agama: Katolik

  • 4
                    
                        Kata Kardinal Suharyo soal Kemungkinan Terpilih Jadi Paus di Konklaf
                        Nasional

    4 Kata Kardinal Suharyo soal Kemungkinan Terpilih Jadi Paus di Konklaf Nasional

    Kata Kardinal Suharyo soal Kemungkinan Terpilih Jadi Paus di Konklaf
    Editor
    KOMPAS.com
    – Kardinal asal Indonesia, Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo, menanggapi secara rendah hati kemungkinan dirinya terpilih sebagai Paus dalam konklaf yang dimulai pada Rabu (7/5/2025).
    Dalam pemilihan tertutup tersebut, para kardinal dari seluruh dunia akan berkumpul untuk memilih pemimpin baru Gereja Katolik sekaligus Kepala Negara Vatikan.
    Menurut Duta Besar RI untuk Vatikan
    Trias Kuncahyono
    , Kardinal Suharyo tidak menganggap peluangnya besar untuk terpilih.
    Suharyo diceritakan menanggapi pertanyaan soal kemungkinan itu dengan senyuman dan candaan ringan.
    “Kardinal Indonesia, mewakili Indonesia, mewakili Asia, tertawa dan kemudian, ‘Ya peluang saya nol koma nol persen’ itu gimana itu,” ujar Trias, dikutip dari tayangan video Kompas.id, Rabu.
    Sambil menceritakan itu, Trias tertawa dengan jawaban rendah hati dari Kardinal Suharyo, yang videonya bisa disaksikan
    di sini

    Trias juga menceritakan bagaimana Suharyo menunjukkan sikap kebersamaan dan solidaritas dalam proses konklaf.
    Apa pun hasil pemilihan, semua kardinal telah bersepakat untuk mendukung siapa pun yang terpilih, termasuk jika kardinal asal Afrika yang terpilih. 
    “Jawaban Bapak Kardinal bagus, ‘Kami para kardinal sudah bersepakat, siapa pun kita harus dukung dan harus
    support
    , kita setuju dan
    support
    ‘,” lanjut Trias.
    Diketahui, konflaf akan dimulai pada Rabu (7/5/2025).
    Proses konklaf yang berlangsung tertutup akan dimulai pukul 16.30 waktu setempat atau 21.30 WIB.
    Setiap kardinal atau lektor yang mengikuti prosesi konklaf akan mulai memberikan suara untuk paus baru.
    Trias menuturkan,
    pemilihan paus
    bisa saja berlangsung lebih dari satu putaran.
    “Karena yang 2013 lima putaran, dua hari lima putaran,” kata Trias.
    Selain tahun 2013, dalam pemilihan paus pada 2005, prosesnya juga berlangsung selama dua hari dengan empat putaran pemilihan. 
    Pada konklaf 2005, Paus Benediktus XVI terpilih sebagai pemimpin Gereja Katolik menggantikan Paus Yohanes Paulus II, sedangkan konklaf 2013 menghasilkan terpilihnya
    Paus Fransiskus
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10 Kardinal Potensi Jadi Kandidat Terkuat Paus: Ada yang dari Filipina, Kongo, Yerusalem  – Halaman all

    10 Kardinal Potensi Jadi Kandidat Terkuat Paus: Ada yang dari Filipina, Kongo, Yerusalem  – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Siapa saja tokoh pemuka agama Katolik yang akan menjadi Paus baru?

    Diketahui beberapa Kardinal disebut menjadi kandidat Paus baru dalam konklaf.

    Mereka ada yang berasal dari Filipina, Kongo, Italia, bahkan Yerusalem.

    Lantas, berikut 10 Kardinal yang mungkin menjadi kandidat Paus:

    1. Kardinal Peter Erdo, Uskup Agung Budapest, Hungaria

    Kardinal Peter Erdo, seorang ahli hukum yang menurut laporan berusia 72 tahun.

    Dirinya pemimpin Katolik dengan jabatan tertinggi di Hongaria.

    2. Kardinal Fridolin Ambongo, Uskup Agung Kinshasa, Republik Demokratik Kongo 

    Kardinal Fridolin Ambongo, merupakan presiden Simposium Konferensi Episkopal Afrika dan Madagaskar, dilansir CBS News.

    Jika terpilih, ia akan menjadi orang Afrika pertama yang dipilih untuk memimpin Gereja Katolik dalam lebih dari 1.500 tahun. 

    3. Kardinal Mario Grech, sekretaris jenderal Sinode Uskup

    Kardinal Mario Grech, berusia 68 tahun, adalah seorang ahli hukum yang memiliki pengaruh besar terhadap cara sinode di gereja dijalankan. 

    Grech berasal dari Malta, yang merupakan salah satu negara terkecil di dunia. 

    Kardinal Pietro Parolin (70), adalah orang kedua di Vatikan dan seorang diplomat karier yang secara konsisten bangkit mengatasi segala turbulensi yang menandai masa kepausan. 

    Ia dianggap sebagai seorang moderat yang, jika terpilih, dapat memperbaiki keretakan di dalam gereja. Ia juga dianggap sebagai seorang progresif dengan visi global. 

    5. Kardinal Pierbattista Pizzaballa, Patriark Latin Yerusalem 

    Kardinal Pierbattista Pizzaballa (60), adalah seorang kandidat pastoral yang telah berbicara di tengah perang Israel-Hamas dan mengunjungi Gaza selama konflik tersebut. 

    Ia adalah pendukung keadilan sosial dan memandang dirinya sebagai pelayan rakyat. 

    6. Kardinal Luis Tagle dari Filipina

    Kardinal Luis Tagle (67), dikenal sebagai “Fransiskus Asia” karena semangat misionarisnya serta penekanannya pada kepedulian terhadap kaum miskin dan penerimaan terhadap kaum LGBTQ serta umat Katolik yang bercerai dan menikah lagi.

    Ia adalah mantan uskup agung Manila, Filipina. 

    7. Kardinal Matteo Zuppi, Uskup Agung Bologna, Italia 

    Kardinal Matteo Zuppi (69) adalah presiden konferensi para uskup Italia.

    Paus Fransiskus pernah memilih Zuppi sebagai utusannya ke Rusia dan Ukraina, serta ke Tepi Barat dan Beijing, untuk memajukan perdamaian.  

    8. Kardinal Anders Arborelius, Uskup Agung Stockholm 

    Kardinal Anders Arborelius (75) adalah kardinal pertama dari Skandinavia. 

    Ia juga seorang tradisionalis pada ajaran gereja tentang etika seksual dan gender, dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap lingkungan. 

    9. Kardinal Gerald Cyprien Lacroix dari Quebec

    Kardinal Gérald Cyprien Lacroix, Uskup Agung Metropolitan Quebec, Kanada (67) tahun. 

    Sebelumnya dalam kariernya, ia menghabiskan waktu bertahun-tahun sebagai misionaris dan profesor seminari di Kolombia. 

    10. Kardinal Peter Turkson dari Ghana

    Kardinal Peter Turkson (76) dari Ghana akan menjadi paus Afrika kontemporer pertama di Gereja Katolik jika terpilih.

    Dirinya menentang kriminalisasi hubungan homoseksual di Afrika, termasuk di negara asalnya.

    Konklaf Paus Baru 

    Diketahui proses pemilihan paus baru atau konklaf akan dilakukan pada Rabu (7/5/2025) hari ini.

    Konklaf akan berlangsung di Kapel Sistina Vatikan.

    Pemilihan Paus baru akan berjalan dalam prosesi rahasia, lokasi juga akan ditutup untuk pengunjung selama hari-hari.

    Konklaf untuk memilih Paus ke-267 ini dilakukan usai berakhirnya Misa Novemdiales untuk berdoa bagi ketenangan abadi mendiang Paus Fransiskus, dilansir Vatican News.

    (Tribunnews.com/Garudea Prabawati)

  • Kenangan Keteladanan Sri Paus Fransiskus dari Umat

    Kenangan Keteladanan Sri Paus Fransiskus dari Umat

    Liputan6.com, Yogyakarta – Pemilihan Paus baru akan dimulai pada tanggal 7 Mei 2025 setelah meninggalnya Sri Paus Fransiskus pada Senin, 21 April 2025. Dicky Sofjan, Dosen Program Doktor Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (SPs UGM) yang pernah bertemu dengan Sri Paus Fransiskus pada pertengahan tahun 2024 saat menghadiri konferensi oleh organisasi Focolare, sebuah gerakan sosial keagamaan yang berbasis di bawah naungan Vatikan memberikan kenangannya. “Satu hal yang paling membekas dari beliau menurut saya adalah kepedulian dan keterbukaannya terhadap komunitas di luar Katolik, khususnya terhadap umat Muslim,” kata Dicky di Kampus UGM, Jumat 25 April 2025.

    Menurutnya Sri Paus Fransiskus selalu memiliki keinginan yang tulus untuk membangun jembatan antara komunitas Katolik dan Muslim. Terbukti dari kunjungannya ke berbagai negara mayoritas Muslim seperti di Timur Tengah, Afrika Utara, Asia, dan termasuk Indonesia yang ia kunjungi tahun lalu.

    Dicky juga memberikan catatan soal dokumen persaudaraan (Fraternity Document) yang ditandatangani oleh Paus Fransiskus dan Grand Syaikh dari Al-Azhar, Mesir, pada tahun 2019. Dokumen tersebut menjadi simbol penting dalam membangun kerja sama lintas agama. “Bagi saya ini merupakan lompatan teologis yang besar. Sri Paus Fransiskus juga mengakui bahwa keselamatan tidak hanya eksklusif untuk umat Katolik, tapi juga bisa diraih oleh umat agama lain,” ujarnya.

    Dicky juga menyoroti intensitas kepedulian seorang pemimpin spiritual yang sesungguhnya dari Sri Paus Fransiskus. Keberpihakan Sri Paus Fransiskus terhadap kaum miskin dan tertindas, termasuk apa yang terjadi dengan masyarakat Palestina sangat membekas di hati Dicky. Sri Paus Fransiskus secara konsisten mengecam agresi Israel dan selalu membela rakyat Palestina. “Ia bahkan rutin menelepon pemimpin Katolik di Gaza selama perang untuk memastikan kondisi komunitas di sana apakah aman,” kenangnya.

    Terpisah, Margareta Rosemary, alumnus Prodi Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA UGM) dan Mahasiswa Magister Teknik Sistem Energi Terbarukan UGM mengenang akan kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada September 2024. Ia masih ingat karena menjadi salah satu dari puluhan ribu umat yang beruntung dapat menghadiri misa akbar di Gelora Bung Karno, Jakarta, dan sempat mendapatkan rosario langsung dari Sri Paus Fransiskus.

    “Saat mendengar berita duka dari Vatikan, saya tergerak membuat tanda salib. Rasa duka tentu ada, namun juga kelegaan. Dalam iman Katolik kami percaya bahwa hidup hanya diubah, bukan dilenyapkan. Kematian menjadi pintu masuk menuju sukacita abadi bersama Bapa di Surga dan para kudusNya,” katanya.

    Menurut Margareta, kehadiran Sri Paus Fransiskus telah membawa pesan perdamaian, kesederhanaan, dan cinta kasih sebagai nilai-nilai yang selalu diperjuangkan sepanjang hidupnya. Paus Fransiskus juga dikenang sebagai pemimpin yang peduli pada kelestarian bumi.

    Salah satu warisan pemikirannya tertuang dalam ensiklik Laudato Si’, yang ia tulis sebagai “Surat cinta” bagi seluruh umat manusia, mengajak semua orang untuk menjaga keutuhan ciptaan. Ensiklik ini menginspirasi banyak orang, termasuk Margareta, untuk mengubah gaya hidup mereka. “Saya membuat eco-enzim di kos, bersepeda ke kampus, makan sampai habis, punya barang secukupnya, dan membuat konten seputar lingkungan. Semua itu berawal dari inspirasi Bapa Suci,” ujarnya.

    Bagi banyak umat Katolik seperti Margareta, Sri Paus Fransiskus bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga teladan hidup. Kesederhanaan hidup yang ditunjukkan Sri Paus Fransiskus tak hanya tampak dalam ajarannya, tetapi juga dalam wasiat terakhirnya yang meminta makamnya dibuat sederhana di tanah, tanpa hiasan khusus, hanya bertuliskan “Franciscus”. Lagi-lagi, kata Margareta, keutamaan ini juga dihidupi sampai akhir. “Tugasnya di dunia sudah selesai, kini menjadi pendoa bagi kami yang masih berziarah di dunia ini. Terima kasih Paus Fransiskus, teladanmu akan terus kami hidupi dalam peziarahan ini,” ujar Margareta.

  • Profil Luis Antonio Tagle: Sang “Fransiskus Asia”, Calon Kuat Paus

    Profil Luis Antonio Tagle: Sang “Fransiskus Asia”, Calon Kuat Paus

    Jakarta, CNBC Indonesia – Para kardinal dunia akan mengadakan konklaf untuk memilih Paus, Rabu (7/5/2025). Salah satu figur yang mencuat untuk menduduki posisi tertinggi Gereja Katolik Roma itu adalah Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina.

    Mengutip The Guardian, sebetulnya Kardinal Tagle tidak memiliki ambisi yang tinggi untuk menjadi Paus. Ia bahkan tertawa ketika ditanya pada tahun 2015 apakah ia pernah mempertimbangkan bahwa ia mungkin suatu hari nanti akan menjadi Paus.

    “Saya membuat pengakuan publik di sini. Saya bahkan tidak bisa mengatur hidup saya. Bagaimana saya bisa membayangkan sebuah komunitas di seluruh dunia?” tuturnya.

    Meskipun tanggapannya terkesan merendah, kardinal Filipina tersebut termasuk di antara mereka yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Paus Fransiskus. Jika diangkat, ia akan menjadi Paus pertama dari Asia.

    Tagle, yang dipanggil dengan nama panggilan “Chito,” telah digambarkan sebagai “Fransiskus Asia”, karena pandangannya yang progresif dan gaya hidupnya yang sederhana.

    Ia sebelumnya mengkritik sikap “keras” terhadap ibu tunggal, dan orang-orang yang gay, serta perceraian. Sebagai uskup Imus, sebuah kota dekat Manila, ia naik jeepney, minivan umum murah, dan mengundang orang miskin untuk makan bersamanya.

    Dikenal sebagai orang yang mudah didekati dan bersahaja, Tagle juga penggemar menyanyi dan menari. Video-videonya di Tiktok telah dibagikan secara luas, membuatnya mendapat persetujuan dari banyak orang di Filipina, di mana karaoke praktis menjadi kegemaran nasional, dan sekitarnya.

    “Saat berpidato dan memberikan ceramah, dia bukan pendeta formal yang biasa. Dia bernyanyi. Dia orang Filipina. Dia pastor karaoke,” kata Michael Xiao Chua, seorang sejarawan di Universitas De La Salle. “Tagle memiliki gaya yang tidak biasa, dan seperti bintang rock setelah misa.”

    Masa Kecil dan Kontroversi

    Tagle, 67 tahun, lahir di Imus, dekat wilayah ibu kota Metro Manila, dari orang tua Katolik yang bekerja di bank. Semasa kecil, Tagle dikabarkan ingin menjadi dokter, tetapi masuk gereja setelah seorang pendeta menipunya agar mendaftar ke seminari di Kota Quezon.

    Ia memperoleh gelar doktor di Universitas Katolik Amerika dan menjadi Uskup Imus dan, kemudian, Uskup Agung Manila. Ia diangkat menjadi kardinal oleh Paus Benediktus XVI pada tahun 2012.

    “Beliau (berasal) dari keluarga yang sangat sederhana. Tidak miskin tetapi tidak kaya,” kata Mary John Mananzan, seorang biarawati misionaris Benediktin yang telah mengenal Tagle selama beberapa dekade.

    Namun, kenaikannya ke jajaran atas gereja Katolik bukannya tanpa kontroversi. Tagle menjabat sebagai presiden Caritas Internationalis dari tahun 2015 hingga 2022 ketika tim kepemimpinan dicopot karena kekhawatiran atas kesalahan manajemen. Saat itu, Tagle  mengatakan keputusan itu tidak terkait dengan tuduhan pelecehan seksual atau kesalahan manajemen uang.

    Pada Maret ini, sebuah kelompok penyintas, Survivors Network of those Abused by Priests, menyerukan penyelidikan terhadap Tagle, dan lima kardinal lainnya, terkait dengan penanganan kasus dugaan pelecehan anak oleh Caritas Internationalis di Selandia Baru dan Republik Afrika Tengah. Tagle belum mengomentari seruan tersebut.

    Para pegiat mengatakan Tagle belum bekerja cukup keras untuk mengatasi pelecehan seksual di gereja. Anne Barrett Doyle, salah satu direktur BishopAccountability.org, mengatakan minggu lalu bahwa gereja di Filipina berada dalam “zaman kegelapan” dalam masalah ini, dan bahwa pedoman dalam menangani tuduhan belum dipublikasikan di situs web keuskupan agung Manila atau Konferensi Waligereja Filipina.

    “Jika Kardinal Tagle bahkan tidak bisa membuat rekan-rekan uskupnya di negara asalnya untuk menerbitkan pedoman. Apa yang bisa kita harapkan darinya sebagai paus gereja global?” ujar Doyle.

    Di Filipina, Tagle juga dituduh lamban dalam mengutuk apa yang disebut sebagai perang melawan narkoba yang digagas mantan presiden Filipina Rodrigo Duterte. Sebanyak 30.000 orang tewas dalam tindakan keras tersebut, yang dimulai setelah Duterte menjabat pada bulan Juni 2016.

    Banyak korban adalah pemuda, yang ditembak mati di jalan. Kemudian, pada tahun 2017, Tagle menulis surat pastoral yang mengkritik pembunuhan tersebut

    “Kita tidak dapat memerintah negara dengan membunuh. Kita tidak dapat menumbuhkan budaya Filipina yang manusiawi dan bermartabat dengan membunuh,” tuturnya.

    Perang melawan narkoba yang digagas Duterte menandai babak sulit bagi gereja Katolik di Filipina. Beberapa pastor mengambil risiko melakukan pembalasan dengan mengkritik pembunuhan tersebut, dan meskipun ada kemarahan internasional atas pembunuhan tersebut, Duterte tetap sangat populer di kalangan penduduk yang mayoritas beragama Katolik.

    Tagle menentang pengesahan RUU Kesehatan Reproduksi di Filipina, yang menawarkan alat kontrasepsi gratis dan informasi tentang keluarga berencana. Ia juga menentang hak aborsi.

    (tps)

  • 133 Kardinal Berada di Vatikan Menjelang Konklaf Paus

    133 Kardinal Berada di Vatikan Menjelang Konklaf Paus

    Vatican City

    Para kardinal dari berbagai negara mulai bergerak ke akomodasi di Vatikan pada Selasa (6/5), yang akan menjadi tempat tinggal mereka selama konklaf atau proses pemilihan Paus yang baru berlangsung. Konklaf yang merupakan pertemuan rahasia yang bersejarah akan dimulai pada Rabu (7/5) besok.

    Setelah Paus Fransiskus meninggal pada 21 April, seperti dilansir AFP, Selasa (6/5/2025), sebanyak 133 kardinal yang menjadi elektor dalam konklaf akan berkumpul di Kapel Sistina pada Rabu (7/5) untuk proses pemilihan Paus yang baru, yang bisa berlangsung selama berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan berbulan-bulan.

    Para kardinal biasanya tinggal di wisma tamu Santa Marta milik Vatikan, yang memiliki kamar mandi dalam dan layanan kamar bergaya hotel. Namun tidak ada cukup kamar untuk semua kardinal yang hadir.

    Dengan para kardinal yang hadir itu berasal dari 70 negara yang ada di lima benua yang berbeda, konklaf tahun ini merupakan yang terbesar — dan paling internasional — yang pernah digelar.

    Oleh karena itu, beberapa kardinal akan ditempatkan di Santa Marta Vecchia, sebuah bangunan di sebelah wisma tamu Santa Marta yang biasanya digunakan untuk akomodasi para pejabat Vatikan.

    Mereka akan dapat mengakses kamar mereka — yang ditentukan dengan undian — antara hari Selasa (6/5) hingga misa pagi digelar pada Rabu (7/5) besok, sebelum konklaf dimulai.

    Vatikan telah mengumumkan pada Senin (5/5) malam bahwa mereka akan memutus sinyal telepon di negara kota kecil itu mulai Rabu (7/5) siang, pukul 15.00 waktu setempat, hingga Paus yang baru terpilih.

    Simak berita selengkapnya di halaman berikutnya.

    Para kardinal, yang diwajibkan meninggalkan ponsel mereka saat proses pemungutan suara dimulai, akan memberi tahu dunia tentang kemajuan proses konklaf dengan membakar surat suara mereka untuk menghasilkan asap yang akan keluar dari cerobong asap di Kapel Sistina.

    Kepulan asap hitam menandai belum ada keputusan, sedangkan kepulan asap putih mengonfirmasi terpilihnya sang Paus yang baru.

    Para staf di Vatikan yang akan mendukung para kardinal selama konklaf, mulai dari petugas medis hingga operator lift, petugas di kantin dan staf kebersihan, juga terikat pada kerahasiaan. Mereka telah diambil sumpahnya secara terpisah pada Senin (5/5) waktu setempat.

    Baik Fransiskus maupun pendahulunya, Benediktus XVI, sama-sama terpilih dalam waktu dua hari. Namun pemilihan Paus paling lama dalam sejarah Gereja Katolik berlangsung selama 1.006 hari, dari tahun 1268 hingga tahun 1271.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Jelang Konklaf Paus, Kapel Sistina Dimodif Jadi ‘Bunker Rahasia’

    Jelang Konklaf Paus, Kapel Sistina Dimodif Jadi ‘Bunker Rahasia’

    Jakarta

    Vatikan bersiap memilih pengganti Paus Fransiskus. Berbagai macam teknologi pun digunakan untuk mencegah kebocoran pemungutan suara kepausan yang sangat dirahasiakan.

    Sidang konklaf dimulai Rabu besok waktu setempat, sekitar 16 hari setelah kematian Paus. Di Sistine Chapel atau Kapel Sistina di Vatikan, 135 kardinal dari seluruh dunia akan memberi suara untuk menentukan siapa yang mengambil alih kepemimpinan Gereja Katolik. Berikut berbagai macam persiapan yang digelar, dikutip detikINET dari Euro News, Selasa (6/5/2025)

    1. Anti drone dan blokir sinyal

    Saat pemakaman Paus Fransiskus, dilaporkan bahwa otoritas Italia memiliki bazoka anti drone untuk melumpuhkan drone yang mungkin muncul di atas Vatikan. Terindikasi bahwa perangkat itu dipadukan dengan teknologi seperti sistem jamming untuk mengganggu frekuensi dan komunikasi telepon.

    Dalam pengumuman terbaru, pemerintah Vatikan mengatakan semua sistem transmisi sinyal telekomunikasi untuk telepon seluler yang ada di wilayah Negara Kota Vatikan akan dinonaktifkan mulai pukul 15.00 sore pada tanggal 7 Mei.

    “Sinyal akan dipulihkan setelah pengumuman pemilihan Paus tertinggi,” kata mereka. Namun, penonaktifan sinyal tersebut tidak akan mencakup Lapangan Santo Petrus.

    2. Teknologi pencegah kebocoran informasi

    Meskipun beberapa persiapan keamanan bersifat rahasia, kita dapat menengok apa yang dilakukan otoritas kepausan tahun 2013, saat Jorge Mario Bergoglio terpilih sebagai Paus Fransiskus. Kapel Sistina akan jadi semacam bunker rahasia dengan keamanan super ketat.

    Sebuah laporan Reuters tahun 2013 mengatakan para pekerja memasang lantai palsu di atas ubin di Sistine Chapel dengan pengacau elektronik untuk memblokir sinyal apapun yang keluar dari sana.

    Pejabat Vatikan juga menyisir kapel dan wisma tamu tempat para kardinal menginap dengan pemindai anti penyadapan untuk memastikan tak ada mikrofon tersembunyi. Laporan surat kabar Italia La Stampa saat itu menyebut sebuah sistem juga dipasang di sekitar kapel untuk memblokir sinyal penyadap.

    Sistem itu adalah semacam layar atau wadah logam yang menghalangi radiasi elektrostatik atau elektromagnetik apapun agar tidak masuk dari bagian luar.

    Di 1996, Paus Yohanes Paulus II menetapkan aturan untuk melakukan pemeriksaan cermat oleh individu yang dapat dipercaya, untuk memastikan tidak ada peralatan audiovisual yang dipasang diam-diam untuk merekam dan mentransmisikan informasi keluar.

    3. Sumpah kerahasiaan

    Strategi antikebocoran lainnya adalah beberapa sumpah harus diambil oleh mereka yang terlibat. Staf, pejabat, dan konklaf harus menyatakan beberapa hari sebelum konklaf bahwa mereka tidak menggunakan pemancar atau penerima atau peralatan fotografi apa pun bahkan setelah pemilihan paus baru, kecuali diberi izin khusus.

    Mereka berjanji menjaga kerahasiaan yang cermat mengenai segala sesuatu yang dibahas dalam pertemuan para kardinal, baik sebelum atau selama konklaf dan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilihan Paus.

    Selama konklaf, tak diperbolehkan mengirim surat, tulisan, atau apapun yang dicetak ke sesama kardinal maupun ke luar. Para anggota konklaf juga tak punya akses ke media selama diskusi. Siapa pun yang melanggar berbagai sumpah tersebut akan langsung dikucilkan Takhta Suci.

    Mengambil sumpah tidak berarti bahwa informasi tentang proses tersebut tidak bocor. Contohnya pada tahun 2005, seorang kardinal Jerman membocorkan pemilihan Joseph Ratzinger sebagai paus kepada media Jerman.

    (fyk/fay)

  • Kisah tiga Paus dari Afrika mengubah Kekristenan dan memberi Hari Valentine – Halaman all

    Kisah tiga Paus dari Afrika mengubah Kekristenan dan memberi Hari Valentine – Halaman all

    Afrika Utara saat ini didominasi umat Islam. Tapi kawasan ini dulunya adalah ‘jantung’ agama Kristen yang telah melahirkan sejumlah Paus. Warisan mereka dapat dirasakan oleh jemaat Gereja hingga hari ini.

    Wilayah kepausan mereka, yang berlangsung pada masa Kekaisaran Romawi, mencakup Tunisia modern, timur laut Aljazair, hingga pantai Libia barat.

    “Afrika Utara adalah Sabuk Alkitab Kekristenan kuno,” kata Prof Christopher Bellitto, seorang sejarawan Kean University di AS.

    Setelah Paus Fransiskus wafat, banyak umat Katolik di Afrika berharap Paus selanjutnya akan kembali berasal dari benua itu untuk pertama kalinya semenjak lebih dari 1.500 tahun yang lalu.

    Melalui artikel ini, kita akan berjumpa dengan tiga Paus dari Afrika – dan bagaimana mereka membuat umat Kristen merayakan Minggu Paskah dan Hari Valentine.

    Ketiganya telah diakui Gereja sebagai santo alias orang kudus.

    Victor I (189-199)

    Dianggap berasal dari Berber (penduduk asli Afrika Utara), Paus Victor I memimpin Gereja Katolik pada saat pengikut Yesus Kristus dipersekusi oleh para pejabat Romawi karena menolak menyembah dewa-dewa Romawi.

    Dia mungkin paling dikenal atas perannya dalam memastikan orang Kristen merayakan Paskah pada hari Minggu.

    Pada abad ke-2, beberapa kelompok Kristen dari Provinsi Romawi Asia (di Turki modern) merayakan Paskah pada hari yang sama saat orang Yahudi merayakan Paskah Yahudi [Passover, untuk merayakan pembebasan orang Yahudi dari perbudakan di Mesir].

    Namun, umat Kristen di bagian barat Kekaisaran Romawi percaya bahwa Yesus Kristus dibangkitkan pada hari Minggu sehingga Paskah harus selalu dirayakan pada hari itu.

    Perdebatan tentang kapan kebangkitan Yesus Kristus terjadi membuat masalah ini sangat kontroversial.

    “Kontroversi Paskah” adalah simbol dari konflik yang lebih besar antara umat Kristen Timur dan Barat, dan apakah orang Kristen harus mengikuti praktik orang Yahudi atau tidak.

    Victor I mengadakan Sinode Romawi pertama atau pertemuan para pemimpin Gereja—untuk menyelesaikan kebuntuan tersebut.

    Dia mengancam para uskup akan diasingkan dari Gereja jika menolak mematuhi keinginannya.

    “Dia bersuara tegas untuk membuat semua orang benar-benar punya pemahaman yang sama dengannya,” kata Prof Bellitto kepada BBC.

    Ini adalah karakter yang mengesankan, kata sejarawan itu, karena “dia adalah Uskup Roma ketika Kekristenan masih dianggap bertentangan dengan hukum di kekaisaran Romawi.”

    Warisan penting lainnya dari Victor I adalah dia memperkenalkan bahasa Latin sebagai bahasa umum Gereja Katolik. Sebelumnya, bahasa Yunani Kuno adalah bahasa utama untuk Liturgi Katolik dan komunikasi resmi Gereja.

    Victor I sendiri menulis dan berbicara dalam bahasa Latin yang saat itu digunakan secara luas di Afrika Utara.

    Miltiades (311-314)

    Paus Miltiades diyakini lahir di Afrika.

    Selama masa kepausannya, kekristenan semakin diterima oleh para kaisar Romawi dan akhirnya menjadi agama resmi Kekaisaran.

    Sebelumnya, persekusi terhadap umat Kristen berlangsung pada berbagai momen dalam sejarah Kekaisaran.

    Meski begitu, Prof Bellitto menunjukkan bahwa Miltiades tidak berperan atas perubahan ini. Dia mengatakan Paus adalah “penerima kebaikan hati Romawi” ketimbang negosiator yang hebat.

     

    Miltiades diberi sebuah istana oleh Kaisar Romawi Konstantinus, dan menjadi paus pertama yang punya kediaman resmi.

    Dia juga diberi izin oleh Konstantinus untuk membangun Basilika Lateran yang sekarang tercatat sebagai gereja publik tertua di Roma.

    Walau Paus modern tinggal dan bekerja di Vatikan, Gereja Lateran kadang-kadang disebut dalam Katolik sebagai “induk dari semua gereja”.

    Gelasius I (492-496)

    Gelasius I adalah satu-satunya di antara tiga paus Afrika yang menurut para sejarawan tidak lahir di Afrika.

    “Ada sumber mengenai dia… lahir di Roma. Jadi kami tidak tahu apakah dia [pernah] tinggal di Afrika Utara, tetapi tampaknya jelas bahwa dia adalah keturunan Afrika Utara,” jelas Prof Bellitto.

    Dia adalah sosok yang paling penting di antara tiga pemimpin umat Kristen asal Afrika, menurut Prof Bellitto.

    Gelasius I secara luas diakui sebagai Paus pertama yang secara resmi disebut “Vikaris Kristus”, sebuah istilah yang menandakan peran Paus sebagai wakil Kristus di Bumi.

    Dia juga mengembangkan Doktrin Dua Pedang, yang menekankan kekuasaan Gereja dan negara yang terpisah tetapi setara.

    Gelasius I juga membuat perbedaan tegas bahwa kedua kekuasaan diberikan kepada Gereja oleh Tuhan. Gereja kemudian mendelegasikan kekuasaan duniawi kepada negara. Inilah yang membuat Gereja pada akhirnya lebih unggul.

    “Setelahnya, pada Abad Pertengahan, Paus kadang-kadang mencoba memveto pemilihan kaisar atau raja, karena mereka mengatakan Tuhan memberi kekuasaan itu kepada mereka,” kata Prof Bellitto.

    Gelasius I juga dikenang karena tanggapannya terhadap Skisma Akasia—perpecahan antara Gereja Kristen Timur dan Barat yang berlangsung dari tahun 484 hingga 519.

    Selama periode ini, Gelasius I menegaskan supremasi Roma dan kepausan atas seluruh Gereja, baik Timur maupun Barat, yang diyakini para ahli melangkah terlalu jauh daripada pendahulunya.

    Gelasius juga bertanggung jawab atas perayaan populer yang masih dirayakan banyak orang sampai sekarang, yaitu perayaan Hari Valentine pada tanggal 14 Februari tahun 496 untuk memperingati Santo Valentine.

    Beberapa catatan mengatakan Valentine adalah seorang pendeta yang terus melakukan pernikahan secara rahasia meski dilarang oleh Kaisar Claudius II.

    Sejarawan percaya bahwa Hari Valentine berakar pada festival cinta dan kesuburan Romawi, Lupercalia, dan merupakan langkah Gelasius I untuk mengkristenkan tradisi pagan.

    Seperti apa wajah paus asal Afrika?

    Prof Bellitto mengatakan tidak ada cara untuk mengetahui, dengan tingkat akurasi apa pun, seperti apa wajah ketiga paus itu.

    “Kita harus ingat bahwa Kekaisaran Romawi, dan memang Abad Pertengahan, tidak memikirkan ras seperti yang kita pikirkan saat ini. Itu tidak ada hubungannya dengan warna kulit,” katanya kepada BBC.

    “Orang-orang di Kekaisaran Romawi tidak ada bermasalah dengan ras, tapi mereka peduli dengan etnisitas.”

    Prof Philomena Mwaura, seorang akademisi di Universitas Kenyatta Kenya, mengatakan kepada BBC bahwa Afrika di bawah kekuasaan Romawi sangat multikultural. Kelompok Berber dan Punic, budak-budak yang telah merdeka, hingga orang-orang dari Roma berdatangan ke Afrika.

    “Komunitas Afrika Utara cukup beragam, dan itu juga merupakan rute perdagangan bagi banyak orang yang terlibat dalam perdagangan di zaman kuno sebelumnya,” jelasnya.

    Alih-alih mengidentifikasi diri dengan kelompok etnis tertentu, “kebanyakan orang yang berasal dari daerah dalam Kekaisaran Romawi menganggap diri mereka sebagai Romawi,” tambah Prof Mwaura.

    Mengapa tidak ada lagi Paus dari Afrika?

    Tak satu pun dari 217 Paus sejak Gelasius I yang diyakini berasal dari Afrika.

    “Gereja di Afrika Utara dilemahkan oleh banyak kekuatan, termasuk jatuhnya Kekaisaran Romawi dan juga serbuan Muslim [ke Afrika Utara] pada abad ke-7,” kata Prof Mwaura.

    Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa hadirnya Islam di Afrika Utara tidak bisa menjelaskan kenapa tidak ada Paus dari kawasan tersebut selama lebih dari 1.500 tahun.

    Prof Bellitto mengatakan proses pemilihan Paus baru menjadi “monopoli Italia” selama bertahun-tahun.

    Namun, dia mengatakan ada kemungkinan besar seorang Paus dari Asia atau Afrika akan terpilih dalam waktu dekat karena jumlah umat Katolik di belahan bumi selatan jauh lebih besar daripada mereka yang tinggal di belahan utara.

    Faktanya, agama Katolik berkembang lebih cepat di Afrika sub-Sahara saat ini daripada di tempat lain.

    Angka terbaru menunjukkan ada 281 juta umat Katolik di Afrika pada tahun 2023. Ini menyumbang 20?ri jemaat di seluruh dunia.

    Tiga orang Afrika menjadi kandidat untuk menggantikan Paus Fransiskus—Fridolin Ambongo Begungu dari Republik Demokratik Kongo, Peter Kodwo Appiah Turkson dari Ghana, dan Robert Sarah dari Guinea.

    Tetapi Prof Mwaura berpendapat bahwa “meskipun Kekristenan sangat kuat di Afrika, kekuatan Gereja masih di utara, karena mereka memiliki sumber daya.”

  • Top 3 Tekno: Cara Kerja Worldcoin, Terlihat Menjanjikan tapi Rawan Masalah Privasi – Page 3

    Top 3 Tekno: Cara Kerja Worldcoin, Terlihat Menjanjikan tapi Rawan Masalah Privasi – Page 3

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali memancing kontroversi publik. Kali ini, aksinya yang memanfaatkan teknologi AI ternyata memantik sejumlah sentimen negatif.

    Dikutip dari CNN, Senin (5/5/2025), baru-baru ini, Donald Trump sempat mengunggah hasil rekayasa AI yang menampilkan dirinya sebagai Paus, lengkap dengan jubah putih dan mitra kepausan.

    Gambar itu pun diunggah ke Truth Social dan kemudian dibagikan ulang oleh akun resmi Gedung Putih di X yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Tak disangka, unggahan itu pun langsung mendapatkan kritik sejumlah pihak.

    Beberapa di antaranya menyebut unggahan itu bukan lelucon dan tidak sensitif, mengingat saat ini umat Katolik tengah menantikan Paus baru, usai meninggalnya Paus Fransiskus.

    Salah satu yang menyuarakan kecaman terhadap unggahan Donald Trump adalah Kardinal Pablo Virgilio David dari Filipina. Lewat unggahannya di Facebook, ia menyebut kalau unggahan Presiden AS yang tampil layaknya Paus itu tidak lucu.

    Selain itu, ada pastor Gerald Murray dari Keuskupan Agung New York yang menilai unggahan itu sebagai hal konyol serta tidak pantas dilakukan.

    Lalu, perwakilan para uskup Katolik di negara bagian New York juga menyuarakan kritiknya. Pernyataan itu pun diunggah lewat platform X.

    Baca selengkapnya di sini 

  • Jelang Pemilihan Paus Baru, Demam Konklaf Landa Pengguna Medsos

    Jelang Pemilihan Paus Baru, Demam Konklaf Landa Pengguna Medsos

    Vatican City

    Kehebohan sedang menyelimuti media sosial menjelang dimulainya proses konklaf untuk memilih Paus yang baru, sepeninggal mendiang Paus Fransiskus. Netizen di berbagai jejaring sosial ramai-ramai membahas soal tradisi rahasia Gereja Katolik yang telah berlangsung selama berabad-abad tersebut.

    Pembahasan soal konklaf juga marak di kalangan pengguna medsos di Amerika Serikat (AS). Bahkan Presiden Donald Trump, pada Sabtu (3/5) waktu setempat, mengunggah gambar yang tampaknya dibuat oleh AI yang memperlihatkan dirinya mengenakan jubah Kepausan dan duduk di singgasana, dengan satu jari mengarah ke atas.

    Gambar yang mencolok itu menjadi yang paling terkenal di antara ribuan gambar yang muncul sejak berpulangnya Paus Fransiskus pada 21 April lalu, dan menjelang pertemuan para kardinal Gereja Katolik dari berbagai negara mulai Rabu (7/5) besok di Vatikan.

    Menurut platform pemantauan Visibrain, seperti dilansir AFP, Selasa (6/5/2025), lebih dari 1,3 juta tweet telah dipublikasikan di media sosial X, yang dulu bernama Twitter, membahas soal konklaf.

    Sedangkan di platform TikTok, video-video soal konklaf telah ditonton lebih dari 363 juta kali dengan jangkauan tak tertandingi tercatat di kalangan anak muda.

    Para pengamat Paus yang sangat bersemangat bahkan memainkan permainan online bernama “Mantapa” untuk memilih kardinal favorit mereka, dan membuat prediksi untuk Paus berikutnya. Permainan itu memiliki gaya mirip dengan taruhan olahraga.

    Melihat fenomena ini, peneliti ilmu informasi dan komunikasi, Refka Payssan, menilai misteri, kemegahan, dan ritual seputar konklaf — mulai dari Kapel Sistina yang megah hingga asap hitam atau putih yang menandakan hasil pemungutan suara yang diikuti para kardinal — “cocok untuk format naratif jejaring sosial”.

    ‘Lihat juga Video: 133 Kardinal Sudah Tiba di Vatikan Bersiap Gelar Konklaf’

    Laporte menilai “kaum muda suka berspekulasi” tentang hasil yang akan terjadi.

    “Setiap orang di jejaring sosial punya pendapat dan setiap orang ingin mengartikan berita, mencari petunjuk, ingin mengetahui kardinal mana yang akan menjadi Paus. Ini hampir seperti ‘escape game’,” sebutnya.

    Payssan menekankan bahwa konklaf memicu “rasa ingin tahu melihat sejarah terjadi secara langsung”, yang menandai peristiwa langka — pertama dalam 12 tahun — dengan konsekuensi global yang potensial.

    Meskipun mereka bukan penganut Katolik, sebut Laporte, “kaum muda sangat menyadari pengaruh Paus terhadap ratusan juta orang, bahkan miliaran orang, baik dalam pendiriannya tentang kontrasepsi maupun soal lingkungan”.

    Terlepas dari itu, demam konklaf yang melanda medsos dinilai sebagai cerminan keberhasilan Vatikan dalam beralih ke komunikasi digital dalam beberapa tahun terakhir untuk membangun ikatan dengan generasi muda.

    Akun X resmi kepausan, @pontifex, yang dibuat oleh Benediktus XVI tahun 2012 namun lebih banyak digunakan oleh mendiang Paus Fransiskus, kini memiliki 50 juta follower dan memposting pesan-pesan dalam sembilan bahasa.

    ‘Lihat juga Video: 133 Kardinal Sudah Tiba di Vatikan Bersiap Gelar Konklaf’

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Mobil Paus Jadi Klinik Kesehatan Keliling untuk Anak-anak Gaza

    Mobil Paus Jadi Klinik Kesehatan Keliling untuk Anak-anak Gaza

    Jakarta

    Salah satu popemobiles atau mobil kepausan Paus Fransiskus akan kembali digunakan sebagai klinik kesehatan keliling untuk anak-anak di Gaza, sesuai dengan keinginan terakhir mendiang Paus.

    Mobil kepausan adalah kendaraan yang digunakan para pemimpin Gereja Katolik dalam kunjungan kepausan ke berbagai negara dan wilayah.

    ‘Intervensi nyata yang menyelamatkan nyawa’ – Caritas

    Layanan media Vatikan, Vatican News, melaporkan bahwa Paus Fransiskus, yang wafat bulan lalu, mempercayakan proyek ini kepada organisasi bantuan Katolik, Caritas Yerusalem, beberapa bulan sebelum ia wafat.

    “Ini adalah intervensi nyata yang menyelamatkan nyawa di saat sistem kesehatan di Gaza hampir lumpuh sepenuhnya,” kata Peter Brune, Sekretaris Jenderal Caritas Swedia, yang mendukung proyek tersebut, kepada Vatican News.

    Ini adalah kendaraan yang sama yang digunakan oleh Fransiskus dalam perjalanannya ke Holy Land pada tahun 2014. Kendaraan tersebut akan dilengkapi dengan peralatan untuk diagnosis, pemeriksaan medis dan perawatan, menurut laporan Vatican News pada hari Minggu (4/5).

    Kendaraan itu akan dikelola oleh dokter dan petugas medis. Mereka akan ditugaskan untuk menjangkau anak-anak di daerah-daerah terpencil di Gaza.

    Anak-anak Gaza ‘tidak dilupakan’

    “Ini bukan sekadar kendaraan,” tambah Brune. “Ini adalah sebuah pesan bahwa dunia tidak melupakan anak-anak di Gaza.”

    Paus Fransiskus vokal mendukung perdamaian di Gaza dan mengecam aksi pengeboman terhadap anak-anak di wilayah Palestina, serta turut menyerukan diakhirinya pertikaian.

    Sejak perang di Gaza dimulai pada tahun 2023, Paus Fransiskus secara rutin menelepon warga Palestina yang berlindung di sebuah paroki Katolik kecil di Kota Gaza.

    Minggu ini, para kardinal Katolik akan memulai konklaf tertutup untuk pemilihan paus baru.

    Artikel Ini Pertama Kali Terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Yuniman Farid

    ‘Lihat juga Video: Mobil Paus Fransiskus Akan Jadi Klinik Keliling Anak-anak di Gaza’

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini