Akhir Kisah Tumini Tinggali Ponten di Surabaya, Tak Lagi Bisa Berharap pada Lembaran Rp 2.000 dari Warga
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Nasib seseorang bisa berubah dalam sehari. Itulah yang dirasakan perempuan berusia 47 tahun bernama
Tumini
.
Sejak sebuah akun mengunggah video
ponten
umum yang dia kelola selama belasan tahun viral, dia mendapat kritik keras karena menggunakan ponten umum sebagai tempat tinggal.
Sepanjang hari, dia lebih banyak menghabiskan waktu di bangunan 4×3 meter itu.
Hanya duduk di pelataran ponten yang bertangga, menikmati hembusan angin dari rimbunnya pohon angsana.
Bangunannya masih kokoh, atapnya terbuat dari besi tebal antibocor, tiang penyangga juga berbahan besi. Hanya saja, catnya yang pudar dan lusuh karena banyak debu yang menempel.
Di samping pintu, ada kaca yang dipasang. Sementara itu, satu sisi dinding menghitam bekas api kompor yang menempel sehingga nampak kotor.
Tempat ini hanya berjarak lima meter dari rel kereta api yang berangkat dari Stasiun
Wonokromo
Surabaya
, seberangnya.
Baginya, deru mesin dan suara roda gigi yang berputar justru membuatnya lebih tenang.
“Saya tuh gak pernah jalan-jalan, kalau banyak pikiran, pasti ke sini, jadi merasa tenang meskipun ya duduk-duduk saja,” kata Tumini, Jumat (4/7/2025).
Pemasukannya menyambung hidup dari lembar demi lembar nominal Rp 2.000 yang dibayar oleh warga yang menggunakan ponten umum ini.
Ponten
umum tetapi yang menggunakan diminta bayar, inilah yang membuat sebagian orang geram padanya.
Menurut Tumini, 15 tahun lalu, Perum Jasa Tirta membangun ponten di atas lahan Taman Lumumba agar warga tak sembarang buang air di Sungai Jagir yang akan dikelola menjadi air bersih. Karena dulunya tempat ini kawasan kumuh.
Suaminya, Manan yang saat itu bekerja sebagai hansip dipercaya Jasa Tirta untuk menjaga ponten. Kemudian, terjadi perjanjian Tumini dengan Perum Jasa Tirta.
Ada biaya sewa yang dibayar Tumini setiap tahunnya sebesar Rp 1 juta sebagai bentuk pengamanan lahan agar tidak diakui dan dibuat bangunan lain.
Tiga tahun berselang, 2013, suaminya berpulang dan dia melanjutkan mengelola ponten umum ini bersama ibunya, Taspiyah (72).
Selama belasan tahun, dia memasang dan membayar listrik dan pompa air secara mandiri.
Itulah yang menjadikan alasan dia menyewakan ponten umum bagi siapa saja yang menggunakan.
“Meskipun hasilnya tidak seberapa, tapi ada pemasukan sedikit-sedikit. Kalau kita beli sesuatu dari kerja sendiri tanpa minta ke anak itu lebih lega,” ungkapnya.
Bekerja hanya dengan menyewakan ponten umum untuk warga cukup buat makan sehari-hari. Dia kadang harus memutar uang dan menutup utang tagihan listrik-pompa air.
“Tapi kalau sudah tanggal 20 mumet kepalanya karena waktunya bayar tagihan, jadi nyari-nyari, kadang utang. Uang ponten ini ya cukup buat makan saja, yang penting bisa muter,” kata Tumini.
Terkadang, dia juga dibantu oleh tetangganya yang sehari-hari bekerja sebagai pengamen untuk membantu mengecat tembok ponten atau kalau ada yang rusak.
“Kalau ada perbaikan dibantu tetangga, dia biasanya ngamen. Baik banget orangnya, kadang bantu ngecat dinding yang tinggi, dikasih rokok gitu mau aja,” ucap perempuan asal Jombang ini.
Namun, karena belakangan pontennya semakin sepi, akhirnya ia membuka warung kopi sederhana di pelataran ponten untuk menambah pemasukan. Kompor dan lemari pun tiba-tiba memenuhi.
Supaya perabotnya tak dicuri, ibunya, Taspiyah kadang malam hari tidur di sini untuk menjaga karena ponten dibangun secara terbuka, tanpa pintu utama.
Namun, langkah ini justru yang membuatnya terusir.
Fasilitas umum, tetaplah fasilitas umum, tidak boleh diperuntukkan untuk tempat tinggal.
Pihak kelurahan, kecamatan dan Pemerintah Kota Surabaya tegas melarang memanfaatkan fasum sebagai hunian dan pengguna tidak perlu membayar.
Akhirnya, dia harus membawa pulang seluruh perabotnya dan mencari pekerjaan lain. Namun, dia mengaku legawa.
“Padahal sebelum ramai-ramai (viral) saya mau ngecat ponten jadi warna putih biar kelihatan bersih. Tapi ya mau gimana lagi,” kata Tumini.
Dia dijanjikan pemerintah setempat dengan ganti gerobak untuk usaha. Gerobak itu belum sampai ke tangannya, tetapi dia sudah berangan-angan untuk menjual gorengan.
“Bisa nanti jual gorengan, karena kalau di depan rumah sepertinya ramai. Banyak orang yang nyari kalau pagi-pagi. Kalau jual di pinggir jalan, saya takut digusur Satpol PP,” ucap Tumini.
Saat ditanya mengapa tak mencari pekerjaan lain, Tumini pasrah cenderung menolak. Alasannya, lapangan pekerjaan semakin sempit, anaknya beberapa kali mengalami PHK.
“Lagian juga siapa yang menerima kerja sama orang yang sudah tua seperti ini,” katanya.
Dia juga mengaku selama ini tidak pernah mendapat bantuan sosial dari pemerintah selain saat pandemi Covid-19. “Semoga saja ada bantuan dan gerobaknya jadi,” ucap Tumini.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/07/04/6867ecb0a6de0.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)