Semua Serba QRIS, tapi Tunai Tak Bisa Dihapus Sepenuhnya Megapolitan 24 Desember 2025

Semua Serba QRIS, tapi Tunai Tak Bisa Dihapus Sepenuhnya
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 Desember 2025

Semua Serba QRIS, tapi Tunai Tak Bisa Dihapus Sepenuhnya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pembayaran digital kian menjadi bagian dari keseharian masyarakat perkotaan.
Di stasiun, pusat perbelanjaan, hingga gerai makanan dan minuman, transaksi kini lebih sering berlangsung lewat pemindaian kode QR atau kartu debit.
Uang tunai perlahan tersingkir dari meja kasir, digantikan layar ponsel dan mesin pemindai kode yang dianggap lebih cepat dan praktis.
Di banyak tempat, pilihan itu tidak lagi bersifat alternatif.
Sejumlah gerai menerapkan sistem pembayaran non-tunai secara penuh, membuat
QRIS
dan kartu menjadi satu-satunya jalan untuk bertransaksi.
Bagi generasi muda yang terbiasa dengan aplikasi keuangan digital, kondisi ini mungkin tidak menimbulkan persoalan berarti.
Namun bagi kelompok lain, terutama orang tua dan lansia yang masih mengandalkan uang fisik, perubahan ini justru membuat bingung.
Situasi semacam itu tidak selalu muncul dalam konteks darurat atau kebutuhan mendesak. Kadang, ia hadir di momen yang sederhana seperti membeli makanan, minuman, atau sekadar jajan setelah bepergian.
Di tengah dorongan percepatan ekonomi digital, realitas tersebut menunjukkan bahwa transformasi sistem pembayaran belum sepenuhnya berjalan beriringan dengan kesiapan sosial.
Selama uang tunai masih menjadi alat pembayaran yang sah dan familiar bagi banyak orang, praktik
cashless only
menyisakan cerita lain tentang mereka yang tertinggal di masa transisi.
Tidak dapat dimungkiri, kehadiran QRIS membawa banyak perubahan dalam cara masyarakat bertransaksi.
Pengamat ekonomi, Tauhid Ahmad, menyebut sistem ini dirancang untuk menyederhanakan pembayaran lintas platform, mempercepat proses transaksi, dan meningkatkan keamanan.
Dalam praktiknya, QRIS dinilai mampu mengurangi berbagai risiko yang selama ini melekat pada penggunaan uang tunai.
“Ya kalau keamanan kan ada risiko ya. Kalau katakanlah ada recehan, ada uang kehilangan kalau tunai ya. Baik secara sengaja maupun tidak sengaja, QRIS itu kan mengurangi itu,” ujar Tauhid Ahmad saat dihubungi, Selasa (23/12/2025).
Selain aspek keamanan, efisiensi juga menjadi alasan kuat mengapa banyak pelaku usaha beralih ke sistem non-tunai.
Uang tunai tidak hanya berisiko salah hitung atau beredar dalam bentuk palsu, tetapi juga menimbulkan biaya tambahan dalam pengelolaannya.
“Apalagi katakanlah kita ada efisiensi, Kalau uang tunai kan ada risiko salah hitung, uang palsu dan sebagainya termasuk biaya untuk menukar,” lanjutnya.
Bagi perusahaan besar, pengelolaan uang tunai bahkan melibatkan pihak ketiga, yang tentu memerlukan biaya tambahan.
Di titik inilah pembayaran digital dianggap lebih menguntungkan, karena seluruh transaksi tercatat secara otomatis dan rapi.
Di balik geliat pembayaran digital, realitas sosial Indonesia menunjukkan bahwa tidak semua orang berada di titik kesiapan yang sama.
Uang tunai, hingga kini, masih menjadi alat pembayaran sah dan paling familiar bagi sebagian besar masyarakat.
“Tapi memang kita ini kan masa transisi. Sehingga bagi sebagian masyarakat apalagi
case
-nya banyak orang yang tidak paham digital,” kata Tauhid.
Literasi digital yang belum merata membuat sebagian kelompok kesulitan mengikuti perubahan ini.
Bukan hanya lansia, tetapi juga masyarakat yang kesehariannya tidak bergantung pada teknologi.
“Kelompok yang milenial dan sebagainya. Sangat sulit, apalagi tidak semuanya membawa
handphone
dan sebagainya yang ada di
handphone.
Nah, ini kan repot,” ujarnya.
Dalam pandangan Tauhid, solusi paling realistis saat ini bukan menolak QRIS, melainkan mengombinasikannya dengan pembayaran tunai.
QRIS dapat menjadi metode utama, tetapi uang tunai seharusnya tidak dihapus sepenuhnya.
“Tentu harus tetap menyediakan, jadi misalnya utamanya QRIS tetapi tetap menyediakan transaksi tunai,” kata dia.
Menurut dia, pelaku usaha tidak seharusnya menolak pembayaran tunai selama masih menjadi alat pembayaran yang sah. Pembatasan boleh dilakukan, tetapi bukan penghapusan total.
“Walaupun mungkin harus dibatasi sebisa mungkin begitu. QRIS tapi tidak boleh menolak kalau ada orang yang bayar tunai,” ujar Tauhid.
Karakteristik konsumen seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam menentukan sistem pembayaran.
Tempat yang mayoritas pengunjungnya anak muda mungkin lebih siap menerapkan
cashless only,
tetapi tidak demikian dengan ruang publik yang inklusif.
“Apalagi kalau konsumennya ya tadi masih banyak yang kita transisi nih. Itu butuh waktu jauh lebih lama,” kata dia.
Lokasi seperti stasiun atau fasilitas publik massal seharusnya tetap menyediakan opsi tunai karena penggunanya berasal dari berbagai latar belakang usia dan literasi digital.
“Kalau masih ada orang tua atau orang-orang yang memang tidak paham teknologi itu bisa dibelakukan untuk opsi uang tunai itu ya,” ucap Tauhid.
Sebaliknya, di tempat yang pengunjungnya lebih homogen, sistem non-tunai penuh mungkin tidak menjadi persoalan.
“Sementara kalau memang lebih sering anak muda, ya bisa cashless only. Saya kira nggak ada masalah ya. Kan dua-duanya sama-sama sah gitu, diakui oleh undang-undang dan negara jadi tidak boleh dihalangi,” kata dia.
Tauhid menilai, pertumbuhan transaksi digital memang tinggi, tetapi inklusivitas pengguna masih menjadi tantangan besar.
Banyak masyarakat yang belum memiliki rekening bank, padahal QRIS tetap terhubung dengan sistem perbankan.
“Dan kita ingat, masih banyak sekitar sekitar 50 juta orang atau berapa juta yang belum punya nomor rekening. QRIS kan ada nomor rekening,” ujar Tauhid.
Dalam jangka pendek, Tauhid menilai edukasi menjadi kunci utama. Pemerintah dan lembaga terkait perlu aktif melakukan sosialisasi agar masyarakat tidak merasa dipaksa.
“Saya kira tetap perlu edukasi oleh platform oleh OJK ya. Kemudian juga oleh Komdigi dan sebagainya termasuk oleh Bank Indonesia. Jadi enggak boleh dipaksa begitu ya,” katanya.
Selain edukasi, regulasi juga dinilai penting untuk mengamankan masa transisi.
Menurutnya, pemerintah dapat menetapkan aturan agar pelaku usaha tetap menyediakan opsi tunai, meski dalam porsi terbatas.
“Saya kira kan pilihan memang diberikan kepada pelaku usaha ya. Tetapi menurut saya di regulasi itu pelaku usaha tetap harus menyediakan tapi persentasenya lebih kecil aja,” ujarnya.
Ketika ditanya kapan Indonesia bisa sepenuhnya
cashless,
Tauhid memperkirakan prosesnya masih panjang.
“Kalau konteksnya Indonesia yang luas dan beragam masyarakatnya panjang. Lebih dari 5 tahun,” katanya.
Serupa, pengamat ekonomi, Ida Ruwaida menilai, kebijakan pembayaran non-tunai seharusnya diterapkan dengan mempertimbangkan kesiapan infrastruktur dan kondisi sosial masyarakat, bukan sekadar mengikuti arus digitalisasi.
Opsi pembayaran yang beragam dinilai lebih adil agar tidak menciptakan kelompok yang tersisih dalam aktivitas ekonomi sehari-hari.
“QRIS selayaknya tidak diberlakukan sebagai alat pembayaran tunggal, khususnya pada pelaku usaha mikro kecil, apalagi yang belum melek digital,” kata Ida.
Sementara itu, warga bernama Indah, menceritakan bahwa orangtuanya dalam keseharian masih mengandalkan uang tunai sepenuhnya.
Kebiasaan ini sudah melekat sejak lama dan menjadi rutinitas yang sulit diubah secara instan.
“Iya, masih pakai uang tunai. Dari belanja sampai jajan, namanya orangtua lebih nyaman pakai cash karena sudah terbiasa,” ujar Indah.
Meskipun orangtuanya memiliki telepon pintar, penggunaan perangkat tersebut terbatas. Ponsel lebih sering dimanfaatkan untuk komunikasi dasar daripada untuk transaksi digital.
“Punya HP, tapi pemakaiannya kan terbatas. Biasanya cuma buat telepon atau buat WA saja. Kalau untuk aplikasi pembayaran digital, mereka belum paham dan enggak terbiasa pakai,” katanya.
Indah menilai, kebijakan yang sepenuhnya mengandalkan pembayaran non-tunai belum sepenuhnya mempertimbangkan kenyamanan orang tua dan lansia.
Menurutnya, banyak masyarakat yang belum siap dipaksa menyesuaikan diri dengan sistem digital.
“Menurut saya belum sepenuhnya. Masih banyak orang tua yang belum siap, tapi seolah-olah dipaksa ikut sistem yang mereka enggak pahami,” ucap Indah.
Ia menegaskan, yang dibutuhkan orang tua bukan sekadar pendampingan teknologi, melainkan keberadaan pilihan transaksi yang adil dan fleksibel.
“Yang paling dibutuhkan tetap opsi pembayaran tunai. Bukan berarti menolak QRIS, tapi jangan sampai
cash
dihilangkan total,” kata Indah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.