Jakarta, Beritasatu.com – Terjadi perubahan besar pada kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan tambang di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Para nelayan kini menghadapi sedimentasi serta pencemaran wilayah pesisir. Kondisi ini membuat area penangkapan ikan semakin jauh sehingga mereka harus melaut hingga 2–3 hari.
Hal ini diungkapkan Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kendari, Yani Taufik dalam diskusi yang digelar bersama Setara Institute, Kamis (11/12/2025).
“Di wilayah daratan, alih fungsi lahan pertanian menyebabkan luas sawah produktif merosot dari 5.000 hektare menjadi hanya 1.500 hektare, membuat banyak petani kehilangan mata pencaharian,” ujarnya dikutip dari Antara, Jumat (12/12/2025).
Yani juga menuturkan kasus ISPA, iritasi kulit, hingga paparan debu merah meningkat, terutama di sekolah-sekolah yang berada di dekat area izin usaha pertambangan (IUP).
Ia menambahkan perubahan struktur sosial akibat aktivitas pertambangan turut menggerus tradisi lokal, termasuk hilangnya praktik budaya seperti metanduale.
“Penelitian ini juga menemukan adanya pekerja anak, lemahnya standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3), serta kecelakaan kerja fatal yang tidak dilaporkan. Ketimpangan antara tenaga kerja lokal dan pekerja dari luar daerah sangat terlihat, di mana masyarakat lokal kebanyakan hanya menempati posisi buruh kasar,” katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan, mengungkapkan hampir seluruh wilayah penelitian menunjukkan adanya pencemaran air dan laut, debu tambang yang berlebihan, sedimentasi yang tidak terkontrol, serta meningkatnya masalah kesehatan masyarakat.
Ia menyampaikan berbagai fasilitas pengelolaan limbah seperti sediment pond banyak yang tidak berfungsi. Kegiatan reklamasi pascatambang juga tidak berjalan, meskipun tercantum dalam dokumen perusahaan.
“OPD dan warga setempat juga melaporkan hilangnya tutupan vegetasi yang berdampak pada kenaikan suhu mikro. DLH Konawe bahkan menemukan kandungan berbahaya dalam sampel air di sekitar kawasan smelter,” tuturnya.
Berdasarkan temuan tersebut, Halili memberikan sejumlah rekomendasi. Untuk pemerintah pusat, ia menyarankan harmonisasi kebijakan nasional melalui revisi regulasi dalam UU Minerba yang rentan disalahgunakan, penyelarasan aturan antar-kementerian, peningkatan transparansi industri ekstraktif dengan mewajibkan pengungkapan informasi minimum, serta penerapan uji tuntas HAM sesuai amanat Perpres 60/2023—yang akan digantikan oleh peraturan baru mengenai Penilaian Kepatuhan HAM untuk pelaku usaha.
Untuk pemerintah daerah, rekomendasi mencakup penguatan koordinasi pengawasan antara provinsi, kabupaten, dan masyarakat; peninjauan ulang RTRW; percepatan penetapan regulasi LP2B; evaluasi ulang izin IUP berdasarkan prinsip pertambangan yang bertanggung jawab; serta pembentukan mekanisme pengaduan publik melalui kantor pengaduan lokal dan petugas penghubung desa.
“Sedangkan bagi organisasi masyarakat sipil, riset ini mendorong perluasan pemantauan independen, advokasi, pendokumentasian kasus, serta program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat. Untuk perguruan tinggi, diperlukan penelitian lanjutan mengenai dampak sosial-lingkungan serta penyusunan pedoman ilmiah untuk pengendalian sedimentasi, rehabilitasi pesisir, dan perumusan program PPM yang lebih partisipatif,” jelas Halili.
