Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Panitera Muda Nonaktif PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan menangis saat membacakan nota pembelaan atau pledoi pribadinya.
Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan karena ia punya empat anak yang masih kecil.
Diketahui, Wahyu dituntut 12 tahun penjara karena dinilai berperan aktif dalam
kasus suap hakim
pemberi vonis lepas atau ontslag kepada tiga korporasi crude palm oil (CPO).
“Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” ujar Wahyu dengan suara bergetar dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).
Wahyu mengatakan, saat ini, ia merupakan ayah dari empat orang anak. Mereka berusia 12 tahun, 7 tahun, 2 tahun, dan 1 tahun.
Anak Wahyu yang paling kecil masih belajar untuk mengenali wajah ayahnya. Pasalnya, ketika Wahyu ditahan Kejaksaan Agung pada April 2025 lalu, anak bungsu Wahyu ini baru berusia 4 bulan.
Wahyu mengatakan, anak-anaknya masih kecil dan membutuhkan sosok ayah untuk mengawal proses tumbuh dan kembangnya.
Ia mengaku, selama ini selalu berdoa agar anak-anaknya kelak bisa memahami kalau ayah mereka sedang berjuang untuk menebus dosanya.
Sambil menangis, Wahyu memohon agar majelis hakim dapat memberikan vonis ringan agar ia bisa membesarkan anak-anaknya.
“Kiranya yang mulia dapat menjatuhkan putusan yang seringan-ringannya kepada saya agar saya dapat memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, menata kembali kehidupan, dan membesarkan anak-anak saya dengan baik,” kata Wahyu sambil terisak.
Dalam pledoinya, Wahyu menyinggung kalau dirinya hanya perantara, bukan pengambil keputusan untuk penanganan perkara korupsi CPO.
“Yang mulia, di dalam perkara ini, saya hanyalah sebagai perantara, bukan pengambil keputusan dan bukan pihak yang menikmati keuntungan besar,” kata Wahyu.
Ia mengaku tidak berani menolak pihak-pihak yang memberikan arahan kepada, termasuk Ariyanto selaku pengacara korporasi CPO.
Namun, ia mengaku bersalah dan sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakannya.
Wahyu mengaku khilaf telah melakukan tindak pidana yang mencederai citra penegakan hukum di Indonesia, terutama di lingkup pengadilan.
“Saya sadar sepenuhnya bahwa perbuatan saya telah mencederai kehormatan lembaga peradilan, tempat saya mengabdi,” katanya.
Wahyu mengaku menyesal telah menerima suap dan ia memohon maaf kepada Mahkamah Agung, warga pengadilan di seluruh Indonesia, masyarakat, serta keluarganya.
Dalam kasus ini, Wahyu Gunawan dituntut 12 tahun penjara dengan dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan.
Wahyu merupakan jembatan antara pihak korporasi dengan pihak pengadilan.
Ia diketahui lebih dahulu mengenal Ariyanto yang merupakan pengacara korporasi CPO. Pada saat yang sama, Wahyu juga mengenal dan cukup dekat dengan Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta.
Karena peran aktifnya, Wahyu pun kecipratan uang suap senilai Rp 2,4 miliar.
Tapi, jaksa menuntut agar uang suap itu dikembalikan dalam bentuk uang pengganti. Jika tidak, harta benda Wahyu akan disita untuk negara. Ia juga diancam pidana tambahan kurungan 6 tahun penjara.
Adapun, Eks Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Karena menerima uang suap, Arif juga dituntut untuk membayarkan uang pengganti sesuai jumlah suap yang diterimanya, senilai Rp 15,7 miliar subsider 5 tahun penjara.
Lalu, majelis hakim penerima suap yang terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom masing-masing dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara.
Para hakim juga dituntut untuk membayar uang pengganti sesuai total uang suap yang diterimanya.
Djuyamto selaku ketua majelis hakim dituntut membayar uang pengganti senilai Rp 9,5 miliar subsider 5 tahun penjara.
Sementara, dua hakim anggotanya, Agam Syarif Baharudin dan Ali Muhtarom, masing-masing dituntut untuk membayar uang pengganti Rp 6,2 miliar subsider 5 tahun penjara.
Dalam kasus ini, para terdakwa diduga telah menerima suap dengan total uang mencapai Rp 40 miliar.
Kelima terdakwa diyakini telah melanggar Pasal 6 ayat 2 juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
9 Panitera PN Jakut Menangis Baca Pledoi, Singgung 4 Anak Masih Kecil dan Minta Vonis Ringan Nasional
/data/photo/2025/11/05/690b5c4503900.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)