Tolak Perampasan Ruang Hidup, Warga Pulau Pari Akui Pernah Ditahan 19 Hari
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Bobby
, warga
Pulau Pari
, Kepulauan Seribu, mengungkapkan pengalaman
kriminalisasi
yang pernah ia alami saat memperjuangkan ruang hidup masyarakat setempat dari dugaan
perampasan lahan
dan laut oleh oknum pemerintahan.
Ia mengaku pernah ditahan selama 19 hari dan kerap menerima tekanan maupun bujukan agar menghentikan perjuangannya. Bobby menceritakan pengalamannya dalam sesi Diskusi Publik Peringatan Hari HAM di LBH Jakarta, Sabtu.
“Bahkan saya sendiri, orang yang sudah pernah ditahan di Polres Jakarta Utara selama 19 hari,” kata Bobby dalam sesi diskusi Publik Peringatan Hari HAM di LBH Jakarta, Sabtu.
Ia menyebutkan, berbagai ancaman sempat diterimanya dari pihak yang diduga terlibat dalam konflik lahan di Pulau Pari. Namun tekanan tersebut tidak membuatnya mundur. Bobby menilai tindakan represif justru semakin memperkuat tekad warga untuk menolak perampasan ruang hidup mereka.
“Saya justru semakin berani, semakin tahu kebusukan-kebusukan mereka,” ujar dia.
Selain ancaman, Bobby menuturkan adanya upaya persuasif bernuansa suap yang ditujukan kepadanya agar tidak lagi menolak proyek yang dipersoalkan warga. Ia mengaku pernah ditawari uang hingga fasilitas pribadi bernilai besar.
“Saya pernah mau digaji Rp16 juta per bulan. Saya mau dibuatkan rumah yang mewah, mau dikasih uang. Sampai saat ini, saya masih ditawarkan. Mau berapa sudut,” ungkapnya.
Bobby juga menggambarkan penyempitan ruang gerak warga, terutama nelayan Pulau Pari. Aktivitas sederhana seperti menepi ke pulau kosong kini tidak lagi bebas dilakukan.
“Sekarang pun enggak bisa lagi. Dan ruang-ruang gerak itu sudah dibatasi oleh mereka,” katanya.
Dampak lain dari terbatasnya akses ruang hidup adalah turunnya hasil tangkapan ikan secara drastis.
“Yang tadinya kita hasil tangkapan kita, misalkan 100 ribu, bisa dikatakan cuma 30 ribu, artinya mengurang,” ujar Bobby.
Dalam kesempatan yang sama, Bobby kembali menegaskan bahwa dugaan perampasan ruang hidup itu sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Warga Pulau Pari, yang telah menetap selama delapan generasi, sejak lama memiliki girik dan membayar ipeda sebagai bukti administrasi lahan.
Namun, pada awal 1990-an, dokumen tersebut ditarik pemerintah dengan janji akan diganti sertifikat hak milik (SHM). Sertifikat yang dijanjikan tidak pernah diberikan. Sebaliknya, warga justru mengetahui bahwa hak atas lahan itu berpindah ke pihak lain dan menjadi dasar legalitas perusahaan.
“Di tahun 90-an, kalau nggak salah, 1992, itu ditarik oleh pemerintahan yang katanya bakal diganti dengan SHM,” kata dia.
Warga kemudian melaporkan persoalan itu ke berbagai lembaga, termasuk Ombudsman Jakarta. Lembaga tersebut, kata Bobby, menemukan adanya dugaan maladministrasi dalam penerbitan sertifikat lahan.
“Bahwa terbitnya SHM di Pulau Pari, yang dimiliki oleh perusahaan itu, maladministrasi cacat hukum,” ujar Bobby.
Upaya hukum juga pernah ditempuh melalui gugatan ke PTUN Jakarta Timur. Namun, gugatan itu ditolak.
“Ternyata kami kalah. Engggak tahu sebabnya apa, karena kalah gitu kan,” kata dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/11/29/692ad5bcb624b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)