7 Pernah Jadi Simbol Gaya Hidup Urban, Grand Paragon Mall Mulai Kehilangan Daya Tarik Megapolitan

7
                    
                        Pernah Jadi Simbol Gaya Hidup Urban, Grand Paragon Mall Mulai Kehilangan Daya Tarik
                        Megapolitan

Pernah Jadi Simbol Gaya Hidup Urban, Grand Paragon Mall Mulai Kehilangan Daya Tarik
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Dari luar, Grand Paragon Mall di Jalan Keamanan, Taman Sari, Jakarta Barat, masih tampak megah dan kokoh.
Fasadnya yang modern berdiri diapit deretan pohon palem, dengan kendaraan terparkir rapi di tepi jalan. Namun, kesan itu perlahan memudar begitu kaki melangkah ke dalam.
Bangunan yang berdiri sejak 2010 ini merupakan satu kompleks dengan Grand Paragon Hotel, hotel berbintang tiga yang langsung menempel di sisi mal. Tapi, di balik tampilannya yang masih terawat, denyut kehidupan pusat perbelanjaan ini kian melemah.
Begitu memasuki lobi utama, suasana senyap langsung menyergap. Ruang besar itu terasa dingin, seolah menelan gema langkah kaki sendiri.
Meja resepsionis hotel di sisi kanan tampak kosong tanpa petugas. Di tengah lobi, vas bunga merah artifisial berdiri di atas meja kaca, memantulkan kilau lantai marmer yang mengilap namun terasa dingin.
Eskalator utama yang seharusnya menghubungkan lantai atas dan bawah tak berfungsi. Sebagian ditutup rantai kuning dan papan larangan. Hanya satu eskalator di lantai bawah (LG) yang masih menyala.
Menuruni beberapa anak tangga ke area bawah, suasana sunyi tetap mendominasi. Restoran seperti Amano Steakhouse, Warisan Indonesia Soul Food, hingga Excelso tampak berdiri berjajar, namun hanya terlihat beberapa pelayan yang mondar-mandir di dalam.
Di sekitarnya, banyak ruko kaca yang kosong. Beberapa toko yang masih bertahan, seperti penjual perlengkapan rumah tangga dan pakaian olahraga, tampak memasang label besar “Diskon 50 Persen” di etalase depan.
Arena bermain anak “Playmania” pun tampak gelap dan tertutup. Lantai atas nyaris tanpa aktivitas.
Satu-satunya titik kehidupan datang dari Grand Lucky Superstore di sudut mal. Di sinilah suara mesin pemindai
barcode
di kasir menjadi satu-satunya dentuman ritmis yang memecah kesunyian.
“Sejak 2020, sudah lima tahun saya kerja di sini. Sepi banget. Dulu sebelum Covid, omzet kotor bisa di atas Rp 50 juta per bulan, sekarang paling Rp 30 juta, bahkan kadang cuma Rp 25 juta,” ujar Jatman (25), karyawan toko pakaian olahraga, kepada
Kompas.com
, Selasa (14/10/2025).
Ia mengaku, sebagian besar pengunjung kini hanyalah pelanggan lama. Penjualan daring melalui aplikasi ojek online pun tidak banyak membantu.
“Orang datang cuma lihat-lihat, bandingin harga
online
, terus enggak beli,” katanya sambil tersenyum pahit.
Hal serupa disampaikan Syifa (17), penjaga stan makanan dan minuman di lantai bawah.
“Sehari paling ada lima pembeli. Paling ramai itu kalau ada tamu hotel. Kadang rasanya kayak jualan di
private mall
,” ucapnya lirih.
Meski begitu, ia tetap bertahan karena bosnya masih memberi dukungan, sementara penghasilannya membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Petugas keamanan bernama Budi (bukan nama sebenarnya) menuturkan, penurunan jumlah pengunjung terasa drastis sejak pandemi.
“Dulu sebelum Covid bisa sampai 1.000–2.000 orang per hari. Sekarang paling 200–300 orang, itu pun biasanya sore jam lima ke atas, pas orang mau nonton bioskop di lantai tiga,” ujarnya.
Menurut dia, lantai satu masih diisi beberapa toko, supermarket, dan toko perabotan. Namun lantai atas sebagian besar kosong, kecuali area karaoke dan bioskop.
Beberapa pengunjung mengaku enggan datang karena mal ini dinilai tak lagi menawarkan hal baru.
“Kalau belanja
online
lebih praktis. Mal-nya juga sepi, kurang nyaman buat jalan-jalan,” ujar Alfan (26).
Faktor pencahayaan dan tampilan interior yang monoton juga membuat suasana terasa suram.
“Mal lain sekarang banyak spot foto, acara komunitas, atau tenant baru. Di sini nggak ada,” tambah Alfan.
Dulu, Grand Paragon Mall dikenal sebagai simbol gaya hidup urban warga Jakarta Barat—tempat bersantai, makan malam, dan menonton film bagi warga sekitar Mangga Besar.
Kini, bangunan megah itu seolah menjadi monumen ritel lama yang kalah oleh perubahan zaman.
Sepinya pengunjung dan minimnya pembaruan membuat mal ini terasa seperti ruang privat: tenang, bersih, namun nyaris tanpa kehidupan.
“Mungkin bisa dibilang begitu, kayak
private mall
,” kata Alfan sambil tersenyum tipis.
Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, Grand Paragon Mall masih berdiri gagah. Namun di balik lantai marmernya yang berkilau, hanya suara “beep” mesin kasir yang menjadi tanda bahwa tempat ini masih bernafas.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.