan ini merupakan jumlah yang sangat besar,” katanya kepada DW. “Jumlah kebangkrutan mendekati jumlah krisis keuangan internasional tahun 2008.” Menurut perkiraan, sekitar 65.000 perusahaan diperkirakan akan mengajukan kebangkrutan tahun ini – dibandingkan dengan sekitar 56.000 tahun lalu.
“Ini juga merupakan efek mengejar ketinggalan – perusahaan sekarang harus membayar kembali pinjaman yang diberikan selama pandemi Corona – tetapi tidak hanya itu,” kata Philippe Druon. “Ini juga merupakan krisis struktural, misalnya di sektor otomotif dengan peralihan ke mobil listrik, tetapi juga di sektor real estate, di mana permintaan perkantoran berkurang setelah ada kerja dari rumah.” Selain itu, tingginya suku bunga di pasar modal akan membuat investasi menjadi lebih sulit untuk dibiaya.
“Sebuah kesalahan besar”
Setelah mosi tidak percaya berhasil menjatuhkan pemerintahan Barnier, anggaran dari tahun 2024 kemungkinan akan diterapkan untuk tahun depan. “Tetapi anggaran itu yang meningkatkan defisit anggaran kita sampai lebih dari enam persen,” kata Anne-Sophie Alsif, ekonom kepala di firma konsultan BDO.
“Keputusan Macron untuk membubarkan parlemen adalah kesalahan besar – sekarang Prancis hanya bisa diperintah dengan membentuk pemerintahan koalisi, tapi itu tidak pernah dilakukan di Prancis. Situasi politik kami sangat tidak stabil,” ujar Alsif. Sejak tahun 1960-an, Prancis memang tidak mengenal pemerintahan koalisi.
Christopher Dembik, penasihat investasi di perusahaan Swiss Pictet Asset Management cabang Paris, sebaliknya mengatakan, isu kebangkrutan Prancis terlalu berlebihan. “Adalah berlebihan untuk mengatakan bahwa Prancis sedang menghadapi krisis keuangan,” katanya kepada DW. “Itu berarti Prancis tidak lagi mampu membiayai kembali utangnya – seperti Yunani pada tahun 2009.”
Menurut dia, kecenderungan seperti itu belum terlihat di pasar keuangan: “Manajer dana investasi Amerika mengatakan kepada saya bahwa mereka telah lama memperhitungkan risiko politik dalam perhitungan mereka, dan spread – yaitu perbedaan suku bunga pada obligasi pemerintah 10 tahun dibandingkan dengan Jerman – sekitar 80 poin, Perancis hanya membayar bunga 0,8 poin persen lebih banyak dibandingkan Jerman.
Namun, ekonom Dennis Ferrand kurang yakin bahwa negaranya tidak akan terjerumus ke dalam krisis keuangan. “Sejauh ini, Prancis selalu mengandalkan fakta, negaranya ‘terlalu besar untuk gagal’, yaitu terlalu besar bagi negara-negara Eropa lainnya untuk membiarkannya bangkrut,” katanya. “Tetapi Brussels perlahan-lahan kehilangan kesabaran terhadap ketidakmampuan Prancis mengurangi utangnya.” Utang Prancis sekarang sudah lebih tinggi dari produk domestik brutonya.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman