Tongkonan 300 Tahun di Toraja Dirobohkan: Sorotan Cacat Prosedur hingga Pelecehan Budaya Regional 11 Desember 2025

Tongkonan 300 Tahun di Toraja Dirobohkan: Sorotan Cacat Prosedur hingga Pelecehan Budaya
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        11 Desember 2025

Tongkonan 300 Tahun di Toraja Dirobohkan: Sorotan Cacat Prosedur hingga Pelecehan Budaya
Penulis

TANA TORAJA, KOMPAS.com
– Eksekusi Tongkonan -rumah adat Toraja- beberapa waktu lalu menuai sorotan.
Bangunan yang diperkirakan sudah
berusia 300 tahun
itu disebut bukan merupakan objek sengketa.
Bagi
Lembaga Adat
Toraja,
tongkonan
merupakan
identitas budaya
. Jika identitas ini disentuh tanpa keadilan, maka bisa dianggap sebagai pelecehan.
Tongkonan Ka’pun -tongkonan yang dieksekusi- ini berada di Kecamatan Kurra, Tana Toraja. 
Akar masalah berawal ketika terjadi sengketa di Tongkonan Tanete, rumah adat lain yang berdiri sekitar sepuluh meter di selatan Tongkonan Ka’pun.
Masalah itu sudah bergulir sejak tahun 1988 dan sudah menjalani proses hukum hingga pada 2018, Mahkamah Agung menetapkan kemenangan keluarga Tanete secara inkrah.
Perselisihan kemudian sempat dianggap selesai. Namun keadaan berubah pada Jumat (5/12/2025) lalu.
Pengadilan Negeri (PN) Makale melakukan eksekusi tidak pada Tongkonan Tanete, melainkan Tongkonan Ka’pun — objek yang disebut tidak pernah tercantum dalam perkara-.
Puing-puing Tongkonan Ka’pun pun berserakan di tanah usai dirobohkan.
Hendrik Kusnianto, dari Kantor Hukum HK & Associates selaku kuasa hukum keluarga menilai eksekusi pada 5 Desember 2025 itu sarat kejanggalan, cacat prosedur, dan berpotensi melampaui kewenangan.
“Peristiwa ini telah menimbulkan gejolak sosial, budaya, dan kemanusiaan,” tutur Hendrik Kusnianto kepada wartawan, Rabu (10/12/2025).
Hendrik menjelaskan bahwa pihaknya telah melaporkan dugaan kejanggalan itu kepada Bawas MA dan Komnas HAM.
Pada 4 Desember, mereka melapor karena indikasi eksekusi tetap dipersiapkan meski masih ada perlawanan di PN Makale.
Eksekusi kemudian batal dilakukan hari itu. Keesokan harinya, pada Jumat (5/12/2025), eksekusi benar-benar dilaksanakan.
Hendrik menilai eksekusi tidak dilaksanakan sesuai jadwal yang tertera dalam penetapan PN Makale Nomor W22-U10/1080/HPDT/12/2025 yang menetapkan waktu pelaksanaan 4 Desember 2025.
Eksekusi pada 5 Desember itu dianggap dilakukan tanpa pemberitahuan ulang kepada para pihak.
Selain itu, objek yang dieksekusi juga disebut tidak sesuai dengan perkara berkekuatan hukum tetap dan berpotensi masuk kategori ultra petita.
Keanehan lain yang menjadi sorotan kuasa hukum adalah status obyek yang dalam SIPP tercatat telah diserahkan secara sukarela pada 5 Agustus 2024.
Namun, objek yang sama kembali dieksekusi pada 5 Desember 2025.
Hendrik mengatakan, pihaknya sudah meminta klarifikasi kepada PN Makale, namun tidak mendapatkan penjelasan.
“Eksekusi ini dilakukan dengan konflik kepentingan, cacat administrasi, dan tidak berdasarkan hukum. Bahkan dilakukan dengan tindakan represif terhadap masyarakat adat Toraja,” jelasnya.
Ia pun meminta Bawas MA dan Komnas HAM melakukan pemeriksaan menyeluruh atas dugaan pelanggaran prosedur, administratif, dan penggunaan kekuatan berlebihan.
“Kami meminta agar proses hukum dilakukan secara transparan, akuntabel, dan menghormati hak konstitusional klien kami,” ujar Hendrik.
Ia menegaskan keluarga akan menempuh seluruh langkah hukum untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan serupa. “Kami berharap semua pihak dapat menghormati proses hukum dan adat Toraja. Penyelesaian harus dilakukan secara adil dan beradab,” katanya.
Bagi orang Toraja, tongkonan bukan hanya bangunan, tetapi tempat lahirnya nama, silsilah, dan martabat.
“Tongkonan ini identitas yang diakui dunia. UNESCO mencatatnya sebagai warisan budaya. Jika identitas ini disentuh tanpa keadilan, itu namanya pelecehan,” kata Ketua Lembaga Adat Toraja, Benyamin Ranteallo.
Ia menilai ada “tangan-tangan tak terlihat” yang ikut bermain. “Ada dugaan mafia hukum dan mafia adat yang memanfaatkan celah,” ucapnya.
“Ini bukan soal papan dan tiang kayu yang dirobohkan. Ini soal napas kami sebagai orang Toraja. Jika tongkonan bisa dihapus begitu saja, apa lagi yang tersisa?” ujar Benyamin.
(Penulis: Kontributor Kompas TV Luwu Palopo, Amran Amir)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.