Di Balik Keindahan Monas, PKL Bertahan Hidup Sambil Terus Kucing-kucingan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Kerapian kawasan Monumen Nasional (Monas) kembali dipertanyakan setelah deretan pedagang kaki lima (PKL) dan pedagang asongan memenuhi akses masuk IRTI Monas, Jakarta Pusat.
Di tengah gencarnya penataan oleh Pemprov DKI, kerumunan pedagang justru menjadi pemandangan yang kontras dengan wajah Monas yang semakin tertata.
Deru kendaraan dari Jalan Medan Merdeka tak mampu meredam riuhnya suasana di pintu masuk Monas siang itu. Wisatawan datang silih berganti, ada yang membawa anak kecil berlari menuju gerbang, ada pula yang sibuk berfoto dengan latar Monumen Nasional.
Namun, di balik keriuhan itu, pemandangan lain langsung mencuri perhatian, yaitu pedagang asongan dan PKL yang memadati kiri-kanan jalur masuk. Meski beberapa tahun terakhir Monas terlihat lebih rapi, para pedagang tetap bermunculan—bertahan, berpindah, bahkan kucing-kucingan dengan petugas.
Sejumlah wisatawan mengaku tidak keberatan dengan kehadiran pedagang, karena mereka merasa terbantu. Namun, mereka juga menilai kondisi pintu masuk menjadi semrawut.
Rama (26) pekerja swasta yang datang bersama temannya dari Bandung, mengaku terkejut sekaligus bingung melihat pemandangan pedagang yang ia jumpai.
“Masuk dari pintu utara, kiri-kanan langsung ada pedagang duduk. Saya enggak terlalu terganggu, mengerti ini tempat ramai. Tapi kalau pengunjung banyak, jadi agak sempit,” ujar Rama, Kamis (20/11/2025).
Ia melihat beberapa pedagang tampak waspada seolah takut razia. Meski begitu, ia tetap membeli minuman karena akses ke IRTI cukup jauh.
“Jujur membantu. Kalau harus ke IRTI itu jauh,” katanya.
Menurut dia, penataan kawasan Monas perlu konsisten, tidak terlalu steril namun tidak juga dibiarkan semrawut.
Cinta (38), pengunjung lain asal Bekasi, merasakan hal serupa. Ia tidak mempermasalahkan pedagang minuman atau mainan anak, tetapi jalur masuk menjadi kacau.
“Beberapa kali saya mesti menepi karena kerumunan kecil di depan pedagang es krim,” ujarnya.
Ia melihat petugas Satpol PP lewat, tetapi pedagang tampak tetap bertahan.
“Kasihan juga kalau mereka harus kucing-kucingan terus,” ungkapnya.
Ferdy (19) juga menilai pedagang adalah hal biasa, tetapi merasa terganggu ketika ada pedagang yang mengikuti sambil menawarkan barang.
“Beberapa pedagang nawarin minum sambil ngikutin sedikit. Itu agak mengganggu,” katanya.
Ia turut mendengar keluhan pedagang soal razia dan berharap aturan lebih manusiawi diberlakukan.
Tati (47), pedagang minuman yang sudah lebih dari sepuluh tahun berjualan di sekitar Monas, mengaku tidak punya pilihan selain duduk di pintu masuk.
“Kalau jauh sedikit saja, pembeli enggak nengok. Saya enggak punya modal buat sewa kios,” katanya.
Ia membawa dua kantong besar berisi air mineral, teh botol, dan kopi sachet.
“Kalau hujan, bubar. Kalau razia, baru buka sedikit sudah disuruh pindah,” ujarnya.
Penertiban sering membuatnya tertekan. Menurut dia, aturan penertiban ketat membuat pedagang seperti harus hidup di bawah tekanan.
“Enggak pernah marah sama petugas. Mereka cuma jalankan tugas. Tapi tolong kasih kami tempat khusus dekat pintu,” katanya.
Pada momentum tertentu seperti demonstrasi di sekitar Patung Kuda, Tati memanfaatkan keramaian itu untuk berjualan. Setelah demo berakhir, biasanya dia akan kembali ke Monas.
Pedagang lain Rudi (41) menjual camilan dan mainan anak, pernah punya lapak di dekat IRTI. Namun sejak renovasi beberapa tahun lalu, ia tak bisa lagi masuk ke dalam.
“Kata pengelola nanti ada penataan UMKM. Tapi sampai sekarang enggak jelas,” ucapnya.
Setiap razia, ia mengangkat barang dagangannya dan berpindah ke balik tiang atau tembok untuk menghindari penyitaan. Ia menilai Monas seharusnya bisa menata pedagang, bukan menghilangkan mereka.
“Pengunjung juga beli kok. Artinya kami ada manfaatnya,” katanya.
Nana (32), pedagang permen kapas, mengaku tidak bisa lari saat razia karena barang jualannya besar.
“Jadi saya pura-pura enggak jualan,” ujarnya pelan.
Ia mengakui malu saat digusur di depan umum, namun kebutuhan keluarga membuat ia tetap kembali setiap hari.
Adapun Kamal (58) pedagang es krim dorong, mengaku termasuk yang paling kesulitan saat penertiban.
“Gerobak saya berat. Enggak mungkin kabur. Jadi saya duduk diam saja. Habis petugas pergi, saya buka lagi,” kata pria berusia 58 tahun itu sambil tertawa pahit.
Ia mengakui keberadaan gerobaknya memang mempersempit jalur masuk. Namun ia hanya berharap ada titik yang disediakan pemerintah.
“Kami enggak bandel. Kami cuma hidup,” ujarnya.
Sukma (63), pedagang senior, mengatakan hanya membutuhkan tempat kecil untuk berjualan tanpa diusir. Monas baginya adalah satu-satunya sumber pendapatan.
“Di seberang halte pernah saya coba jualan. Tapi enggak ada yang beli. Jadi balik lagi,” katanya.
Kepala UPK Monas, Muhammad Isa Sanuri, menegaskan pedagang tidak diperbolehkan berjualan di dalam maupun di pintu masuk kawasan Monas.
“Pedagang tidak ada yang masuk kawasan Monas. Tidak boleh ada transaksi jual beli,” ujarnya.
Satu-satunya area yang legal untuk kegiatan usaha adalah Lenggang Jakarta. Isa menyebut koordinasi dengan Satpol PP dilakukan secara rutin, khususnya dengan Satpol PP Kecamatan Gambir.
Penertiban memang kerap dilakukan, bahkan pada 2 Juli 2025 terjadi kericuhan kecil antara PKL dan petugas.
Kepala Satpol PP Jakarta Pusat saat itu, Tumbur Parluhutan Purba, menegaskan bahwa pihaknya wajib menjaga kawasan tetap steril.
“Ada sedikit cekcok karena PKL tidak mengindahkan petugas. Tapi kami lakukan penghalauan semaksimal mungkin, baik stasioner maupun mobile,” ujarnya waktu itu.
Pantauan
Kompas.com
pada Kamis siang menunjukkan pintu masuk Monas tampak semrawut. Jalur pedestrian di sisi pagar berubah menjadi “pasar kecil” spontan.
Pedagang duduk di pot beton, gerobak es krim mangkal di pilar gerbang, dan jajanan anak digantung di bilah bambu.
Di satu sisi, wisatawan tampak terbantu. Di sisi lain, papan larangan berdagang yang terpasang jelas tidak membuat pedagang berhenti.
Ketika petugas berseragam lewat, pedagang cepat gelisah—ada yang menunduk, ada yang mengemas dagangannya sebagian. Kontras antara ketegasan aturan dan kerasnya kebutuhan hidup tampak nyata.
Papan larangan berdagang dipasang jelas di dekat pintu, tetapi tidak membuat pedagang berhenti beraktivitas.
“Ya tetap saja namanya cari rezeki,” kata Kamal.
Monas, ikon wajah Ibu Kota, memperlihatkan tarik-menarik yang belum selesai, yakni wisatawan menginginkan kenyamanan, pengelola menuntut ketertiban, sementara pedagang membutuhkan ruang untuk bertahan hidup.
Hingga solusi permanen ditemukan, pemandangan pedagang memenuhi pintu masuk Monas tampaknya masih akan menjadi bagian dari denyut kawasan tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Di Balik Keindahan Monas, PKL Bertahan Hidup Sambil Terus Kucing-kucingan Megapolitan 21 November 2025
/data/photo/2025/11/20/691f2d6d9a2af.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)