Padi Riun, Warisan Leluhur yang Hidup Kembali di Sungai Lisai Bengkulu
Tim Redaksi
BENGKULU, KOMPAS.com
– Belasan anggota masyarakat adat Suku Madras, baik tua maupun muda, bergegas menuju hamparan tanah bekas sawah di Desa Sungai Lisai, Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Mereka menggelar upacara Kenuri atau kenduri sebagai tradisi sebelum turun tanam padi.
Di sebuah lembah landai yang dikelilingi aliran Sungai Seblat, masyarakat adat tersebut meletakkan nasi matang, gulai, dan lauk pauk di atas terpal biru yang dibentangkan di belakang Bileak (lumbung padi).
Suasana yang tercipta sangat bersahaja. Laki-laki dan perempuan duduk terpisah dalam lingkaran.
“Turun Umo (sawah), jelang bertanam, jelang panen, dan usai panen pasti kami Kenuri (kenduri). Doa ke leluhur dan Tuhan,” ujar Hasan Mukti, Ketua Adat Sungai Lisai, Rabu (15/10/2025).
Kenuri kali ini terasa istimewa karena mereka kembali menanam Padi Riun setelah tujuh tahun meninggalkan padi lokal warisan leluhur akibat masuknya padi IR.
Padi Riun, yang merupakan padi khas masyarakat Manderas, memiliki karakteristik unik.
“Usia empat bulan, sudah berbuah. Dan bisa dipanen pada bulan depannya. Hasilnya bisa dua hingga tiga kali lebih banyak dari padi IR,” ungkap Dedi, seorang petani yang turut berdoa.
Sejarah mencatat, nenek moyang komunitas adat Sungai Lisai berasal dari Suku Madras di Tanah Jangkat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.
Mereka awalnya mengembara untuk mencari lahan bertanam padi hingga menemukan aliran sungai jernih yang kini dinamakan Sungai Lisai, yang terletak dalam Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), Kabupaten Lebong.
Sejak berdiri pada tahun 1960-an, kampung ini baru resmi menjadi bagian dari Kecamatan Pinang Belapis, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu pada tahun 2009.
Kenduri padi menjadi tradisi yang sangat penting bagi masyarakat Sungai Lisai.
Mereka memiliki seorang dukun padi yang bertugas memimpin doa dan ritual terkait penanaman dan pemanenan.
“Padi Riun warisan nenek moyang kami. Kemana pun kami pergi, padi ini pasti kami bawa,” kata Hasan.
Namun, sejak 2019, Desa Sungai Lisai mulai kedatangan padi baru jenis IR yang ditawarkan pemerintah untuk mendukung swasembada pangan.
Meskipun padi Riun memiliki keunggulan dalam hasil dan ketahanan, banyak petani muda yang beralih ke padi IR karena keinginan untuk cepat panen.
“Anak muda ini tak sadar, padahal kalau dihitung hasil dan waktu, jauh lebih unggul padi Riun,” keluh Jaina (62), seorang perempuan adat Sungai Lisai.
Padi Riun, selain tahan terhadap hama dan tikus, juga dapat beradaptasi dengan perubahan iklim.
Dalam suasana khidmat kenduri, doa-doa dari dukun padi mengalir tulus, meneguhkan bahwa pangan warisan leluhur tetap hidup dan tak lekang oleh waktu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Padi Riun, Warisan Leluhur yang Hidup Kembali di Sungai Lisai Bengkulu Regional 15 Oktober 2025
/data/photo/2025/10/15/68ef901f1aa00.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)