PIKIRAN RAKYAT – Kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur yang melibatkan mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (FWLS), mengejutkan publik.
Kejahatan ini terbongkar berkat kerja sama antara Polri dan Polisi Federal Australia (AFP). Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolres Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), diduga melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak dan satu orang dewasa.
Tidak hanya itu, dia juga merekam dan menyebarluaskan video kekerasan seksual tersebut ke situs pornografi anak di dark web.
Kasus ini bermula dari temuan Polisi Australia yang menemukan video kekerasan seksual terhadap seorang anak berusia enam tahun yang diunggah dari Kupang, ibu kota NTT. Polisi Australia kemudian meneruskan informasi ini kepada Polri, yang langsung melakukan penyelidikan.
“Tim AFP menggunakan berbagai metodologi dan teknologi untuk mengidentifikasi korban dan bekerja sama dengan lembaga penegak hukum di Indonesia,” kata juru bicara AFP.
Hasil penyelidikan mengarah ke Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, yang diduga memesan anak tersebut melalui seorang wanita berinisial F. F dibayar Rp3 juta untuk membawa korban ke hotel yang telah dipesan FWLS pada Juni 2024.
Kronologi Kejahatan
Menurut Direktur Reserse Kriminal Polda NTT, Kombes Pol. Patar Silalahi, korban utama dalam kasus ini adalah seorang anak berusia enam tahun. Namun, penyelidikan lebih lanjut mengungkap ada tiga korban anak di bawah umur lainnya, yakni berusia 13 dan 16 tahun, serta seorang dewasa berusia 20 tahun.
Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja diduga merekam aksi kejahatannya dan mengunggahnya ke situs pornografi anak.
“Tersangka juga merekam dan menyebarluaskan video asusilanya,” ucap Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Karo Penmas Divisi Humas Polri.
Kronologi kejahatan ini dimulai ketika Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja memesan anak melalui aplikasi MiChat, yang dikenal sebagai platform prostitusi daring. Wanita berinisial F, yang menjadi perantara, membawa korban ke hotel di Kupang.
Di sana, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja melakukan pelecehan seksual dan merekam aksinya. Bukti kuat ditemukan di hotel tersebut, termasuk fotokopi Surat Izin Mengemudi (SIM) milik Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.
“Tidak terbantahkan lagi, adanya fotokopi SIM di resepsionis hotel tersebut, atas nama FWSL,” ujar Patar Silalahi.
Tindakan Hukum dan Keterlibatan Polisi Australia
Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Bareskrim Polri. Dia terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan UU No. 1 Tahun 2024 tentang ITE.
Selain itu, Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja juga menghadapi komite etik internal kepolisian dan terancam diberhentikan dari institusi Polri.
Peran Polisi Australia atau AFP dalam mengungkap kasus ini pun sangat krusial.
“Tim AFP menggunakan berbagai metodologi dan teknologi untuk mengidentifikasi korban dan bekerja sama dengan lembaga penegak hukum di Indonesia,” kata juru bicara AFP.
Mereka juga menyelamatkan korban dari bahaya lebih lanjut. Polisi Australia menekankan pentingnya kemitraan internasional dalam menangani kejahatan transnasional, terutama yang melibatkan eksploitasi anak.
Dampak dan Reaksi Publik
Kasus ini menimbulkan gelombang kecaman dari berbagai pihak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengutuk keras tindakan FWLS, yang seharusnya melindungi masyarakat, justru menjadi pelaku kejahatan.
“Ini adalah pelanggaran serius terhadap kode etik kepolisian dan hak asasi manusia,” ucap perwakilan KPAI.
Anggota Komisi VIII DPR, Selly Andriany Gantina juga menyerukan proses hukum yang transparan dan akuntabel.
“Proses hukum yang mendesak dan transparan sangat dibutuhkan agar keadilan bagi korban dapat terwujud,” ujarnya.
Selly Andriany Gantina juga mendorong pemerintah untuk memperkuat perlindungan anak di Indonesia.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News