Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Apa Itu Presidential Threshold? Ditetapkan Sejak 2004 Kini Dihapus MK, 4 Mahasiswa Jadi Penggugat

Apa Itu Presidential Threshold? Ditetapkan Sejak 2004 Kini Dihapus MK, 4 Mahasiswa Jadi Penggugat

TRIBUNJATIM.COM – Mahkamah Agung (MK) menghapus ketentuan presidential threshold, Kamis (2/1/2025).

Keputusan ini ditetapkan dalam sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Hal ini akan mempengaruhi proses pencalonan presiden dan wakilnya di Pemilihan Umum (Pemilu).

Komisi II DPR RI pun menyambut baik keputusan ini.

Lantas, apa sebenarnya presidential threshold ini?

Informasi berita menarik lainnya di Google News TribunJatim.com

Apa itu presidential threshold?

Dalam pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung di Indonesia dikenal istilah ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Menurut Kompaspedia, presidential threshold adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau persentase raihan suara bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Aturan ini mulai diterapkan Indonesia sejak Pemilu 2024.

Saat itu untuk pertama kalinya Indonesia melaksanakan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung.

Aturan presidential threshold pencalonan presiden mengalami beberapa perubahan ketentuan.

Pelaksanaan pilpres secara langsung tersebut merupakan hasil Reformasi melalui amandemen ketiga UUD 1945, yakni Pasal 6A ayat 1, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”

Selain itu, amandemen UUD 1945 (terutama amandemen ketiga dan keempat), juga menetapkan beberapa kriteria pemilihan presiden dan wakil presiden. Antara lain waktu pelaksanaan, peserta pemilihan, syarat pengusulan, hingga penetapan pasangan calon (paslon) terpilih.

Dalam Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu.

Aturan itu menyatakan hanya partai politik dan gabungan partai politik peserta pemilu yang dapat mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden. Peran partai politik dan gabungan partai politik dalam mengusulkan paslon presiden dan wakil presiden tersebut berikutnya diatur dalam UU yang menghasilkan istilah syarat ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold.

Dalam Pasal 5 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR.

Aturan tentang presidential threshold kembali diubah menjelang Pilpres 2009. Dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 disebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif.

Aturan ambang batas pencalonan presiden pada Pilpres 2014 tetap sama seperti pada Pilpres 2009.

Lantas pada Pilpres 2019, aturan presidential threshold kembali berubah. Dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Pada pilpres 2004, 2009, dan 2014, patokan yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pileg yang dilaksanakan sebelumnya sebagai presidential threshold. Pada ketiga gelaran pilpres itu, pemilu dilaksanakan beberapa bulan sebelum pilpres.

Sedangkan pada Pilpres 2019, ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR periode sebelumnya. Hal ini karena pelaksaan pilpres dan pemilu legislatif dilaksanakan serentak pada April 2019.

Dihapus MK pada 2024

Presidential threshold kemudian dihapus Mahkamah Agung pada Kamis (2/1/2025).

Ketentuan ini sebelumnya sempat digugat oleh empat mahasiswa dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mereka adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, danTsalis Khorul Fatna.

Mereka melakukan uji materi Pasal 222 UU Pemilu 7/2017 ini dengan petitum agar pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 karena melanggar batasan open legal policy dalam hal moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.

Keempat mahasiswa ini mengubah putusan MK dalam uji materi presidential threshold yang telah diajukan kurang lebih sebanyak 36 kali oleh para aktivis pemilu.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan.

“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” imbuhnya.

Komisi II segera menindaklanjuti keputusan MK

Komisi II DPR bakal segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold

Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga Komisi II menghormati dan wajib menindaklanjutinya.

“Apapun itu, MK putusannya adalah final and binding, karena itu kita hormati dan berkewajiban menindaklanjutinya,” ujar Rifqi kepada Kompas.com, Kamis (2/12/2025).

Rifqi menjelaskan, pemerintah dan DPR akan menindaklanjuti putusan MK ini dalam pembentukan norma baru pada undang-undang terkait dengan persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden.

Politikus Partai Nasdem ini menilai, putusan MK itu merupakan babak baru bagi demokrasi konstitusional Indonesia.

“Di mana peluang untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka,” ujar Rifqi.

Diberitakan sebelumnya, MK menghapus presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 tentang Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

Salah satu alasannya, ambang batas pencalonan presiden dinilai membatasi pilihan rakyat untuk memilih calon pemimpin.

Sebab, dengan presidential threshold, tidak semua warga negara bisa mencalonkan diri.

“Hal ini berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden dan wakil presiden,” kata Saldi.

Selain itu, MK berpandangan, presidential threshold berpotensi melahirkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Padahal, pemilu yang hanya diikuti dua pasangan calon bisa membelah masyarakat, menciptakan polarisasi, dan mengancam kebinekaan Indonesia.

Lewat putusan ini, MK menegaskan bahwa semua partai politik berhal mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

MK lantas meminta DPR dan pemerintah sebagai pembentuk undang-undang mekukan rekayasa konstitusi dengan memperhatikan ketentuan dalam revisi Undang-Undang Pemilu 7/2017.

MK meminta pembentuk undang-undang memperhatikan pengusulan pasangan capres-cawapres tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi DPR atau perolehan suara sah nasional.

—–

Berita Jatim dan berita viral lainnya.