Jakarta, Beritasatu.com – Menjelang penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2026, kalangan pengusaha menyoroti ketidakpastian regulasi pengupahan yang dinilai kerap berubah. Kondisi ini disebut menyulitkan dunia usaha dalam menyusun rencana bisnis jangka menengah dan panjang, serta berpotensi mengganggu iklim investasi.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam, menegaskan masalah utama bukan pada besaran upah, melainkan pada inkonsistensi aturan yang terus berganti dalam beberapa tahun terakhir.
“Sudah hampir lima regulasi yang dikeluarkan yang selalu berubah-berubah. Kita ingin regulasi itu nanti bisa lebih sustain, sehingga kita bisa merencanakan bisnis kita dengan lebih baik lagi,” kata Bob Azam dalam konferensi pers di kantor DPP Apindo, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Bob mengatakan dunia usaha selama ini selalu mengikuti aturan pemerintah. Namun, perubahan kebijakan yang terlalu sering justru mengganggu keberlanjutan usaha dan kepastian investasi.
Ia menambahkan, kepastian regulasi menjadi sangat penting, terutama karena kebijakan pengupahan akan memengaruhi hubungan industrial sekaligus kelanjutan investasi.
Bob juga menyoroti struktur usaha nasional yang didominasi oleh usaha kecil dan menengah (UKM). Ia menyebut 90% anggota Apindo adalah industri kecil-menengah yang memiliki kemampuan terbatas dalam membayar upah minimum.
“Jangan dikira anggota Apindo itu multinasional company semua ya. 90% adalah industri kecil menengah yang kemampuan bayar upah minimumnya itu cuma di bawah 50%,” tegasnya.
Menurut Bob, kondisi ini membuat fleksibilitas skema pengupahan menjadi penting, termasuk melalui kesepakatan bipartit antara perusahaan dan serikat pekerja.
