Ketika Pemulung Raup Miliaran Rupiah dari Botol Plastik Megapolitan 23 November 2025

Ketika Pemulung Raup Miliaran Rupiah dari Botol Plastik
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        23 November 2025

Ketika Pemulung Raup Miliaran Rupiah dari Botol Plastik
Penulis

TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com –
Deretan karung putih berisi ribuan botol plastik bekas memenuhi halaman luas tak jauh dari TPA Cipeucang, Serpong, Tangerang Selatan.
Di tempat inilah Koperasi
Pemulung
Berdaya, yang juga dikenal sebagai Recycle Business Unit (RBU) Serpong, mengolah limbah botol plastik PET menjadi sumber nafkah bagi ribuan pemulung di Jabodetabek.
Setiap hari, botol-botol plastik dari ratusan lapak, bank
sampah
, restoran, hingga perkantoran datang bergantian ke lokasi tersebut.
Semua botol dibongkar, dipilah, dan dicacah hingga siap dijual kembali sebagai bahan baku industri. Volume pengelolaan yang awalnya hanya sekitar 5 ton per bulan kini melonjak hingga 150 ton per bulan.
Sekretaris Koperasi Pemulung Berdaya, Julaeha (35), menjelaskan bahwa unit ini awalnya berdiri sebagai program CSR Danone pada 2010 sebelum berubah menjadi koperasi pada 2013.
“Kalau anggota yang kerja langsung di sini (koperasi pemulung) ada 53 orang,” ujarnya.
Menurutnya, sekitar 4.000 pemulung di Jabodetabek terhubung ke koperasi melalui jaringan para pelapak.
Setiap hari masuk sekitar 6 ton botol plastik, dengan tingkat kelolosan pemrosesan mencapai 90 persen.
Sisanya dikembalikan ke pelapak karena tidak memenuhi standar kualitas, mulai dari warna, bau, label, hingga kondisi fisik.
“Sebenernya untuk omzet sih kalau pas lagi banyak barang ya, kita bisa Rp 1,2 miliaran, tapi kalau lagi sepi ya paling berapa gitu kan ga sampai segitu,” kata Julaeha.
Namun, ia menegaskan bahwa angka tersebut adalah pendapatan kotor.
“Jadi belum tentu juga untung. Usaha daur ulang itu kompleks,” ujarnya.
Pendapatan itu masih harus dibagi untuk berbagai kebutuhan operasional, seperti gaji karyawan, listrik, logistik, hingga perawatan mesin.
Dalam beberapa tahun terakhir, omzet koperasi turun hingga ratusan juta rupiah akibat naiknya biaya operasional, persaingan harga bahan baku, masalah mesin, serta penyusutan bahan baku 10–15 persen.
Banyak pekerja, terutama ibu rumah tangga, mengaku bisa memperbaiki taraf ekonomi keluarga sejak bergabung.
Ada yang berhasil menyekolahkan anak hingga jenjang sarjana, membangun kontrakan, bahkan membeli sawah di kampung.
Sementara para pemulung umumnya menjual 5–10 kilogram botol PET per setoran dengan harga beli Rp 5.000 per kilogram, memberikan pemasukan rutin yang membantu kebutuhan harian.
Koperasi Pemulung Berdaya kini tak hanya mengelola botol plastik PET. Tahun depan, mereka merencanakan perluasan ke pengelolaan karton, HDPE, dan sampah multilayer.
Jaringan lapak dan pemasoknya pun telah meluas hingga Bekasi, Sukabumi, Gunung Sindur, dan Labuan Bajo.
Dengan aktivitas yang terus berkembang, Julaeha berharap semakin banyak daerah memiliki fasilitas pengolahan mandiri agar beban sampah plastik tidak lagi bertumpuk di TPA.
“Sampah itu kalau dipilah benar, nilainya naik. Kalau nyampur, nilainya kecil. Tapi kalau dipilah, bisa jauh lebih tinggi. Bisa jadi cuan banget,” ujarnya.
(Reporter: Intan Afrida Rafni | Editor: Akhdi Martin Pratama)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.