5 Negara Tetangga RI Goyah, 3.000 Gerai Makanan Bangkrut Internasional

5
                    
                        Negara Tetangga RI Goyah, 3.000 Gerai Makanan Bangkrut
                        Internasional

Negara Tetangga RI Goyah, 3.000 Gerai Makanan Bangkrut
Penulis
SINGAPURA, KOMPAS.com
– Sepanjang 2024, lebih dari 3.000 gerai makanan dan minuman di Singapura berhenti beroperasi atau gulung tikar. Jumlah ini menjadi yang tertinggi sejak tahun 2005.
Fenomena ini mencerminkan tekanan berat yang dialami sektor kuliner “Negeri Singa”. Pelaku usaha menyebutkan, kenaikan biaya operasional dan lemahnya permintaan menjadi kombinasi yang semakin sulit untuk dihadapi.
Salah satu bisnis yang akan tutup dalam waktu dekat adalah Wine RVLT, bar anggur yang telah beroperasi hampir delapan tahun di Carpenter Street. Gerai ini akan ditutup setelah masa sewanya berakhir pada akhir tahun.
“Kami mengandalkan belas kasihan pemilik gedung. Kami tidak punya banyak kekuatan untuk bernegosiasi karena kami hanya mengelola satu lokasi,” ujar Ian Lim, Direktur sekaligus salah satu pendiri Wine RVLT, dikutip dari
CNA
.
Menurut Lim, kenaikan biaya operasional terjadi secara perlahan dalam beberapa tahun terakhir, sedangkan harga jual tetap dipertahankan. Hal itu membuat model bisnis mereka tidak lagi berkelanjutan.
Dalam unggahan di Instagram, para pemilik menyebut penutupan Wine RVLT sebagai momen refleksi.
Mereka mempertanyakan apakah kualitas
makanan
mereka menurun, kurang kreatif, atau apakah layanan yang diberikan menjadi dingin dan tidak tulus.
“Sebagai operator, saya rasa kami masih berusaha memperbaiki diri, tetapi yah begitulah,” kata Lim.
Ini menunjukkan adanya pertumbuhan usaha baru, tetapi juga menciptakan persaingan yang makin sengit.
Presiden Asosiasi Restoran
Singapura
, Benjamin Boh, menyampaikan bahwa persaingan di sektor ini memang sangat ketat.
Di sisi lain, jumlah pelanggan yang tersedia justru semakin berkurang.
“Banyak warga Singapura kini lebih memilih ke Johor Bahru (Malaysia) untuk mendapatkan makanan lebih murah,” ujar Boh, seperti dikutip dari
The Straits Times
.
Menurutnya, tantangan lain datang dari biaya sewa yang tinggi, kekurangan tenaga kerja, serta penerapan Model Upah Progresif yang menambah beban operasional. Ia juga menyoroti pentingnya sentuhan manusia dalam bisnis kuliner.
“Sentuhan manusia sangat penting dalam makanan dan minuman, dan teknologi hanya bisa berkembang sampai batas tertentu,” kata Boh.
Sementara itu, Profesor Madya Lau Kong Cheen dari Singapore University of Social Sciences menilai, banyak pelaku usaha kuliner masuk ke industri ini karena terdorong hasrat untuk menjadi bos, tanpa menyiapkan model bisnis yang matang.
“Mereka mungkin dibutakan oleh keinginan untuk menjalankan usaha sendiri, tetapi tidak merancang strategi jangka panjang yang menguntungkan,” ujarnya.
Lau menekankan pentingnya efisiensi operasional bagi bisnis yang ingin bertahan. Ia menyarankan agar pelaku usaha menjaga biaya sewa tidak melebihi 20 persen dari total pengeluaran, dan menerapkan otomatisasi untuk menghemat biaya tenaga kerja.
Selain itu, pelaku usaha juga perlu terus mengembangkan pasar melalui strategi pemasaran yang efektif dan memperluas layanan ke sistem pesan antar makanan.
Sumber: Kompas.com (Penulis: Danur Lambang Pristiandaru | Editor: Danur Lambang Pristiandaru)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.