8 Menanti Kemunculan Anggota DPR dari Masyarakat Adat… Nasional

8
                    
                        Menanti Kemunculan Anggota DPR dari Masyarakat Adat…
                        Nasional

Menanti Kemunculan Anggota DPR dari Masyarakat Adat…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pada November tahun lalu, anggota parlemen suku Maori asli menghentikan sidang parlemen Selandia Baru dengan tarian perang “haka Ka Mate”.
Tarian ini dipantik oleh Hana-Rawhiti Maipi-Clarke (22) yang meneriakkan “Ka mate, ka mate, ka ora, ka ora!” di ruang sidang. Suara itu menggelegar.
Teriakan yang berarti “aku mati, aku mati, aku hidup, aku hidup,” itu dilakukan oleh Hana dalam pembahasan rancangan undang-undang terkait prinsip-prinsip perjanjian.
Dikutip dari
Kompas.id
, RUU rancangan undang-undang yang diajukan partai sayap kanan itu memang telah memicu protes di seluruh negeri sejak dibahas di Parlemen Selandia Baru pekan lalu.
Rancangan itu menginginkan adanya penafsiran ulang
Perjanjian Waitangi
yang ditandatangani 500 kepala suku
masyarakat adat
Maori dengan pendatang Inggris pada tahun 1840.
Sejak disepakati di 1840, Perjanjian Waitangi dianggap sebagai dokumen pendirian negara Selandia Baru.
Perjanjian tersebut menetapkan hak antara kaum suku pribumi dan pendatang Eropa.
Terdapat tiga prinsip utama dalam perjanjian itu, yaitu kemitraan, partisipasi, dan perlindungan.
Hingga sekarang, penafsiran klausul dalam dokumen tersebut masih digunakan dalam undang-undang dan kebijakan Selandia Baru.
Aspirasi suku Maori dalam parlemen Selandia Baru memperlihatkan entitas masyarakat adat yang bisa memperjuangkan suara politik mereka secara konstitusional, memberikan ruang dialog konstruktif terkait konflik negara dengan masyarakat adat di tempat itu.
Dalam konteks Tanah Air, keberadaan masyarakat adat sendiri pun belum sepenuhnya diakui oleh negara.
Tak usah jauh-jauh mengharapkan ada keterwakilan mereka duduk di kursi parlemen atau melakukan tarian perang saat menolak kebijakan yang berseberangan dengan kepentingan mereka.
Saat ini, hak mereka untuk memilih saja masih menjadi kontroversi.
Pada
pemilu 2024
, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sendiri mengakui masyarakat adat menjadi salah satu kelompok pemilih rentan.
Kerentanan masyarakat adat berangkat dari pendataan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, mekanisme penyusunan daftar pemilih dilakukan secara de jure.
Itu artinya, pendekatan untuk memverifikasi pemilih dilakukan berdasarkan identitas kependudukan, dalam hal ini KTP elektronik.
Sementara itu, perekaman KTP elektronik masih menjadi tantangan untuk masyarakat adat.
Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos dalam sebuah diskusi pada Februari 2023 pernah mengatakan, ada data yang menyebut sekitar 1,5-2 juta masyarakat adat yang belum mendapatkan hak pilih dalam pesta demokrasi 2024.
Perekaman KTP elektronik untuk masyarakat adat menjadi tantangan karena berbagai faktor.
Betty menyinggung faktor keterbatasan akses dan transportasi hingga sosial-budaya.
Beberapa kelompok masyarakat adat disebut tak membutuhkan KTP, sedangkan beberapa kelompok lain memiliki nilai-nilai lain yang dianut yang tak memungkinkan mereka dipotret.
Pada diskusi 19 November 2025, Komisioner KPU RI August Mellaz juga mengakui, problem administrasi terkait hak pilih masyarakat adat muncul.
Problem yang telah berlalu ini tentu akan dirumuskan dan dicari jalan keluarnya dalam revisi UU Pemilu yang terus bergulir di parlemen.
“Prinsipnya kalau itu menyangkut hak warga negara, maka dia harus diberikan. Nah, soal nanti sudah diberikan dan kemudian warga tidak menggunakan, itu soal lain,” tutur dia.
August mengatakan, syarat administrasi ini mutlak harus dipenuhi karena berkaitan dengan kesiapan tempat pemilihan dan juga penentuan daftar pemilih tetap.
“Karena itu basisnya secara de jure itu kan memang posisinya berdasarkan KTP setempat,” ucap dia.
Hal ini dipastikan August akan masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terkait revisi UU Pemilu.
Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Muhammad Nuh Al Azhar mengatakan, selama ini negara telah berusaha memenuhi hak administrasi warga negara masyarakat adat.
Termasuk dalam konteks pemilu, Dukcapil mencoba menjemput bola sampai ke pelosok agar masyarakat adat ini bisa menggunakan hak pilihnya.
“Jadi, mendatangi untuk melakukan perekaman. Karena ada banyak warga negara Indonesia yang belum ada perekaman. Jadi didatangi, ayo dilakukan perekaman,” kata Nuh, Rabu (19/11/2025).
Nuh mengatakan, upaya jemput bola ini tidak hanya dilakukan untuk masyarakat adat yang dalam kondisinya masih sehat dan bisa melakukan aktivitas.
Upaya jemput bola juga dilakukan untuk mereka yang sakit dan mengalami keterbatasan karena kondisi disabilitas.
Namun, Nuh mengakui, upaya jemput bola yang mereka lakukan belum maksimal.
Bukan karena mereka tak bekerja, tetapi wilayah Indonesia yang begitu luas.
“Kalau misalnya belum bisa maksimal, ya Indonesia memang luas sekali, oleh karena itu butuh kerja sama,” ucap dia.
Dalam catatan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terkait penyelenggaraan pemilu 2024, terdapat lebih dari 600 orang masyarakat adat Baduy Luar yang tidak masuk dalam daftar pemilih.
Hal ini disebabkan dari minimnya atensi penyelenggara pemilu terhadap pemenuhan hak pilih kelompok masyarakat adat.
Kekhususan wilayah masyarakat adat juga disebut Komnas HAM menjadi tantangan yang belum mampu diatasi penyelenggara pemilu bagi pemenuhan hak pilih kelompok masyarakat adat.
Namun, isu terkait suara masyarakat adat pada dasarnya bukan hanya pada hak memilih semata, tetapi juga pada hak untuk dipilih.
Direktur Eksekutif Deep Indonesia Neni Nurhayati mengatakan, masyarakat adat memiliki segmentasi yang jelas dan tidak menutup kemungkinan mereka bisa menjadi perwakilan dalam parlemen di kemudian hari.
Masyarakat punya kepala suku dan pengikut, dan partai politik seharusnya mulai memberikan pintu masuk keterlibatan masyarakat adat untuk bergabung menjadi parlemen.
“Atau bahkan menurut saya masyarakat adat yang di situ ada kelompok perempuan dan anak muda harusnya bisa terbuka. Karena ketika mereka jadi, mereka pasti akan menyuarakan untuk kepentingan masyarakat adat itu sendiri,” kata dia.
Adanya
keterwakilan masyarakat adat
di Senayan akan memberikan kemudahan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat adat untuk membentuk suatu kebijakan yang baik.
Neni juga menyinggung, momentum revisi UU Pemilu bisa dijadikan untuk membuat kebijakan afirmatif terkait hak dipilih dan hak memilih masyarakat adat.
Regulasi tersebut bisa jadi tak seluas afirmasi keterwakilan perempuan pada pemilihan legislatif, tapi lebih kepada keterbukaan kesempatan masyarakat adat jika hendak mencalonkan diri.
“Di situ tuh misalnya ada klausul, ada khusus misalnya poin yang menjelaskan tentang terbuka untuk teman-teman juga masyarakat adat ikut dicalonkan dan mencalonkan,” imbuh dia.
Hal ini perlu dilakukan karena tidak menutup kemungkinan masyarakat adat ada yang juga ingin menyuarakan pendapat mereka di parlemen layaknya Suku Maori di Selandia Baru, tetapi kesempatan itu tak pernah dibuka oleh partai politik.
“Tapi, kalau ruangnya ditutup, ruangnya disumbat, sulitlah mereka untuk bisa mengimplementasikan itu semua,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.