Urban Farming di Semarang: Harapan Baru Ketahanan Pangan Usai Nitimongso Terlindas Krisis Iklim Regional 18 Oktober 2025

Urban Farming di Semarang: Harapan Baru Ketahanan Pangan Usai Nitimongso Terlindas Krisis Iklim
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        18 Oktober 2025

Urban Farming di Semarang: Harapan Baru Ketahanan Pangan Usai Nitimongso Terlindas Krisis Iklim
Tim Redaksi
SEMARANG, KOMPAS.com
– Semarang terik dan panas seperti biasanya.
Cuaca ini membentuk kebiasaan masyarakat untuk menghindari berkegiatan di luar rumah pada siang hari.
Di sudut kota, tak jauh dari Taman Indonesia Kaya, terdapat sebuah ruang hijau terbuka yang disebut Urban Farming Corner (UFC) yang berada tepat di Jl Menteri Supeno No. 1, Mugasari, Kec Semarang Selatan, Kota Semarang.
UFC tidak sekadar mendampingi masyarakat Kota Semarang untuk belajar mengenai tata kelola pertanian perkotaan, tetapi juga membicarakan ketahanan pangan mandiri, seperti menanam sayur organik.
Pada pelatihan ini, UFC melakukan pelatihan dengan tajuk budidaya sayur organik yang didampingi oleh Wahyu Aditya dari Sekolah Berkebun Ceria pada Jumat, (17/10/2025).
Wahyu Aditya, penyuluh dari Sekolah Berkebun Ceria dan juga seorang pegiat muda bertani organik, menjelaskan bahwa ia dan komunitasnya memiliki fokus mengenalkan berkebun dan menanam untuk semua kalangan, dari usia dini hingga dewasa.
“Kita selalu memiliki tagline, yaitu satu siswa, satu tanaman, sejuta harapan. Tanaman pangan yang tumbuh akan menciptakan pangan yang sehat, pangan yang sehat akan mempengaruhi kesehatan kita, tetapi tanaman yang baik adalah yang dimulai dari tangan kita sendiri. Makanya kita fokus pelatihan di rumah-rumah warga maupun di sekolah-sekolah,” ujarnya menjelaskan.
Belajar menanam di Kota Semarang, menurut Aditya, cukup menantang.
Krisis iklim menghilangkan tata cara bertani menggunakan nitimongso atau perkiraan cuaca tradisional, sehingga kita harus beradaptasi.
“Kita bisa menanam dari tanpa tanah sampai menggunakan tanah dan alat-alat yang ada. Bisa kita kolaborasikan dengan budidaya ikan, masyarakat juga bisa menyesuaikan kebutuhan tanaman apa yang mereka tanam, ya itu yang mereka panen,” jelasnya.
Sekolah Berkebun Ceria memiliki visi yang sederhana, yaitu membangun minat berkebun sejak dini dan siapapun bisa menjadi petani di rumah.
“Kami bersyukur, tiap kegiatan masih ada yang berminat. Di UFC sendiri, tiap dua minggu sekali dalam satu bulan ada pelatihan, dan beberapa sekolah selain mengisi pelatihan juga seperti SMP 1 Kota Semarang yang punya ekstrakurikuler berkebun,” ujarnya.
Jumartono, Sub Koordinator Metode dan Informasi Dinas Pertanian Kota Semarang, menjadikan UFC untuk mendukung program swasembada pertanian di perkotaan dan mengembangkan wacana pertanian di Kota Semarang, terutama untuk anak muda.
“Kota Semarang sebagai kota metropolitan memang sudah mengalami keterbatasan lahan pertanian. Acara ini adalah upaya mengedukasi masyarakat untuk bisa cinta dan gemar bertani, terutama untuk kalangan generasi mudanya. Karena, sebagaimana kita tahu, generasi muda sekarang itu untuk bertani agak-agak susah, gitu, sulit,” jelasnya Jumartono, yang juga sebagai Penanggung Jawab Teknik Lapangan.
Dinas Pertanian Kota Semarang membangun sosialisasi urban farming melalui kelompok-kelompok di masyarakat lewat penyuluh, yang paling tidak satu penyuluh di setiap kecamatan yang ada di Kota Semarang.
“Di lapangan, kita biasanya lewat kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Kalau biasanya ada kelompok tani dan kelompok wanita tani. Biasanya itu bagian dari PKK, maupun RT/RW yang membentuk suatu kelompok dan memaksimalkan mengolah lahan yang ada di lingkungan mereka. Walaupun lahan itu sekecil apapun, dengan metode Perkotaan Tani ini, mereka bisa ikut menanam,” jelasnya.
Ira, seorang ibu muda yang mengikuti pelatihan ini, mengaku merasa terbantu untuk menambah pengetahuan mengenai tata cara urban farming yang ia geluti selama beberapa tahun lalu.
“Awalnya sih dari hobi. Saya sudah mulai bertanam organik sejak enam tahun lalu, saya menanam utamanya sayuran. Dampaknya, ya sekecil keluarga saya punya kemandirian pangan. Sudah bertahun-tahun, saya jarang sekali membeli sayur. Saya memanen sayur dari kebun saya yang tentunya bebas pestisida, dan tentu itu bisa dimulai dari rumah,” ujarnya saat diwawancarai Kompas.com seusai pelatihan.
Ibu muda yang berasal dari Kelurahan Kali Pancur, Kecamatan Ngaliyan, ini menjelaskan bahwa bertanam juga jadi bagian menciptakan ruang hijau kecil di rumah di tengah suhu panas Kota Semarang.
“Meskipun kecil, paling enggak bertanam di rumah membangun ruang hijau yang dimulai dari diri kita sendiri. Semarang kini sudah banyak gedung dan berkurangnya pohon di ruang publik,” tambahnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.