Jakarta, Beritasatu.com – Pesatnya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia membawa peluang besar bagi perekonomian nasional. Namun, di sisi lain, kondisi ini juga membuka celah bagi meningkatnya ancaman kejahatan siber.
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Nugroho Sulistyo Budi, mengingatkan pentingnya memperkuat sistem keamanan data agar transformasi digital dapat berjalan secara aman dan berkelanjutan.
“Satu catatan bahwa di balik berbagai macam nilai positif dari digitalisasi data, terdapat ancaman yang harus disikapi, diantisipasi, dan dimitigasi secara serius,” ujarnya dalam acara National Cyber Security 2025 di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Menurut Nugroho, perkembangan digitalisasi yang masif juga membawa tantangan serius bagi keamanan data dan informasi. Ia menegaskan, penguatan sistem keamanan siber menjadi keharusan di tengah perluasan transformasi digital di berbagai sektor.
Nugroho mengutip laporan Google, Temasek, dan Bain & Company yang memperkirakan nilai ekonomi digital Indonesia tahun ini mencapai US$ 85–US$120 miliar, dengan pertumbuhan sekitar 20%–25% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, potensi besar ini perlu diimbangi dengan kewaspadaan terhadap ancaman siber yang dapat mengganggu integritas dan kepercayaan publik terhadap sistem digital nasional.
“Ancaman terhadap penggunaan teknologi di dalam sistem perekonomian juga harus kita waspadai. Artinya, pengembangan sistem teknologi harus diiringi dengan pengembangan keamanan teknologinya,” tegasnya.
Lebih lanjut, Nugroho menjelaskan keamanan siber memiliki tiga aspek utama yang harus diperhatikan, yaitu kerahasiaan (confidentiality), integritas (integrity), dan ketersediaan (availability). Ketiga prinsip tersebut dikenal sebagai “CIA Triad”, konsep dasar yang menjadi fondasi dalam menjaga keamanan informasi di seluruh sistem digital.
Dalam konteks kerahasiaan, data atau informasi harus dipastikan hanya dapat diakses oleh pihak yang berhak, antara lain melalui sistem enkripsi.
Untuk menjaga integritas, lanjut Nugroho, data perlu dijaga agar tetap utuh dan valid tanpa manipulasi, misalnya dengan penggunaan mekanisme checksum atau tanda tangan elektronik.
Sementara pada aspek ketersediaan, data harus selalu bisa diakses kapan pun dibutuhkan, termasuk dalam situasi insiden, melalui sistem pemulihan bencana (disaster recovery), backup, dan sistem cadangan (redundant system).
Nugroho menegaskan, ketiga aspek tersebut menjadi fondasi utama dalam melindungi data dari ancaman pencurian, manipulasi, pengambilalihan, maupun perusakan data.
“Ini merupakan isu strategis dalam bidang keamanan siber yang harus menjadi perhatian bersama,” pungkasnya.
