Walhi: Sawit Justru Timbulkan Konflik Horizontal di Papua
Tim Redaksi
JAYAPURA, KOMPAS.com
– Organisasi gerakan lingkungan hidup, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua melontarkan kritik atas rencana Pemerintah membuka lahan sawit dengan alasan swasembada pangan dan energi.
Walhi menilai rencana tersebut hanya akan menguatkan dominasi korporasi atas lahan luas, bukan berbasis pada kebutuhan dan kearifan lokal masyarakat adat.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi
Papua
, Maikel Peuki menyebut, monokultur besar seperti
sawit
dan tebu justru mengancam keanekaragaman hayati, ekosistem hutan, dan ketahanan pangan tradisional masyarakat adat Papua.
“Kami dari
Walhi Papua
memandang bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah ini akan membawa dampak buruk terhadap kerusakan lingkungan dan ekosistem yang ada di Papua,” kata Maikel ketika ditemui di Abepura, Jumat (19/12/2025).
Selain itu, dia mengatakan, selama kehadiran
sawit di Papua
tidak pernah memberikan dampak ekonomi yang baik bagi masyarakat.
Sebaliknya, rencana ini justru menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat dengan perusahaan maupun aparat keamanan.
“Dari pantauan kami di seluruh Papua bahwa kehadiran sawit belum memberikan dampak ekonomi yang baik bagi masyarakat pemilik hak ulayat. Justru yang mereka dapatkan adalah bencana alam, banjir, longsor hingga konflik horizontal,” ujarnya.
Di samping itu, menurut Maikel, pembukaan lahan sawit akan memberikan ancaman terhadap hak adat masyarakat Papua, kelestarian hutan adat, ketahanan pangan lokal, dan keberlanjutan lingkungan.
“Kami Walhi Papua mengeluarkan pernyataan resmi yang menyuarakan kekhawatiran serius terhadap rencana pemerintah pusat dan daerah yang membuka tanah adat dan hutan Papua untuk proyek pertanian besar seperti perkebunan sawit, tebu, dan terkait program pangan atau energi.”
“Hal ini sebagai ancaman terhadap hak adat masyarakat Papua, kelestarian hutan adat, ketahanan pangan lokal, dan keberlanjutan lingkungan,” kata dia.
Maikel menilai, kebijakan Pemerintah ini pun mengabaikan Otonomi Khusus dan Pemerintahan Khusus dengan kewenangan tersendiri.
“Pemerintah harusnya menghormati Tanah Papua bukan tanah kosong. Ada pemilik adat yang berhak atas tanah dan hutan adat.”
“Pemerintah pusat dan daerah belum melibatkan masyarakat adat secara bebas dan informatif (
Free, Prior, and Informed Consent
/FPIC) sebelum mengambil keputusan,” ujar dia.
Maikel khawatir bahwa kebijakan ini dapat memicu konflik agraria, mempercepat kerusakan hutan, dan menghancurkan sistem pangan lokal yang selama ini bertumpu pada sagu, dan hasil hutan lainnya.
“Kemudian, yang menjadi catatan penting bahwa masyarakat adat tidak pernah mendapatkan manfaat baik dari perkebunan sawit.”
“Justru menyebabkan kerusakan ekologi, konflik sosial, konflik antar kelompok akan semakin tinggi di Papua,” tandas dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Walhi: Sawit Justru Timbulkan Konflik Horizontal di Papua Regional 19 Desember 2025
/data/photo/2025/12/19/694506f4eb211.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)