Atap Bocor dan Banjir Tak Menghalangi Frido Mengajar di Sanggar Pijar untuk Anak-anak Kelompok Marjinal di Surabaya
Tim Redaksi
SURABAYA, KOMPAS.com
– Terkadang, sosok guru tidak harus berbalut seragam atau bekerja di bawah atap bangunan sekolah megah.
Guru juga bukan hanya sosok dengan gelar pendidikan berlapis untuk mengajarkan sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan.
Terkadang, guru juga dikenal di tengah-tengah kampung padat penduduk dengan ekonomi ke bawah dan kelompok terpinggirkan.
Itulah yang dilakukan
Frido Yoga
(39), pengajar sekaligus salah seorang pendiri
Sanggar Pijar
Surabaya
.
Tanpa bet seragam yang ternama, ia mengajarkan anak-anak yang tinggal di pinggiran rel kereta Jalan Tambak Mayor Utara, Kecamatan Asemrowo, Surabaya, Jawa Timur.
Padahal, mereka masih harus menumpang rumah warga dengan atap yang sering bocor dan banjir menggenang kala hujan. Tapi itu tak mematahkan semangat Frido untuk mencerdaskan generasi bangsa.
Sanggar Pijar merupakan sebuah lembaga belajar nonformal bagi anak-anak dari kalangan keluarga ekonomi bawah, anak yatim piatu, hingga kelompok marjinal.
Ia menuturkan, seringkali kegiatan belajar mengajar terpaksa diliburkan karena Kawasan Tambak Mayor selalu menjadi langganan banjir saat musim hujan tiba.
“Setiap banjir, sekolah-sekolah termasuk kegiatan sanggar terpaksa libur,” ungkapnya, saat dihubungi Kompas.com.
Selain mengganggu mobilitas, banjir juga meningkatkan potensi penyebaran penyakit karena air selokan dan sampah yang meluap.
“Masyarakat, terutamanya anak-anak, menjadi rawan terserang penyakit karena banyak sampah-sampah yang meluap terbawa arus air,” tutur dia.
Frido menceritakan mulanya saat masih bergabung dengan Serikat Buruh pada tahun 2020, dia diajak oleh seorang teman untuk membantu mengolah Sanggar Pijar.
“Awalnya cuma diminta untuk membantu, ya sebagai pengajar, kadang juga sebagai pengurus kalau ada acara-acara di sanggar,” jelas Frido saat dihubungi Kompas.com.
Ada sekitar enam orang, termasuk Frido sebagai pelopor pendirian sanggar tersebut.
Awalnya hanya berbentuk kelompok belajar kecil di kampung Tanjungsari Jaya, Kecamatan Sukomanunggal, Surabaya, Jawa Timur.
Tujuannya, memberikan akses dan kesempatan anak-anak di wilayah tersebut memperoleh pendidikan yang layak, serta mengembangkan bakat dan kemampuan mereka.
Meskipun kala itu pandemi Covid-19 melanda Indonesia, kegiatan belajar mengajar di sanggar tetap berlangsung sebisa mungkin.
“Jadi ya lumayan ribet juga sih, ada pembatas, pakai masker, tapi mau gimana lagi,” tuturnya.
Walaupun hanya beralaskan lapangan umum dan papan tulis sederhana, tidak menyurutkan semangat 20 siswa yang belajar di Sanggar Pijar.
“Jadi belajar kita memang biasanya di lapangan, kadang balai RT tapi tempatnya terlalu sempit dengan jumlah anak yang semakin banyak,” ujarnya.
Karena kurangnya fasilitas yang memadai ditambah kondisi pandemi yang semakin buruk, memaksa Sanggar Pijar vakum pada tahun 2022 hingga Agustus 2024.
“Selama itu juga banyak teman-teman yang dari Serikat Buruh itu keluar, akhirnya sekarang saya yang menjadi koordinator meneruskan,” jelasnya.
Saat Sanggar Pijar aktif kembali, markas berpindah ke perkampungan di Jalan Tambak Mayor Utara, Surabaya.
Beruntungnya ada salah seorang warga sukarela mau meminjamkan rumahnya untuk tempat belajar Sanggar Pijar.
“Kan memang target kita masyarakat ekonomi bawah dan terbatas, kebetulan juga di sini ada warga yang secara sukarela mau menampung kami selama kegiatan belajar mengajar,” paparnya.
Kini, Sanggar Pijar semakin berkembang dan berlokasi di dua tempat yakni di Jalan Tambak Mayor Utara dan Pulo Wetan, Kecamatan Wonokromo dengan siswa berumur antara 7 hingga 13 tahun.
Kelasnya dimulai setiap hari Sabtu sekitar pukul 15.00-18.00 WIB.
“Kalau di Tambak Mayor ada sekitar 16 murid, kalau di Wonokromo sekitar 10 sampai 15 siswa,” sebutnya.
Pria yang bekerja sebagai ojek online (ojol) itu menerangkan, alasan dirinya tetap bertahan sebagai pekerja sosial karena kesadaran sosial yang didapatkannya sejak bergabung dengan Serikat Buruh.
“Dulu kan saya di Serikat Buruh juga aktif dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, literasi dan isu HAM yang lingkupnya juga masyarakat kelas bawah,” terangnya.
Meski demikian, ia kerap kali harus mendapati kendala biaya untuk mengembangkan kegiatan sanggar.
“Kadang mau gak mau kita harus rogoh dari kantong sendiri, tapi kalau sekarang kita biasanya ada kas dari anak-anak seikhlasnya itu digunakan untuk beli buku, spidol, pensil mereka,” jelasnya.
Terlepas dari itu, Frido merasa senang setiap kali melihat perkembangan diri para muridnya.
“Ada yang dulu salah satu anak awalnya takut sampai nangis dengan matematika, tapi sekarang sudah mulai berani,” ucapnya.
Ia berharap, ke depannya pemerintah dapat lebih memperhatikan nasib para pekerja sosial di Indonesia karena terdapat kontribusi dan dampak yang cukup besar kepada masyarakat.
“Termasuk saat pemerintah mencanangkan sekolah rakyat, menurut saya kenapa engga dari sanggar-sanggar pendidikan yang ada saja dikembangkan dulu,” tutupnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/11/10/6911bdafb4acc.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)