Kisah Asep, Penjaga Makam di Bandung, Ikhlas Merawat meski Tanpa Upah
Tim Redaksi
BANDUNG, KOMPAS.com
– Matahari pagi baru saja muncul dari ufuk timur, tetapi langkah Asep Supriatna (66) sudah menapaki tanah merah di Pemakaman Sindangsari, Kelurahan Cipadung Kulon, Kota Bandung, Jawa Barat.
Berbekal cangkul, celurit, sapu lidi, dan sebungkus rokok, ia membersihkan makam-makam yang kotor dan sudah dipenuhi dedaunan kering.
Hal itu dilakukan Asep setiap hari Jumat sejak tahun 2015 saat dirinya dipercaya oleh aparat kelurahan dan orang yang mewakafkan tanah tersebut untuk menjaga pemakaman.
“Saya di sini hampir ada 10 tahunan, kan saya pengurus generasi ketiga di sini. Saya
mah
pertama sudah ditunjuk sama kelurahan di SK-kan, terus diminta juga sama yang mewakafkan,” kata Asep saat ditemui di
Pemakaman Sindangsari
, Cipadung Kulon pada Jumat (21/11/2025).
Ditemani enam rekannya, ia membersihkan banyak makam dari rumput-rumput yang panjang, dedaunan kering, bahkan sampah berserakan.
Tak jarang juga ia diminta untuk merenovasi makam yang sudah rusak dan lapuk karena waktu agar nisan tetap terlihat oleh peziarah.
Asep tak pernah mendapat sepeser gaji dari pekerjaan itu, tetapi ia tetap ikhlas menjalani pekerjaan sebagai
penjaga makam
.
Ia menganggap pekerjaannya sebagai
ladang amal
soleh untuk bekal di akhirat kelak.
“Jadi, saya tuh enggak digaji. Pas diminta akhirnya saya merekrut anggota, tetapi katanya enggak digaji. Saya bilang enggak apa-apa-lah, amal soleh saja ini
mah
sekalian membersihkan,” ucap dia.
Untuk pemeliharaan alat dan makanan pekerja saat membersihkan makam, ia mengandalkan uang kas pengelolaan yang bersumber dari tarif
ziarah
Rp 30.000 per makam.
Tarif yang masih terbilang murah itu dipasang melalui karcis resmi berstempel dan diketahui oleh pihak RT dan RW.
“Jadi enggak dipungut biaya, tetapi kaya karcis gitu, tiap keluarga yang mau ziarah itu Rp 30.000 per makam. Nah, uang kas itu nanti fungsinya kaya sekarang, bersih-bersih, ada sedikit sisa belikan makanan, belikan rokok, belikan air untuk yang bersih-bersih,” tutur Asep.
Meski demikian, tak jarang juga ada peziarah yang komplain terkait adanya tarif.
Padahal, tarif yang ditetapkan tidak sebanding dengan pekerjaan mereka dalam menjaga dan membersihkan makam.
Apalagi, jika dirinya bersama enam rekannya harus digaji per bulan oleh kelurahan atau ahli waris untuk mengurus pemakaman tersebut.
“Jadi, kalau ada yang protes tinggal tunjukkin aja capnya, bukan cap sembarangan, jadi bukan ilegal,” tegas dia.
Asep sendiri hanya mengambil keuntungan berupa honor dari uang kas saat musim “boboran” atau ziarah sebelum Idul Fitri tiba.
Biasanya dalam musim tersebut, banyak peziarah yang datang ke makam.
Tak jarang dari tarif yang dipasang itu menghasilkan hingga Rp 6 juta hingga Rp 7 juta.
Namun, uang tersebut tidak dipegang semua oleh dirinya.
Asep harus membagi uang tersebut kepada enam rekan kerjanya, pihak RT atau RW, nadir, serta pihak keamanan seperti hansip dan linmas yang tak jarang meminta bagian kepada dirinya.
Sering kali ia akhirnya hanya mendapat upah bersih Rp 500.000 dari hasil tarif karcis pada musim
boboran.
Sementara itu, untuk tambahan sehari-hari, terkadang ia menerima upah dari menguburkan jenazah.
Asep tidak pernah mematok tarif dalam menguburkan jenazah. Keluarga yang ditinggalkan boleh memberi Asep seikhlasnya, baik berupa uang maupun makanan untuk membayar keringat yang telah dikeluarkan.
Namun, tak jarang ada keluarga yang lebih memilih memberi uang kepada dirinya.
Biasanya Asep menerima sekitar Rp 2 juta, itu pun terkadang tidak diambil semua oleh Asep.
Uang tersebut dibagi kepada rekan lainnya yang ikut bekerja menguburkan, uang kas, serta konsumsi saat menggali lubang dan menguburkan jenazah.
“Sekarang dari yang minta
nguburin
enggak dipatok sama saya,
gimana
dikasihnya saja. Jika ada yang nanya tarif, silakan saja berapa, kalau nanya lagi biasanya berapa, baru dijawab Rp 2 juta kalau orang luar biasanya,” tuturnya.
“Untuk warga sini bebas saja seikhlasnya, kadang ada yang
ngasih
Rp 100.000 atau Rp 150.000 per orangnya,
gimana
kesanggupan orangnya,” ucap Asep.
Selain itu, ia juga terkadang menerima sedekah dari orang dermawan yang memberi makanan atau minuman kepada dirinya dan penjaga makam lain saat membersihkan atau menjaga makam.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Kisah Asep, Penjaga Makam di Bandung, Ikhlas Merawat meski Tanpa Upah Bandung 25 November 2025
/data/photo/2025/11/24/69243008678be.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)