Ada Lima Risiko Korupsi Sistematis dalam Program MBG

Ada Lima Risiko Korupsi Sistematis dalam Program MBG

PIKIRAN RAKYAT – Transparency International Indonesia (TII) merilis laporan yang menyoroti risiko korupsi sistematis dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Dalam laporannya itu, TII mengidentifikasi lima risiko korupsi sistematis dalam program MBG. 

Pertama, ketiadaan regulasi pelaksana. Hingga pertengahan 2025, MBG masih dijalankan hanya dengan petunjuk teknis internal. Tidak adanya Peraturan Presiden membuat pelaksanaan program tidak memiliki pijakan hukum yang cukup, serta mengaburkan mandat koordinasi lintas sektor.

Kedua, konflik kepentingan kronis. Penunjukan mitra pelaksana Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka. 

Berdasarkan laporan TII, beberapa yayasan pengelola diketahui memiliki afiliasi dengan aktor politik, institusi militer dan kepolisian, serta kelompok kekuasaan tertentu. 

Sebagai contoh, polisi lalu lintas yang seharusnya bertugas menjaga keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas justru terlibat dalam distribusi MBG.  Hal ini menciptakan akses preferensial yang merusak prinsip meritokrasi dan netralitas layanan publik.

Ketiga, pengadaan barang dan jasa (PBJ) yang rawan manipulasi. TII mencatat bahwa PBJ dalam MBG tidak mengindahkan prinsip transparansi. 

Banyak aktivitas pengadaan dilakukan tanpa dokumentasi terbuka, dan tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan berbasis data. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK, sektor PBJ masih mendominasi kasus suap dan gratifikasi, dan MBG menunjukkan indikasi kuat mengarah ke sana.

Keempat, lemahnya pengawasan. Hal ini bisa membuka celah bagi praktik mark-up harga, dengan penggunaan bahan pangan berkualitas rendah atau tidak layak konsumsi. 

Salah satu preseden implementasi MBG adalah siswa keracunan makan siang. Belum lagi, terkait pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa.

Kelima, meningkatnya risiko kerugian keuangan negara. Dari hasil kajian Corruption Risk Assessment (CRA) program MBG yang menjangkau 82,9 juta penerima manfaat tanpa melakukan prioritas penerima manfaat, berisiko membebani anggaran negara. 

Kebijakan ini berpotensi mendorong pelebaran defisit anggaran hingga mencapai 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang berarti melampaui batas maksimal defisit 3% PDB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Kerugian keuangan negara ini ditaksir mencapai Rp 1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.

Peneliti TII, Agus Sarwono, mengatakan, MBG tampak menjanjikan di atas kertas, tetapi gagal memenuhi prasyarat tata kelola yang sehat.  

Tingginya kerentanan korupsi dalam program MBG menunjukkan program ini harus dimoratorium segera supaya tidak memperbesar kerugian negara,” ujarnya, Senin, 30 Juni 2025.

Menurut dia, tanpa koreksi struktural, pelaksanaan MBG dapat menjadi preseden buruk dalam penggunaan program sosial berskala nasional sebagai alat konsolidasi kekuasaan dan pemanfaatan politik anggaran.

Diperlukan audit berkala terhadap pelaksanaan program MBG, baik dari sisi kinerja maupun keuangan. Audit ini harus dilaporkan secara terbuka kepada publik, dan hasilnya dijadikan dasar perbaikan kebijakan secara periodik. (*)