Terbongkar! 2 Eks Perwira Polisi Rekayasa Kematian Brigadir Nurhadi

Terbongkar! 2 Eks Perwira Polisi Rekayasa Kematian Brigadir Nurhadi

Mataram, Beritasatu.com – Dugaan penghilangan barang bukti penting oleh dua mantan perwira Propam Polda Nusa Tenggara Barat (NTB), Kompol I Made Yogi Purusa Utama dan Ipda Aris Candra terbongkar dalam persidangan kematian Brigadir Muhamad Nurhadi.

Dalam sidang pembacaan dakwaan di Pengadilan Negeri Mataram, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membeberkan bahwa kedua terdakwa berusaha menutupi peristiwa kematian Nurhadi dengan meminta rekaman kamera pengawas (CCTV) di hotel lokasi kejadian untuk dihapus.

Jaksa menyebut, Yogi dan Aris menghubungi Kasat Reskrim Polres Lombok Utara, AKP Punguan Hutahaean, agar rekaman CCTV di hotel tersebut tidak lagi tersimpan. Upaya itu dilakukan setelah Yogi mengklaim kepada Punguan bahwa korban meninggal karena terjatuh atau melakukan salto di kolam renang.

Namun, karena menilai ada potensi penyimpangan dalam penanganan perkara, Kasat Reskrim memilih melaporkan peristiwa itu ke Polda NTB untuk diambil alih penyidikannya.

Tidak berhenti di situ, JPU juga mengungkap bahwa Kompol Yogi memerintahkan Aris dan Misri, yang disebut sebagai teman kencannya untuk menghapus percakapan di ponsel mereka, termasuk komunikasi dengan Meylani Putri, teman kencan Aris.

Selain berusaha menghapus jejak digital, Ipda Aris Candra juga dilaporkan melarang pihak Klinik Warna Medika mendokumentasikan jenazah Nurhadi.

“Karena adanya larangan tersebut, tim medis tidak berani mengambil foto maupun membuat rekam medis sebagai data pendukung penerbitan surat kematian,” ujar JPU Muklish di persidangan.

Padahal, kata jaksa, pembuatan rekam medis dan dokumentasi jenazah merupakan bagian penting dari standar operasional prosedur (SOP) dalam proses hukum dan penerbitan dokumen kematian.

Jaksa juga mengungkap adanya kejanggalan dalam surat kematian yang diterbitkan Klinik Warna Medika. Dokumen tersebut bertanggal 16 April 2024, padahal peristiwa sesungguhnya terjadi pada tahun 2025. Selain itu, waktu kejadian ditulis menggunakan Waktu Indonesia Barat (WIB), bukan Wita sesuai lokasi kejadian di Lombok.

Dalam dakwaan, kedua terdakwa juga disebut melarang petugas melakukan pemeriksaan terhadap jenazah.

“Terdakwa Aris Candra melarang saksi Brian Dwi Siswanto, anggota patroli, untuk memeriksa tubuh korban maupun mengecek kamar di Klinik Warna Medika,” jelas Muklish.

Karena keduanya masih berstatus anggota Paminal Bid Propam Polda NTB saat itu, saksi Brian disebut tidak berani melanjutkan pemeriksaan lebih jauh.

Kini, kedua mantan perwira itu telah diberhentikan dari dinas kepolisian dan harus menghadapi dakwaan berlapis dalam kasus yang mengguncang institusi kepolisian NTB tersebut.