Hamil 9 Bulan di Pengungsian Tapteng, Monalisa Bertahan Menunggu Persalinan Tanpa Suami Regional 6 Desember 2025

Hamil 9 Bulan di Pengungsian Tapteng, Monalisa Bertahan Menunggu Persalinan Tanpa Suami
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        6 Desember 2025

Hamil 9 Bulan di Pengungsian Tapteng, Monalisa Bertahan Menunggu Persalinan Tanpa Suami
Tim Redaksi
TAPANULI TENGAH, KOMPAS.com
– Wajah lelah namun tegar tampak jelas pada Monalisa (26), warga asal Pardagangan, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Ia menjadi korban banjir bandang dan tengah bertahan di posko pengungsian.
Di tengah hiruk-pikuk posko
pengungsian
yang padat, ia duduk dengan perut yang kian membesar. Usia kandungannya kini sudah menginjak sembilan bulan.
Sudah sepuluh hari
Monalisa
terpaksa meninggalkan kenyamanan rumahnya dan tidur beralaskan tikar di pengungsian.
Namun, beban yang dipikulnya terasa lebih berat karena ia harus melalui masa-masa kritis ini seorang diri, tanpa didampingi sang suami.
“Sendiri saja memang di sini, karena suami berlayar. Sebatang kara lah di bencana ini,” kata Monalisa saat ditemui Kompas.com di lokasi, Jumat (5/12/2025).
Di saat ia membutuhkan dukungan fisik dan mental menjelang
persalinan
, Monalisa harus menerima kenyataan bahwa suaminya sedang berada jauh di perantauan.
“Kalau suami alhamdulillah sehat. Suami (di) Batang Arau, Padang,” ujar Monalisa.
Ia menyebut, suaminya sedang bekerja jauh di laut, sehingga tidak bisa mendampinginya saat
bencana banjir
melanda, maupun saat ia bertahan di posko pengungsian.
Ketidakhadiran sang suami memaksanya bertahan seorang diri menjaga keselamatan janin dalam kandungannya, sekaligus satu anaknya yang masih kecil.
Monalisa mengenang detik-detik mengerikan saat air banjir bandang datang pada Selasa (25/11/2025) pagi.
Tanpa suami yang bisa diandalkan untuk membantu evakuasi, ia harus berjuang sendiri menyelamatkan diri.
“Dari rumah hampir terseret, hampir terseret arus, pegangan aja sama yang ada,” ujarnya.
Kondisi fisiknya yang sedang hamil tua membuat pergerakannya terbatas, sementara derasnya air terus meninggi hingga 1 meter atau setara pinggang orang dewasa.
Ia harus sekuat tenaga menahan arus sembari menjaga anaknya agar tidak hanyut.
“Karena menarik ini (anak), karena air sudah hampir sepinggang. Apalagi hamil kan enggak bisa apa (banyak bergerak) karena kencang air. Tapi alhamdulillah masih dikasih selamat,” tuturnya.
Beruntung, di tengah kepanikan tersebut, sebuah mobil datang menjemput dan mengevakuasinya keluar dari kawasan yang dinyatakan waspada itu.
“Karena daerah rumah itu ternyata udah waspada, jadi dijemput sama tim penyelamat itu,” sambungnya.
Kini, meski menjelang waktu persalinan, Monalisa memilih bertahan di pengungsian dengan fasilitas serba terbatas.
Rumahnya yang berlumpur setinggi lutut belum layak untuk kembali dihuni.
Namun, alasan utamanya bukan sekadar kondisi fisik rumah, melainkan ketakutannya menghadapi persalinan sendirian tanpa bantuan medis di tengah kondisi darurat.
Di rumahnya, akses listrik terputus dan tidak ada sinyal komunikasi.
Kondisi itu dinilai terlalu berbahaya bagi dirinya yang hidup sendirian dan tengah ditinggal suaminya.
“Sebenarnya berat (di pengungsian). Tapi karena di sini ada tim medis, terpaksa harus di sini. Kalau di sana (rumah) kan jaringan enggak ada, lampu mati. Otomatis kan awak sendiri. Kalau di sini dirawat,” jelas Monalisa.
Berdasarkan pemeriksaan dokter, Hari Perkiraan Lahir (HPL) Monalisa jatuh pada 20 Desember 2025.
Namun, dokter yang memeriksa di pengungsian menyebutkan bahwa kelahiran bisa terjadi lebih cepat atau mundur.
“HPL-nya itu tanggal 20. Tapi katanya bisa maju, bisa mundur,” ucapnya.
“Kalau mundur, bisa jadi suami sudah bisa pulang. Tapi kalau maju, enggak tahu ya bagaimana,” sambungnya.
Di tengah ketidakpastian itu, persiapan menyambut sang buah hati masih jauh dari kata cukup.
Banjir telah merendam semua pakaian dan perlengkapan bayi yang sempat ia siapkan.
Sementara itu, kondisi keuangan keluarga yang sedang sulit karena suami merantau menambah beban pikirannya.
“Apalagi di sini pun juga masih ada kurang sih (bantuannya). Kayak pakaian bayi. Kan semua kena (banjir). Apalagi kondisi keuangan enggak ada,” tuturnya lirih.
Monalisa pun kini hanya bisa berharap proses persalinannya nanti berjalan lancar dan ia bisa mendapatkan tempat yang lebih layak untuk membesarkan bayinya. Sebab rumahnya masih dipenuhi lumpur.
Ia juga mengungkap bahwa dirinya selalu berdoa agar sang suami dapat segera pulang dan mendampingi proses persalinannya.
“Penginnya iya sih, (dapat) tempat yang layak, ada suami. Kalau enggak ada suami, kenapa-kenapa nanti siapa lah yang bawa aku ke rumah sakit,” pungkasnya penuh harap.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.