2 Bendera GAM dan Romantisme Luka Lama di Tengah Bencana Nasional

2
                    
                        Bendera GAM dan Romantisme Luka Lama di Tengah Bencana
                        Nasional

Bendera GAM dan Romantisme Luka Lama di Tengah Bencana
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
DARI
kejauhan, di antara deretan bangunan tua dan sengatan musim dingin yang mulai menggigit di desa pegunungan di Eropa, pandangan saya tetap tak bisa jauh dari Tanah Air.
Secara fisik saya memang sedang berada di jantung Eropa, tapi radar akademik dan batin saya sebagai seorang pengamat sosiologi politik nyatanya tidak bisa berpaling dari kabar-kabar yang datang dari Tanah Air. Dan kali ini, kabar tersebut datang dari Serambi Mekkah.
Kabar tersebut bukan sekadar tentang air yang merendam pemukiman di Aceh Tamiang atau korban-korbannya yang sebagian tidak terlalu tersentuh oleh bantuan Jakarta, tapi tentang kemunculan kembali simbol yang seharusnya sudah masuk ke dalam kotak sejarah, yakni bendera Bulan Bintang atau bendera
GAM
.
Munculnya bendera ini di tengah situasi bencana banjir Aceh baru-baru ini, bukan hanya menarik perhatian saya sebagai peneliti, tetapi juga memicu kegelisahan mendalam saya sebagai warga negara Indonesia mengenai masa depan integrasi nasional.
Hari ini, Aceh bukan sekadar sedang dirundung duka akibat terjangan banjir besar, tapi juga sedang dibalut badai kekecewaan yang sangat dalam.
Di balik laporan-laporan birokrasi yang mencoba menenangkan suasana, realitas di lapangan menunjukkan pemandangan yang kurang mengenakkan.
Ribuan warga masih bertahan di pengungsian dengan logistik yang kian menipis, anak-anak ada yang terserang penyakit kulit dan pernapasan, serta infrastruktur sebagian besar masih lumpuh.
Namun hari ini, kekhawatiran tersebut menjadi berlipat karena kembalinya simbol-simbol perlawanan masa lalu di tengah keputusasaan warga korban bencana dan saudara-saudara sedaerahnya yang merasa miris melihat situasi di Aceh.
Sangat jelas bahwa fenomena ini bukanlah sekadar gangguan ketertiban umum yang bisa diselesaikan dengan tindakan represif ala aparat, melainkan sinyal sosio-politik yang sangat serius, merepresentasikan potensi kembalinya keretakan relasi antara Jakarta dan Aceh pasca-perjanjian Helsinki.
Penanganan bencana banjir di Aceh ternyata ikut membuka kotak pandora yang selama dua dekade terakhir terus diperjuangankan sekuat tenaga untuk tetap tertutup.
Sejatinya, ketika air mulai menenggelamkan, bahkan memorakmorandakan pemukiman, yang dinantikan oleh rakyat Aceh adalah uluran tangan negara yang responsif dan super-sigap.
Namun, yang mereka dapatkan justru retorika ketangguhan dan kemandirian yang kurang “pas” disampaikan di saat perut mereka sedang lapar.
Diakui atau tidak, berbagai masalah dalam penanganan bencana juga berakar pada keengganan pemerintah pusat untuk menetapkan bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional. Padahal, skala kerusakan sudah melampaui kemampuan fiskal dan logistik daerah.
Walhasil, narasi bahwa “pemerintah masih mampu” yang terkesan terlalu pede justru menjadi tembok penghalang bagi bantuan kemanusiaan global yang dikabarkan sudah mengantre untuk masuk, tapi terhalang oleh gengsi politik berlebihan.
Sehingga hal tersebut mau tak mau melahirkan ironi tersendiri berupa penolakan terhadap skema bantuan
Government to Government.
Lihat saja bagaimana niat baik dari negara tetangga seperti Malaysia yang ingin mengirimkan tim medis terganjal ego birokrasi yang menganggap bantuan tersebut sebagai ancaman terhadap kedaulatan Nasional.
Padahal, bagi warga yang kehilangan tempat tinggal di pedalaman Aceh Utara, harga diri bangsa bukanlah pada penolakan bantuan, melainkan pada kemampuan negara di dalam memastikan keselamatan warganya.
Ketika bantuan dari Uni Emirat Arab atau pasokan medis dari organisasi internasional harus masuk melalui jalur non-pemerintah, bahkan boleh jadi secara sembunyi-sembunyi, yang kita saksikan kemudian dari sisi lain adalah kesan negara yang lebih mencintai citra nasionalisme ketimbang nyawa rakyatnya sendiri.
Situasi ini juga semakin pelik jika kita melihat realitas Otonomi Khusus (Otsus), misalnya. Jakarta boleh saja merasa telah memberikan “segalanya” melalui dana Otsus berjumlah triliunan rupiah. Namun secara sosiologis, kebijakan tersebut masih jauh dari adil dan memuaskan.
Secara ekonomi, Aceh masih tertinggal jauh dibandingkan provinsi-provinsi lain di Sumatera, seperti Sumatera Utara atau Riau.
Angka kemiskinan yang tetap tinggi di Aceh, meskipun Dana Otsus mengalir deras, menunjukkan adanya distorsi dalam distribusi kesejahteraan.
Tak pelak, ketimpangan seperti ini akan terus menciptakan api dalam sekam di Aceh.
Ketika bencana datang dan bantuan negara dirasa tidak cepat, ketimpangan itu akan menjelma menjadi kemarahan politik yang kemudian mencari saluran melalui simbol-simbol lama seperti arak-arakan bendera GAM itu.
Secara sosiologis, pengibaran bendera GAM yang kembali muncul, bahkan dilakukan oleh warga dari kalangan menengah ke bawah, dalam hemat saya, adalah komunikasi politik “putus asa” terhadap Jakarta.
Tentunya bendera tersebut tidak berkibar dalam ruang hampa, tapi lahir dari memori kolektif luka yang telah tersimpan lama di alam bawah sadar rakyat Aceh.
Ketika rakyat Aceh merasa diabaikan oleh Jakarta, yang terlihat cukup jelas di saat bencana kali ini, naluri publik di Aceh tak pelak akan kembali ke pelukan identitas lama yang dianggap jauh lebih menjanjikan penghormatan atas harga diri rakyat Aceh sendiri.
Dengan kata lain, tindakan TNI membubarkan massa yang mengarak bendera GAM boleh jadi berhasil secara fisik untuk menjaga simbol kedaulatan Indonesia.
Namun secara psikopolitik, pembubaran tersebut justru mempertegas narasi bahwa Jakarta masih menggunakan pendekatan keamanan (
security approach
), alih-alih pendekatan kemanusiaan yang lebih empatik.
Memang, kita sebagai negara bangsa juga tidak boleh menutup mata atas potensi keterlibatan aktor-aktor asing yang mungkin memanfaatkan situasi bencana kali ini.
Dalam perspektif sosiologi politik internasional, misalnya, wilayah atau daerah yang sedang bergejolak akibat bencana dan ketidakpuasan domestik, memang sering kali menjadi sasaran empuk kepentingan luar yang ingin mendorong disintegrasi demi melemahkan posisi tawar Indonesia di kawasan.
Namun, menyalahkan pihak asing sepenuhnya juga kurang tepat, justru terlihat sebagai sikap yang naif. Karena pada dasarnya, pihak asing hanya bisa masuk jika ada celah kekecewaan yang dibuka terlebih dahulu oleh pemerintah kita sendiri.
Artinya, jika Jakarta hadir secara nyata dan adil, didasari ketulusan dan rasa persaudaraan, maka sekuat apapun provokasi asing tidak akan mempan di hadapan rakyat yang merasa dicintai oleh negaranya.
Bagaimanapun, harus diakui bahwa kekecewaan ini memiliki akar sejarah yang sangat panjang. Aceh bukan “anak baru” dalam peta perlawanan terhadap Jakarta.
Sejarah mencatat bagaimana eksploitasi sumber daya alam, terutama gas alam dan minyak selama puluhan tahun, hanya menyisakan kemiskinan bagi rakyat lokal, sementara keuntungannya mengalir ke pusat.
Ketidakadilan ini kemudian diperparah oleh kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) di masa lalu, yang menyisakan trauma mendalam atas berbagai bentuk kekerasan militer.
Bagi orang Aceh, peristiwa hari ini, seperti pengulangan pola lama: Aceh hanya diingat saat sumber dayanya dibutuhkan, tapi dilupakan di saat air mata rakyatnya menetes menuntut keadilan.
Munculnya narasi pengabaian penderitaan rakyat Aceh oleh Jakarta kali ini, seolah mengonfirmasi kekhawatiran lama kita bahwa integrasi kembali ke pangkuan Indonesia setelah tsunami 2004, hanyalah janji yang manis di atas kertas.
Oleh karena itu, jika penanganan bencana tidak dipercepat, maka romantisme perlawanan dikhawatirkan akan kembali tumbuh subur.
Dengan kata lain, bendera GAM yang berkibar bukan sekadar kain, melainkan simbol bahwa kontrak sosial antara rakyat Aceh dan Republik Indonesia sedang mengalami krisis kepercayaan yang hebat.
Saya sangat yakin, bahkan super-yakin, rakyat Aceh tidak sedang berhasrat untuk berperang kembali. Mereka hanya ingin negara hadir tanpa banyak alasan birokratis bertele-tele. Sesederhana itu saja.
Pernyataan ini akan semakin krusial jika melihat situasi Aceh bukan dalam kacamata tunggal. Gejala serupa sebenarnya juga terus berdenyut di Papua Barat dan Sulawesi, misalnya.
Di Papua, isu sumber daya alam dan identitas lokal terus berseteru. Bahkan di daerah seperti Riau yang selama ini tenang, potensi kekecewaan akibat ketimpangan distribusi kekayaan alam masih sangat mungkin meledak jika pemerintah terus memelihara sikap sentralistik.
Mengapa? Karena dalam pandangan rakyat di daerah, Indonesia adalah imajinasi kolektif yang akan tetap bersatu selama semua anggotanya merasa dilindungi di satu sisi dan merasakan kenikmatan yang relatif seimbang di sisi lain.
Jika rasa memiliki itu hilang akibat pengabaian bencana, misalnya, maka fondasi kebangsaan sejatinya sedang dipertaruhkan.
Dalam hemat saya, Jakarta seharusnya arif dan bijak untuk mulai belajar bahwa stabilitas nasional tidak bisa dipaksakan dengan moncong senjata.
Stabilitas yang hakiki lahir dari keadilan distributif dan empati yang tulus. Saat bencana melanda, negara harus siap menanggalkan egonya, membuka pintu bagi bantuan internasional, dan hadir secara fisik bukan untuk menertibkan, melainkan melayani.
Penolakan bantuan luar negeri atas nama gengsi politik di saat rakyat korban bencana harus meminum air banjir, adalah kegagalan etika yang cukup fundamental.
Bagaimana mungkin negara besar merasa terancam hanya karena menerima obat-obatan dari pihak lain saat rakyatnya justru menangis, bahkan sedang meregang nyawa di pengungsian?
Pesannya sangat jelas kali ini. Jangan biarkan rakyat Aceh merasa bahwa pemisahan diri adalah satu-satunya jalan keluar. Jangan biarkan memori tentang perdamaian tertutup oleh lumpur pasca-banjir yang tidak kunjung dibersihkan.
Dan mari mulailah membangun relasi Jakarta-Aceh di atas landasan keadilan dan rasa saling menghargai.
Jika tuntutan penetapan Bencana Nasional saja terus diabaikan hanya karena alasan administratif, maka jangan salahkan jika di masa depan, narasi perlawanan kembali menjadi pembicaraan utama di kedai-kedai kupi dari Banda Aceh hingga Meulaboh. Keadilan bukan hanya soal uang, tapi soal kehadiran dan pengakuan.
Masa depan keutuhan bangsa bergantung pada sejauh mana pusat mampu mendengarkan detak jantung daerah yang sedang kesakitan.
Tak ada yang bisa membantah bahwa Aceh telah memberikan segalanya untuk republik ini, mulai dari emas untuk pesawat pertama Indonesia sampai kesabaran dalam merawat perdamaian selama 20 tahun terakhir.
Kini, saat mereka sedang tenggelam, negara tidak boleh hanya berdiri di pinggir. Jika Jakarta terus bersikap kurang responsif, maka setiap jengkal air yang merendam Aceh akan menjadi pupuk bagi kembalinya bibit-bibit separatisme lama.
Jika gagal menangani bencana di Aceh, bagaimana pun, maka akan memberikan preseden buruk bagi daerah lain.
Daerah-daerah kaya sumber daya akan mulai bertanya, “Untuk apa kami menyerahkan kekayaan kami kepada Jakarta jika saat bencana kami dibiarkan sendiri?”
Bunyi pertanyaannya boleh jadi terdengar sederhana, tapi substansinya sebenarnya adalah ancaman nyata bagi NKRI.
Karena itu, kita sebagai negara bangsa harus memahami dengan arif bahwa nasionalisme tumbuh dari rasa aman dan sejahtera. 
Pendeknya, peristiwa pengibaran bendera GAM ini harus dibaca sebagai “peringatan dini”. Karena itu, Indonesia sebaiknya tidak terjebak pada pedebatan tentang kain dan bendera, sementara akarnya adalah perut yang lapar dan hati tersakiti.
Mari belajar dari sejarah. Sejarah adalah guru terbaik, kendati sering kali memberikan ujian berat. Aceh adalah ujian bagi kematangan demokrasi Indonesia. Jika pemerintah lalai di Aceh, maka pemerintah sejatinya sedang mempertaruhkan seluruh masa depan Indonesia.
Dari desa di Eropa ini, saya hanya bisa berharap agar kearifan segera kembali ke kursi-kursi kekuasaan di Jakarta sebelum luka Aceh kembali membusuk dan merusak seluruh tubuh bangsa Indonesia.
Mulai hari ini dan selanjutnya, mari kita membayangkan Indonesia di mana setiap daerahnya merasa dihargai bukan karena apa yang bisa mereka berikan kepada Jakarta, tapi karena apa yang bisa diberikan oleh Jakarta di saat mereka jatuh dan lumpuh. Semoga!
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.