Alokasi Utang Negara Sebaiknya Jadi Insentif Daya Beli Kelas Menengah

Alokasi Utang Negara Sebaiknya Jadi Insentif Daya Beli Kelas Menengah

Jakarta, Beritasatu.com – Pengamat menilai bahwa penambahan utang negara sebaiknya diarahkan untuk memperkuat daya beli masyarakat. Meski pemerintah telah meluncurkan lima paket stimulus selama Juni dan Juli 2025, tetapi upaya peningkatan daya beli masih perlu ditingkatkan.

Pengamat Ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE Indonesia) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, utang yang ditarik pemerintah pada pertengahan tahun ini seharusnya bisa memperluas ruang fiskal untuk menggelontorkan stimulus lanjutan.

“Kami berharap dengan penambahan utang baru ini, pemerintah tetap memberikan stimulus serupa di bulan-bulan berikutnya, khususnya yang langsung menyentuh daya beli masyarakat seperti bantuan sosial atau subsidi listrik,” ujar Yusuf kepada Beritasatu.com, Jumat (4/7/2025).

Ia mencontohkan, subsidi listrik merupakan salah satu bentuk bantuan yang terbukti efektif menjaga konsumsi rumah tangga, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Meski wacana pemberian diskon tarif listrik sempat muncul pada Juni dan Juli, program tersebut batal direalisasikan.

“Padahal menurut kami, diskon tarif listrik sangat bermanfaat bagi masyarakat kelas menengah ke bawah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Yusuf menekankan bahwa bila pemerintah memutuskan menambah utang, maka alokasi anggaran idealnya diarahkan pada kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan kelompok rentan. Evaluasi terhadap cakupan penerima stimulus juga perlu diperhatikan agar program yang diberikan lebih tepat sasaran.

“Bukan hanya melanjutkan kebijakan lama, tetapi juga memastikan siapa yang benar-benar membutuhkan dan mendapatkan manfaat dari stimulus tersebut,” katanya.

Pada sisi lain, Yusuf menilai kondisi penerimaan negara yang rendah sementara belanja program cukup agresif menjadi alasan logis bagi pemerintah untuk kembali menambah utang. Program-program, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), rumah subsidi, hingga Koperasi Desa Merah Putih tentu membutuhkan dana besar.

“Memang pemerintah membutuhkan pembiayaan tambahan karena penerimaan belum optimal, sementara harus menjalankan kebijakan fiskal yang sifatnya counter-cyclical,” ujarnya.

Kebijakan fiskal counter-cyclical yang dimaksud, kata Yusuf, adalah penggunaan anggaran untuk mendorong ekonomi di saat pendapatan negara lemah, salah satunya karena rasio pajak nasional yang stagnan.

“Kalau kita lihat dari sisi waktu, cukup sulit berharap rasio pajak naik secara signifikan dalam setahun. Selama lima hingga sepuluh tahun terakhir, rasio pajak masih stagnan, bahkan belum mencapai 12% dari PDB,” tambah Yusuf.

Ia menyimpulkan bahwa selama rasio pajak belum meningkat, dan di tengah ketidakpastian ekonomi global serta perlambatan ekonomi domestik, utang masih akan menjadi motor utama penggerak ekonomi.

“Bukan tidak mungkin, di akhir tahun atau awal tahun depan, Presiden Trump kembali menerapkan kebijakan proteksionisme, dan itu akan berdampak buruk bagi negara berkembang seperti Indonesia,” tutupnya.