Selain itu, di platform X, netizen banyak yang memberikan reaksi beragam, namun Tirta menilai bahwa kebijakan ini terbukti efektif di kalangan masyarakat bawah atau akar rumput.
“Netizen 0 : 1 KDM,” ucapnya menggambarkan bahwa kebijakan tersebut berhasil meresap ke kalangan masyarakat.
Tirta juga mencatat adanya fenomena bahwa masyarakat kini hidup dalam ruang gema sendiri, di mana respons terhadap kebijakan semacam ini seringkali terbentuk berdasarkan tren media sosial dan persepsi pribadi yang terbentuk di dalamnya.
“Ternyata kita hidup dalam ruang gema sendiri,” tandasnya.
Sementara itu, Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa kebijakan pengiriman sejumlah siswa ke barak militer bukan bertujuan untuk memberikan pelatihan militer, melainkan sebagai sarana pembinaan karakter, kesehatan mental, dan kebugaran fisik.
Menurut Dedi, para peserta yang menjadi prioritas dalam program tersebut adalah siswa dengan perilaku bermasalah.
Mereka di antaranya terlibat tawuran, gemar mengonsumsi minuman keras, kecanduan permainan ponsel seperti Mobile Legend hingga lupa waktu, sering membolos, melakukan pengancaman, serta membangkang terhadap orang tua.
Siswa-siswa tersebut akan mengikuti program pembinaan selama enam bulan hingga satu tahun, tergantung kebutuhan.
Meski ditempatkan di barak militer atau kepolisian, Dedi menegaskan proses belajar mengajar tetap berlangsung sebagaimana mestinya.
“Mereka tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar, gurunya mengajar di sekolah, cuma bedanya mereka melaksanakan kegiatan itu di area kompleks militer atau Polri,” kata Dedi pada Selasa (29/4/2025).
