Utang Pinjol Rp 1 Juta Menyeret Siska ke Lingkaran Gali Lubang Tutup Lubang Megapolitan 5 Desember 2025

Utang Pinjol Rp 1 Juta Menyeret Siska ke Lingkaran Gali Lubang Tutup Lubang
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        5 Desember 2025

Utang Pinjol Rp 1 Juta Menyeret Siska ke Lingkaran Gali Lubang Tutup Lubang
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com – 
Siska (bukan nama sebenarnya) tak pernah membayangkan utang Rp 1.000.000 yang dimiliknya bisa menjadi mimpi buruk yang panjang.
Sebagai orangtua tunggal, setiap rupiah selalu ia hitung dengan cermat. Namun ketika listrik hampir diputus, kontrakan menunggak dua bulan, dan beras di rumah sudah habis, pilihan untuk mengutang terasa seperti satu-satunya jalan keluar.
Uang Rp 1.000.000 yang ia pinjam dari aplikasi pinjaman
online
(
pinjol
) adalah pinjaman pertamanya. Meski jumlahnya tidak besar, beban yang harus ia tanggung justru terasa seperti gunung.
Padahal, ia selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan yang seadanya dan kebutuhan rumah tangga.
Dalam kondisi panik dan terdesak, janji “langsung cair, tanpa ribet” yang ditawarkan iklan di media sosial terasa seperti secercah harapan.
Ia bahkan tidak sempat berpikir panjang apakah aplikasi itu legal atau tidak. Yang ia tahu hanyalah uang cepat bisa menyelamatkan hari itu juga.
Namun, kelegaan sesaat itu segera berubah menjadi kecemasan. Dalam hitungan hari, jumlah tagihan utangnya membengkak jauh di luar perkiraannya.
Dari hanya satu
aplikasi pinjol
, Siska akhirnya harus berurusan dengan lima aplikasi sekaligus. Hidupnya berubah menjadi siklus “gali lubang tutup lubang” yang tak berujung.
Siska menuturkan awal mula ia mengajukan pinjaman sebesar Rp 1.000.000 untuk membayar kontrakan dan membeli sembako.
Ia berharap bisa mengatur keuangan dan membayar tepat waktu, tapi bunga dan biaya administrasi yang dikenakan aplikasi pinjol membuat cicilan membengkak dalam hitungan hari.
“Kira-kira satu minggu setelah cair. Tiba-tiba pas mau bayar kok jumlahnya lebih besar. ‘Lah, ini minjem sejuta kok balikin jadi sejuta lebih banyak banget?” ujarnya.
Ketika jatuh tempo mendekat, Siska tidak memiliki dana yang cukup. Temannya malah menyarankan ia untuk meminjam lagi di aplikasi lain demi menutupi pinjaman pertama.
Rasa ragu dan khawatir sebenarnya muncul, tapi tekanan membuatnya pasrah dan hilang arah.
“Awalnya saya ragu, tapi karena takut diteror ya saya pinjem lagi. Dari situlah mulai gali tutup lubang,” katanya.
Dalam beberapa minggu, satu pinjaman berkembang menjadi lima. Setiap kali cicilan mendekati jatuh tempo, Siska dipaksa mencari pinjaman baru.
“Tiap mau jatuh tempo saya minjam yang lain terus,” ujarnya.
Siska mencoba berhenti meminjam. Ia berharap bisa melunasi utang yang ada dan memulai kembali hidupnya dengan lebih tenang.
Namun, niat itu gagal karena teror dari penagih utang atau
debt

collector
yang terus menekannya.
“Begitu satu jatuh tempo, mereka neleponin terus. Jadi saya panik lagi. Ya udah minjem lagi” kata Siska.
Setiap dering telepon dan notifikasi pesan WhatsApp menjadi sumber kecemasan. Waktu tidur menjadi penuh dengan pikiran tentang tagihan yang semakin membengkak.
Bahkan pada siang hari, hati Siska tetap tidak tenang. Ia menyadari bahwa lingkaran setan ini bukan hanya masalah uang, tapi juga tekanan psikologis yang membuatnya sulit berpikir jernih.
Bukan hanya bunga yang membuat Siska meminjam lagi.
Debt collector
pinjol juga menggunakan metode intimidasi agresif.
Mereka menghubungi Siska puluhan kali dalam sehari dan mengirim pesan WhatsApp secara spam. Ada yang berbicara sopan, namun banyak yang kasar dan menakutkan.
“Nelepon sampai 60 kali sehari pernah, Mas. Kadang dari nomor luar negeri. WA juga spam,” ungkap Siska.
Tekanan ini membuat Siska merasa tidak punya pilihan lain selain meminjam uang lagi untuk menutupi pinjaman sebelumnya.
Tidak hanya dirinya, para
debt collector
juga menghubungi keluarga dan tetangganya untuk memberikan tuduhan yang tak benar.
“Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” tutur Siska.
Kesadaran bahwa dirinya bukan satu-satunya korban pinjol datang ketika Siska akhirnya membuka diri kepada keluarganya. Dukungan dari sang adik menjadi titik awal pemulihan.
Adiknya menenangkannya dan meyakinkan bahwa apa yang terjadi tidak sepenuhnya salahnya, serta masih ada jalan keluar meski terlihat sulit.
Dukungan itulah yang mendorongnya untuk meminta pertolongan lebih lanjut.
“Adik saya akhirnya nyuruh saya lapor ke lembaga bantuan. Baru dari situ saya mulai ngerti kalau saya bukan satu-satunya korban,” ujarnya.
Melalui dukungan keluarga dan lembaga perlindungan, Siska mulai memahami cara keluar dari lingkaran utang.
Siska mengisahkan bagaimana ia bisa
terjerat pinjol
hingga lima aplikasi sekaligus.
Ia bilang, sebagai orangtua tunggal, seluruh beban rumah tangga bertumpu pada dirinya.
Setiap hari ia bekerja di warung milik tetangganya dan penghasilannya hanya cukup untuk membeli kebutuhan paling dasar.
Tidak ada ruang untuk menabung, apalagi menutup kebutuhan lain yang lebih besar.
Di saat bersamaan, slip tagihan listrik menjadi pengingat bahwa pemutusan bisa terjadi kapan saja.
Dari ponsel, pesan WhatsApp dari ibu kos muncul hampir setiap hari, menanyai kapan ia bisa melunasi kontrakan yang sudah terlambat dua bulan. Semua tagihan itu seolah mengejar dari segala arah.
Sebagai satu-satunya orang dewasa di rumah, Siska hidup dari hari ke hari dengan sumber keuangan yang rapuh.
Tidak ada suami, tidak ada keluarga yang bisa diandalkan secara rutin. Yang ada hanya seorang anak yang masih membutuhkan biaya sekolah dan makan yang ia upayakan sekuat tenaga agar tetap berjalan.
Dalam keadaan seperti itu, pikirannya seperti menemui jalan buntu. Ia merasa berada di tengah pusaran tekanan yang terus mempersempit langkahnya.
Pada akhirnya, Siska mengenang dengan jelas momen ketika ia menyerah dan memutuskan menekan pilihan “ajukan pinjaman” di layar ponselnya.
“Kebutuhan rumah tuh numpuk, listrik mau diputus, kontrakan nunggak dua bulan. Ya akhirnya saya nekat cari pinjaman biar bisa nutup dulu yang mendesak,” kata Siska.
Baginya, membayar kontrakan adalah hal paling utama. Jika tidak mampu membayar, ia dan anaknya tidak punya tempat lain untuk tinggal.
Hal itulah yang membuat keputusan meminjam uang dari aplikasi pinjol tampak seperti satu-satunya jalan keluar, sebuah cara yang saat itu ia anggap untuk mengambil napas ketika merasa hampir tenggelam.
Saat menggulirkan Instagram di ponselnya sambil rebahan, sebuah iklan muncul seolah menawarkan secercah harapan.
“Lagi
scroll
HP sambil rebahan, muncul tuh iklan yang bilang ‘langsung cair, tanpa ribet’. Saya klik karena penasaran,” kata dia.
Saat itu, Siska belum memahami seluk-beluk dunia pinjol. Ia tidak tahu perbedaan antara aplikasi legal dan ilegal, tentang bunga yang tak masuk akal, atau potensi ancaman yang mungkin mengikuti.
Yang ia lihat hanya sesuatu yang tampaknya bisa menyelesaikan masalahnya seketika.
Proses pengajuannya pun berlangsung begitu cepat, hampir tidak masuk akal bagi orang yang sebelumnya belum pernah meminjam.
“Prosesnya cepet banget. Enggak pake foto KTP yang ribet, cuma selfie sama isi-isi data,” jelas dia.
Tak lama kemudian, uang yang ia ajukan benar-benar masuk.
“Pertama tuh saya ambil Rp 1.000.000. Buat bayar kontrakan dan sebagian buat beli sembako,” ujar dia.
Siska sempat merasa lega. Seolah ada sedikit ruang bernapas setelah berminggu-minggu dihimpit ketakutan.
Namun, ia tidak mengetahui bahwa keputusan sederhana itu justru menjadi pintu pertama menuju jurang yang jauh lebih gelap, yang menelannya dalam kebiasaan gali lubang-tutup-lubang.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.