Perias Jenazah Bukan Sekadar Pekerjaan Megapolitan 8 Desember 2025

Perias Jenazah Bukan Sekadar Pekerjaan
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 Desember 2025

Perias Jenazah Bukan Sekadar Pekerjaan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Masyarakat perkotaan seringkali berorientasi pada pekerjaan formal, bergaji tetap, dan standar pendidikan tertentu, profesi perias jenazah muncul sebagai sebuah fenomena unik.
Tidak banyak orang yang menekuni bidang ini, dan justru karena kelangkaannya, pekerjaan ini dianggap sebagai sebuah calling, panggilan hati yang tidak hanya soal materi, melainkan dedikasi, kemanusiaan, dan keberanian menghadapi kematian secara langsung.
Kompas.com menelusuri lebih dalam dunia
perias jenazah
melalui wawancara dengan sosiolog Rakhmat Hidayat dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
“Semakin suatu pekerjaan langka, jarang digeluti, atau tidak menarik bagi sebagian besar orang, maka pekerjaan itu cenderung menjadi panggilan, atau calling,” ujar Rakhmat saat dihubungi Jumat (5/12/2025).
Ia menjelaskan bahwa perias jenazah adalah antitesis dari orientasi masyarakat perkotaan yang cenderung mengejar pekerjaan komersial, stabil, serta memiliki standar pendidikan dan administrasi formal.
Sementara itu, mereka yang menggeluti profesi merias jenazah justru berhadapan dengan sesuatu yang masih distigmakan, kematian. “Kematian bukan sesuatu yang menyeramkan bagi mereka. Kematian adalah dunia mereka, sesuatu yang mereka hadapi setiap hari secara sosial,” tuturnya.
Dalam perspektif
sosiologi pekerjaan
, profesi ini masuk kategori kerja yang tidak tercatat, tidak terstandar, dan tidak memiliki pengakuan formal.
Karena itu, pelakunya sering mengalami marginalisasi maupun stigma sosial.
“Mereka bekerja dengan hati. Mereka tidak money oriented. Namun secara materi, sering justru tidak mendapatkan kompensasi yang layak,” ujar Rakhmat.
Gloria, Perias Jenazah Salah satu perias jenazah yang menekuni profesi ini di Jakarta adalah
Gloria Elsa Hutasoit
(42).
Gloria bekerja di wilayah DKI Jakarta, namun bila diminta, ia juga menerima jasa di luar kota.
Dalam sehari, ia dapat menangani satu hingga tiga jenazah, tergantung kebutuhan.
“Dalam sehari bisa satu sampai tiga jenazah. Tapi ada hari-hari di mana saya tidak merias sama sekali,” ujarnya ketika dihubungi Jumat (5/12/2025).
Kepiawaiannya merias jenazah bukan datang tiba-tiba. Ia sudah menyukai makeup sejak kecil.
Ibunya, yang berprofesi sebagai perawat sekaligus terlibat dalam pelayanan memandikan jenazah di gereja, memperkenalkannya pada pekerjaan ini sejak muda.
Momen paling menentukan adalah ketika ia merias tante yang meninggal dan berprofesi sebagai pemulung di tahun 2001.
“Di situ saya tergerak. Saya ingin memberikan pelayanan agar pengantin Tuhan dipersiapkan dengan layak di hari terakhirnya,” ujar Gloria.
Sejak saat itu, Gloria pun mulai menekuni profesi sebagai perias jenazah, namun terbatas hanya di kalangan keluarga dan gereja saja.
Barulah di tahun 2016, ia mulai menjalankan karier tersebut secara profesional.
Ia menganggap hal tersebut bukan pekerjaan, melainkan bentuk pelayanan kemanusiaan.
Tentu, tidak semua orang mampu dengan mudah menghadapi tubuh yang telah tak bernyawa.
Gloria mengakui bahwa ada rasa tertentu ketika pertama kali menyentuh atau melihat jenazah yang baru diserahkan untuk dirias. Namun bukan takut yang ia rasakan.
“Yang saya rasakan justru bahagia bisa menolong, terutama jenazah yang tidak mampu,” tuturnya.
Proses merias jenazah tidak sepenuhnya sama dengan merias orang hidup. Ada tantangan teknis yang tidak semua perias makeup biasa bisa hadapi.
Menurut Gloria, kulit jenazah berbeda total dari kulit manusia hidup.
“Struktur kulit jenazah cenderung keras dan kering. Meriasnya seperti merias di atas kaca,” jelasnya.
Tantangan paling besar biasanya muncul ketika jenazah mengalami perubahan warna, luka, atau lebam.
“Paling menantang ketika harus menutup luka, lebam, atau ketika kulit menghitam dan menguning,” katanya.
Untuk kasus tertentu, ia bahkan harus melakukan rebuilding, membentuk kembali bagian wajah atau tubuh yang rusak akibat kecelakaan atau penyakit.
“Paling lama itu ketika harus menutup luka jahitan atau membentuk organ yang rusak,” lanjutnya.
Kemampuan teknis ini membuat perias jenazah berada pada posisi penting dalam proses perpisahan terakhir keluarga.
Setiap keluarga datang dengan kondisi berbeda. Ada yang tenang, ada yang terpukul, ada pula yang histeris.
Bagi Gloria, menjaga batas emosional adalah kunci agar tetap fokus bekerja.
“Sudah terlatih untuk boleh simpati tapi tidak boleh empati. Karena kalau ikut tenggelam dalam kesedihan, kami tidak bisa bekerja,” jelasnya.
Namun ia mengakui bahwa ada momen-momen yang menempel kuat dalam ingatannya, terutama ketika merias orang yang meninggal secara mendadak.
“Keluarga biasanya lebih terpukul. Di situ terasa sekali makna emosionalnya,” katanya.
Gloria juga sering membagikan kisah-kisah tertentu melalui akun Instagram pribadinya @periasjenazah.gloriaelsa sebagai bentuk edukasi kepada publik bahwa pekerjaan ini bukan sesuatu yang tabu.
Untuk mengetahui bagaimana pekerjaan ini dirasakan oleh keluarga, Kompas.com mewawancarai Cristiene Maria (38), warga Jakarta Barat yang menggunakan jasa perias jenazah ketika ibunya meninggal mendadak akibat serangan jantung.
Cristiene tidak menggunakan jasa Gloria, ia menggunakan jasa perias lain.
Namun ia mengaku keputusan memakai jasa perias jenazah datang dari keinginan untuk memberi penghormatan terakhir yang layak.
“Kami ingin wajah Ibu terlihat rapi dan terawat. Mereka menutup pucat dan lebam dengan riasan tipis, sangat natural,” katanya.
Ia menilai komunikasi dengan perias sangat baik. Keluarga bahkan memberikan foto sang ibu ketika masih sehat sebagai acuan.
Biaya yang ia keluarkan sekitar Rp 1,5 juta.
“Rasanya lega ketika melihat Ibu terlihat damai, seperti tidur. Itu membantu kami menerima kepergiannya,” ucapnya.
Baginya,
profesi perias jenazah
layak dihargai jauh lebih tinggi.
“Mereka sangat sabar dan berhati-hati. Rasanya mereka memberi keindahan terakhir bagi orang yang kita cintai,” ujarnya.
Meski mulai banyak keluarga kelas menengah ke atas menggunakan jasa perias jenazah profesional, Rakhmat menilai hal itu belum menjadi transformasi besar dalam budaya kematian di Indonesia.
“Belum ada perubahan mayor. Kematian masih dianggap hal misterius dan menyeramkan, terutama di kelas menengah ke bawah,” ujarnya.
Menurutnya, perubahan budaya kematian bisa terlihat dari bagaimana sebuah kota merawat pemakamannya.
“Di luar negeri, pemakaman adalah ruang publik. Rapi, bersih, ada kursi, dan berada di tengah kota. Tidak menyeramkan,” jelasnya.
Sementara di Indonesia, pemakaman masih dianggap ruang gelap, tidak terurus, dan tidak ramah bagi masyarakat umum, kecuali beberapa makam komersial milik kelas menengah ke atas.
Pengalaman pandemi Covid-19 juga menunjukkan betapa pentingnya profesi perias dan pengurus jenazah.
Ketika angka kematian melonjak, negara-negara di seluruh dunia sangat bergantung pada mereka yang berani berada di garis depan urusan kematian.
“Mereka bekerja melampaui batas risiko, penyakit, batas geografis, dan latar belakang etnis,” tutur Rakhmat.
Ia melihat profesi ini sebagai pekerjaan kemanusiaan yang melampaui batas profesi resmi.
Meskipun tidak tercatat secara formal sebagai tenaga kesehatan atau pekerja administrasi, kontribusinya sangat besar.
Profesi ini sering dipandang rendah, dianggap tabu, dan tidak dipahami secara luas.
Ketika pekerjaan lain memiliki struktur karier jelas, perias jenazah justru berada pada ruang abu-abu.
“Kita belum memiliki standar profesi untuk perias jenazah. Mereka tidak mendapatkan perlindungan formal seperti pekerja formal lainnya,” kata Rakhmat.
Rakhmat menegaskan bahwa profesi ini harus dilihat sebagai sebuah
panggilan kemanusiaan
.
“Bayangkan jika tidak ada orang yang mau menggeluti pekerjaan ini, maka banyak jenazah yang telantar. Ini pekerjaan sangat berarti secara sosial,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.