FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, bicara mengenai wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan dilaksanakan melalui mekanisme Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dikatakan Bivitri, jika pilkada tidak lagi dilakukan secara langsung oleh rakyat, maka pihak yang paling dirugikan adalah pemilih itu sendiri.
“Pilkada tidak lagi langsung, siapa yang untung, siapa yang rugi? Ya pasti yang rugi kita, pemilih,” ujar Bivitri di X @BivitriS (31/12/2025).
Ia menekankan, skema pemilihan lewat DPRD hanya akan menguntungkan elite politik dan partai, sementara masyarakat semakin dipinggirkan dari proses demokrasi.
“Parpol judulnya arisan doang itu. Warga jadi cuma obyek makin parah. Mesti dilawan,” sebutnya.
Pandangan tersebut sejatinya bukan hal baru. Dalam sebuah video reels yang diunggah pada 16 Desember 2024, Bivitri sudah mengingatkan bahaya jika evaluasi demokrasi hanya dilakukan di permukaan, tanpa menyentuh akar persoalan.
“Evaluasi setelah event demokrasi itu memang selalu perlu ya. Jadi kita bisa setuju soal itu. Cuma masalahnya, waktu mengevaluasi, cara menganalisisnya bagaimana?” kata Bivitri dalam tayangan tersebut.
Ia menjelaskan, setiap persoalan politik, sosial, dan hukum memiliki lapisan, mulai dari gejala di permukaan hingga akar masalah di bagian paling dalam.
“Suatu masalah sosial atau masalah hukum, masalah politik itu akan lebih baik solusinya, lebih berkelanjutan. Kalau akar masalahnya yang kita selesaikan, bukan gejalanya,” jelasnya.
Dalam konteks pilkada, Bivitri menyebut biaya politik sebagai persoalan di lapisan tengah yang kerap disalahpahami.
