Jakarta (ANTARA) – Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Riyanto menyatakan pemerintah perlu menerapkan insentif untuk kendaraan berbasis listrik, seperti battery electric vehicle (BEV) dan hybrid EV (HEV), dengan prinsip yang setara.
“Segmen ini perlu diberikan kebijakan yang lebih fair dengan basis reduksi emisi dan TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Insentif untuk HEV saat ini belum fair,” kata Riyanto dalam pernyataan di Jakarta, Senin.
Saat ini insentif yang diberikan untuk BEV yakni berupa pembebasan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) nol persen dengan tujuan untuk tes pasar, namun yang menikmati insentif itu kebanyakan kendaraan listrik impor.
Sedangkan kendaraan hybrid yang diproduksi di dalam negeri hanya mendapat insentif serupa 3 persen.
Menurut dia, dorongan terhadap insentif kendaraan hybrid juga menjadi relevan karena semakin banyak produsen yang telah merakit model hybrid secara domestik dengan TKDN yang cukup tinggi.
Honda misalnya, kini merakit HR-V e:HEV di pabriknya di Karawang, Wuling Indonesia memproduksi Almaz Hybrid di Bekasi, dan terbaru Toyota resmi merakit Veloz Hybrid secara lokal.
Kehadiran model-model hybrid rakitan lokal ini telah menyerap ribuan tenaga kerja, mulai dari lini produksi, rantai pasok komponen, hingga sektor logistik dan penjualan.
Menurut dia, aktivitas produksi yang terus meningkat ini berkontribusi langsung pada perputaran ekonomi nasional, terutama karena rantai pasoknya lebih panjang dibanding kendaraan impor utuh.
Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
Editor: Zaenal Abidin
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
