Kisah Una, Mahasiswi Unesa Asal Pidie Jaya Dapat Beasiswa Usai Keluarga Terdampak Bencana Sumatera Surabaya 8 Desember 2025

Kisah Una, Mahasiswi Unesa Asal Pidie Jaya Dapat Beasiswa Usai Keluarga Terdampak Bencana Sumatera
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        8 Desember 2025

Kisah Una, Mahasiswi Unesa Asal Pidie Jaya Dapat Beasiswa Usai Keluarga Terdampak Bencana Sumatera
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Unaysah Azkia Madania, mahasiswi program studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Surabaya (Unesa), menjadi satu dari 63 mahasiswa yang mendapatkan beasiswa pendidikan dari Unesa.
Diketahui,
Unesa
memberikan beasiswa biaya pendidikan penuh sampai lulus untuk mahasiswa yang orangtuanya terdampak bencana banjir dan longsor di Sumatera.
Wakil Rektor IV Unesa, Dwi Cahyo Kartiko, mengatakan bahwa dari 458 mahasiswa yang tercatat berasal dari wilayah terdampak, terdapat 63 mahasiswa yang benar-benar terdampak langsung.
“UNESA melalui Cak Hasan sudah komitmen akan memberikan beasiswa full sampai lulus. Artinya sampai semester 8,” kata Dwi di acara Doa Bersama, Lelang Amal, dan Pemberian Beasiswa untuk mahasiswa terdampak banjir Sumatra di Gedung Rektorat Kampus 2 Lidah Wetan, Surabaya, Senin (8/12/2025).
Selain beasiswa pendidikan, mahasiswa yang rumahnya rusak atau kehilangan orang tua juga akan menerima tambahan bantuan living cost. Bahkan, satu dosen yang turut kehilangan rumah di Tapanuli juga mendapat perhatian khusus.
Mendapatkan beasiswa,
Unaysah Azkia Madania
mengaku terharu sekaligus lega karena dia sempat mengkhawatirkan uang kuliah Rp 3,2 juta per semester di tengah musibah yang dialami keluarganya di
Pidie Jaya
, Aceh.
“Satu sisi senang ya, karena kepikiran duh nih semester depan bayar UKT (Uang Kuliah Tunggal)-nya gimana,” kata mahasiswi yang karib disapa Una tersebut.
Saat berbincang dengan
Kompas.com
, Una bahkan mengatakan, sempat berpikir untuk mencari pekerjaan jika keluarganya tak lagi mampu membayar kuliahnya.
Sebab, mahasiswi semester lima ini tetap ingin melanjutkan pendidikannya.
“Tapi, tiba-tiba langsung dihubungi. Alhamdulillah ini bantuan yang membantu banget.” ujarnya sambil tersenyum.
Di tengah kebahagiannya, Una teringat momen paling menakutkan saat keluarganya menjadi korban
banjir Sumatera
.
Una adalah anak pertama dari empat bersaudara. Adik bungsunya yang tinggal bersama orang tua masih berusia 12 tahun. Sementara dua adiknya yang lain tinggal di pondok pesantren di Madura dan tidak memiliki akses ponsel.
“Kami dapat kabar itu tengah malam (tanggal 23 November 2025), dan itu pun notif dari hape gitu, yang ting-ting gitu,” katanya.
Awalnya, dia mengira itu banjir biasa atau banjir tahunan yang tingginya tidak pernah melebihi dari paha atau lutut orang dewasa.
Namun, keesokannya, dia mendapat kabar mengenai bencana banjir dan longsor yang cukup parah terjadi di Sumatera.
Una lantas mencoba menghubungi keluarganya untuk menanyakan kabar. Tetapi, usahanya tidak berhasil.
Dia menjadi panik dan berusaha menghubungi berbagai sosial media milik polisi, keamanan, pemadam kebakaran, hingga Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
“Hari pertama itu frustrasi. Enggak ada yang bisa dihubungi semua,” ucapnya.
Kecemasan soal keselamatan orang tua menjadi hal pertama yang memenuhi kepalanya saat itu.
“Takut orang tua enggak ada aja sih. Keluarga hilang, itu yang paling ditakutin.” Imbuhnya sambil menunjukkan senyum getir.
Hingga pada Rabu pagi, tanggal 26 Desember 2026, dia mendapatkan telepon dari sang ibu.
Namun, suara panik di ujung telepon membuat tubuh perempuan 21 tahun itu gemetar.
“Tanggal 26 pagi, itu ibu saya telepon, panik. Saya kaget, kok sepanik ini. Dan itu ibu saya sudah sampai teriak-teriak untuk minta tolong keluar,” ujar Una dengan raut wajah getir.
Di rumah keluarga mereka di desa atau Gampong Meunasah Mancang, air sudah mencapai sebahu orang dewasa. Ayah dan ibunya hanya bisa naik ke atas meja agar tak tenggelam.
Una bercerita, rumahnya sudah dibuat tinggi, sekitar satu setengah meter dari permukaan tanah, namun air tetap menerobos dan memenuhi seluruh ruangan di rumahnya.
“Dan kondisi di dalam sudah seperti itu, apalagi yang di luar,” katanya memejam sejenak.
Una mengaku semakin takut karena di saat banjir semakin tinggi, ibunya mengabari bahwa sang ayah berada di Panti Asuhan Darul Aitam di Meunasah Lhok, tempatnya bekerja.
“Walaupun enggak jauh dari rumah, tapi posisi mereka terpencar,” tutur Una.
Setelah itu, Una semakin cemas dan kalut karena selama dua hari tidak mendapat kabar lagi dari kedua orangtuanya.
Barulah pada 28 Desember 2025, telepon selularnya kembali berdering. Ayah dan ibunya memberikan kabar.
“Tiba-tiba nelepon, dan habis itu sinyal susah. Tapi, di situ udah sedikit lega, ‘oh Alhamdulillah selamat’,” katanya.
Tetapi, rupanya banjir susulan datang dan kembali memutus akses. Kabar terakhir dari ibunya datang pada Sabtu, 29 Desember 2025, pagi, ketika air kembali naik dan semua harus bertahan di lantai dua panti asuhan.
“Karena di sana itu mau ke mana juga sulit, karena posisi kayu itu di mana-mana,” ujarnya sambil menunjukkan foto tumpukan kayu yang memblokir jalan masuk ke rumah.
Sementara itu, air sungai yang meluap mencari jalannya sendiri, mengisi rumah-rumah warga hingga tidak menyisakan ruang untuk evakuasi.
“Bahkan, untuk pengevakuasian kayak mayat atau bangkai-bangkai gitu sulit. Masih belum bisa, karena enggak ada alat berat,” kata Una dengan suara kecil.
Saat bercerita, Una mengisahkan kembali kesulitan kedua orangtuanya bertahan hidup di tengah kepungan banjir.
“Orangtua saya cuma mengandalkan, ya sehari itu cuma bisa minum dua gelas aqua kecil. Ya itu pun dihemat-hemat,” kata Una.
Untuk makan, mereka menemukan Indomie yang dimakan tanpa dimasak, cukup diremukkan.
Setelah air surut, barulah bantuan makanan mulai masuk, meski tidak banyak.
Tak hanya itu, menurut Una, semua barang di rumahnya rusak karena terendam banjir beberapa hari.
“Motor terendam lumpur. Lumpurnya kan udah mengering. Udah nggak bisa dipakai lagi,” ujarnya.
Namun, kehilangan harta benda tidak membuatnya terpukul karena yang terpenting kedua orangtuanya selamat.
“Yang terpenting ya kondisi keluarga aja sih. Barang itu masih bisa dicari lagi,” katanya.
Di tengah bencana, Una mengaku, tidak ingin bertemu orangtuanya di Pidie Jaya. Sebaliknya, dia berharap ayah dan ibunya yang datang ke Surabaya, untuk mengungsi.
“Kayaknya enggak sih. Cuma orangtua aja yang ke sini. Justru mengamankan diri di sini. Mending ke sini aja,” ujarnya.
Di akhir percakapan, Una sempat terdiam lama ketika diminta menyampaikan sesuatu untuk orang tuanya.
Ketika akhirnya dia berbicara, suaranya pelan tapi mantap, “Alhamdulillah selamat. Enggak apa-apa. Maksudnya, kalau barang masih bisa kita cari, setidaknya kita menyelamatkan diri saja dulu. Terus, bersyukur juga kalau kita masih dikasih kesempatan walaupun kita dapat yang parah, tapi masih ada yang lebih parah dibanding kita”.
Sementara itu, pihak kampus tak hanya memberikan beasiswa, Unesa menyediakan trauma
healing
kelompok bagi mahasiswa yang keluarga terdampak bencana banjir Sumatera.
Direktur Pencegahan dan Penanggulangan Isu Strategis Unesa, Mutimmatul Faidah, mengatakan bahwa trauma akibat kehilangan kabar keluarga membuat banyak mahasiswa rapuh secara mental.
“Sebagian mereka belum terhubung dengan keluarganya. Tidak ada koneksi sama sekali. Sehingga mereka juga belum tahu bagaimana kabar ayah, ibu, dan seterusnya,” ujarnya.
Oleh karena itu, Unesa mengadakan trauma
healing
kelompok, penguatan psikologi, sosial, hingga spiritual.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.