Potret Kaum Marginal di Jakarta: Diusir dari Kolong, “Terdampar” di Trotoar
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di trotoar sempit yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki, Ale (40) duduk bersandar pada dinding penuh coretan grafiti.
Terlihat barang-barang miliknya tas, kantong plastik, dan gerobak kayu menempel di sampingnya.
“Sudah hampir dua tahun saya di sini. Awalnya cuma numpang lewat nyari barang bekas, tapi lama-lama susah, jadi saya bertahan saja,” kata Ale warga kolong asal Bogor, saat ditemui
Kompas.com
di tepi rel Jalan Latuharhary, Menteng,
Jakarta
Pusat, Jumat (21/11/2025).
Tak jauh dari lokasi itu, tumpukan karung dan kantong plastik hitam berisi barang bekas tampak rapi, siap dijual kembali.
Seorang pria tampak memilah botol plastik, kardus, dan barang bekas lainnya, aktivitas yang menjadi sumber nafkah sehari-hari.
Dua gerobak kayu besar yang sudah usang berdiri di dekatnya, menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan.
Setelah beberapa kali dipindahkan dari kolong jembatan oleh petugas, mereka kini mengisi celah publik trotoar dan tepi rel untuk bertahan hidup.
Karno (50), asal Banyumas, Jawa Tengah, sudah hampir tiga tahun hidup di tepi rel setelah penertiban kolong jembatan dekat stasiun.
“Awalnya tidur di kolong jembatan, tapi sering ada penertiban. Akhirnya pindah ke tepi rel di sini. Agak aman, walau tetap harus waspada kalau malam,” ujar dia.
Sukinem (38), perempuan asal Brebes, menceritakan pengalamannya yang berbeda. Ia datang ke Jakarta sendiri, meninggalkan anak-anaknya yang tinggal bersama orang tua di kampung.
“Suami sudah tidak ada. Saya ke sini untuk cari uang. Kalau ada lebih, saya kirim. Tapi sehari-hari cukup buat makan. Kalau hujan atau banyak penertiban, ya tidak dapat apa-apa,” ujar dia sambil menata gerobak berisi kardus dan botol plastik.
Sementara Sarwono (42) memilih pertigaan setelah kantor Komnas HAM sebagai tempat tinggal sementara bersama istri dan anaknya.
“Kami tidur bertiga di pojokan pertigaan, pakai terpal dan kardus. Malam jarang tidur pulas, harus jaga anak dan barang. Dekat sini lebih mudah kerja, dekat kantor dan jalan-jalan Menteng,” ujar dia.
Bagi mereka, pindah ke trotoar dan tepi rel bukan pilihan ideal, tapi terpaksa karena tidak ada alternatif tempat tinggal.
Meski sempit dan berisiko, lokasi ini dianggap lebih aman daripada tidur di kolong jembatan yang sering menjadi sasaran penertiban.
Hidup di jalanan berarti harus kreatif mencari penghasilan.
Warga kolong mengandalkan barang bekas, botol plastik, kardus, dan sisa makanan dari pedagang pasar atau kantor di sekitar Menteng.
“Kalau ada acara kantor atau pasar buang botol plastik, satu gerobak bisa dapat Rp 15.000. Kalau sepi, cuma Rp 7.000,” kata Ale.
Pendapatannya juga tak menentu.
Jika sedang banyak barang bekas, ia bisa mengantongi Rp 50.000. Paling sedikit, ia mendapat Rp 10.000.
Uang tersebut hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Sementara Sukinem memiliki penghasilan yang lebih terbatas.
“Rata-rata Rp 30.000–40.000. Kalau hujan atau ada penertiban, ya tidak dapat apa-apa. Yang penting bisa dikirim sedikit ke anak di kampung,” ujarnya.
Pendapatan yang tidak menentu memaksa warga kolong hidup sederhana, berbagi barang, dan memaksimalkan apa yang mereka miliki.
Gerobak dan karung menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan sementara barang-barang mereka.
Kasatpol PP Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, memastikan penertiban dilakukan secara humanis.
“Saat ini kami hanya melakukan penjangkauan dan patroli rutin. Kalau ada yang bandel, baru dilakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi PMKS, mereka dikirim ke panti sosial,” jelasnya.
Patroli rutin dilakukan tiap hari untuk menjaga ruang publik tetap aman.
Namun kenyataannya, warga kolong tetap kembali ke trotoar atau tepi rel karena tidak memiliki alternatif tempat tinggal permanen.
Ningsih (45), pemilik warung di dekat lintasan rel Jalan Guntur, mengamati fenomena ini dari dekat.
“Kalau hujan, mereka pergi sebentar, lalu balik lagi. Ada bantuan pemerintah, tapi memang tidak mengubah pilihan mereka. Tetap hidup di jalan,” ujarnya.
Warga sekitar sudah terbiasa melihat aktivitas warga kolong.
“Liat saja mereka, kadang ke Pasar Rumput berpindah-pindah. Ada yang sama anaknya, ada yang berdua sama istrinya, atau ada yang sendiri,” ujar Ningsih.
Sedangkan Riyan (31), ojek pangkalan di sekitar lokasi juga berpendapat mengenai keberadaan warga kolong.
“Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya uang untuk tempat tinggal. Kalau tidak ada pilihan, mereka balik lagi ke kolong atau trotoar,” kata dia.
Bagi warga kolong, Menteng dan sekitarnya bukan hanya sekadar lokasi, tetapi juga sumber mata pencaharian.
“Kalau jauh dari sini, istri dan anak saya susah kalau hujan atau ada apa-apa. Dekat sini lebih mudah kerja mulung plastik dan kardus,” kata Ale.
Menurut pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, warga kolong memilih lokasi strategis karena faktor ekonomi dan keamanan.
“Mereka memilih tempat yang relatif aman dari razia Satpol PP, tidak mengganggu permukiman warga, dan dekat dengan mata pencaharian,” ujar Yayat saat dihubungi Kompas.com, Jumat.
Keberadaan komunitas juga penting.
Dukungan komunitas memungkinkan warga kolong berbagi ruang, menjaga keamanan barang-barang mereka, dan mengurangi risiko gangguan dari aparat maupun warga sekitar.
Selain itu, lokasi yang dekat fasilitas umum, seperti WC publik atau taman, juga memudahkan mereka memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
“Gerobak berfungsi ganda sebagai tempat tinggal sekaligus alat kerja. Mereka memilih tempat dekat fasilitas umum untuk kebutuhan sanitasi,” tutur Yayat.
Menurut Yayat Supriyatna, strategi warga kolong mencerminkan adaptasi terhadap keterbatasan ekonomi dan ruang kota.
“Mobilitas mereka terbatas, radius aktivitas sekitar 1–3 km, dan biasanya menempati lokasi yang dianggap paling aman mulai jam 8 pagi hingga malam,” ujar dia.
Yayat menekankan, perilaku warga kolong tidak sekadar soal kemiskinan, tetapi juga tentang pemahaman terhadap ruang kota.
“Kelompok ini termarginalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi,” kata dia.
Lokasi yang dipilih bukan sembarangan.
“Mereka memahami wilayah itu secara teritorial, mengatur hidup secara kolektif, dan menempati lokasi pada jam-jam paling aman. Ini strategi bertahan hidup kelompok termarjinalkan yang sangat pragmatis,” ujar Yayat.
Fenomena warga kolong di Menteng dan sekitar lintasan rel menjadi contoh nyata kompleksitas urban Jakarta.
Kota yang berkembang pesat dengan kawasan elite tetap menyisakan ruang bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, memaksa mereka mengisi celah-celah kota yang bersifat publik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Potret Kaum Marginal di Jakarta: Diusir dari Kolong, "Terdampar" di Trotoar Megapolitan 24 November 2025
/data/photo/2025/11/21/692042d08945d.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)