Menelisik Misinformasi Penyebab Banjir di Indonesia

Menelisik Misinformasi Penyebab Banjir di Indonesia

Menurut The Debunking Handbook (2020), misinformasi sepadan maknanya dengan informasi keliru, tetapi orang dengan sadar menyebarkannya dan percaya bahwa itu benar. Misinformasi disebarkan karena kesalahan atau ketidaktahuan dengan tanpa maksud menyesatkan.

Secara teknis memang benar tapi menyesatkan, karena banyak orang tidak mengetahui fakta yang sebenarnya, fakta terbarunya, dan bahkan keliru menangkap informasi. ‘Misinformasi’ akan menjadi bola salju yang sangat berbahaya jika dikawinkan dengan kata ‘perubahan iklim’ menjadi frasa ‘misinformasi perubahan iklim’, karena dampaknya akan terus berlipat ganda bukan hanya sekadar salah menerima informasi.

Misinformasi perubahan iklim sebenarnya bukan barang baru. Laporan International Panel on the Information Environment (IPIE), bertajuk Facts, Fakes, and Climate Science, Recommendations for Improving Information Integrity about Climate Issues yang baru-baru ini dirilis menyebutkan, taktik penyebaran misinformasi perubahan iklim sekarang telah mengalami perubahan, dari yang sebelumnya sekadar menyangkal, sekarang menjadi berusaha skeptis terhadap adanya perubahan iklim.

Misinformasi perubahan iklim, menurut laporan yang disusun konsorsium global beranggotakan lebih dari 250 ilmuwan dari 55 negara itu, memang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak yang sebenarnya berpendidikan dan kreatif dalam menyusun pesan demi mengambil keuntungan kelompoknya. Pihak-pihak tersebut antara lain korporasi besar, lembaga pemerintahan, dan partai politik.

Imbas dari misinformasi perubahan iklim yang berseliweran di media sosial bahkan di media mainstream itu, tentu akan membentuk opini publik yang berujung pada ter-disrupsi-nya upaya-upaya mengatasi perubahan iklim, sehingga apa yang seharusnya dilakukan menjadi ‘kabur’. Dalam konteks persoalan banjir Bali misalnya, upaya itu tergantikan dengan pemikiran pasrah yang kedengarannya ilmiah: banjir disebabkan oleh hujan.

Padahal jika ditelisik lebih dalam, hujan bukan penyebab tunggal banjir parah yang melanda Bali awal September 2025 silam. Faktor pemicu lainnya adalah alih fungsi lahan yang terjadi secara gila-gilaan.

Mari Telisik Lebih Dalam

Pengamat Tata Kota Universitas Udayana Putu Rumawan Salain, saat dihubungi Tim Regional Liputan6.com mengatakan, banjir awal September silam bisa dibilang sebagai banjir yang terbesar dan terparah yang pernah terjadi di Bali, dengan memakan korban jiwa terbanyak dan hampir seluruh wilayah Bali mengalaminya.

“Ini sebagai dampak dari perencanaan, tapi semua itu kan tingkah polah manusia, yang melakukan kegiatan di atas bumi. Jadi ini adalah sebagai peringatan kepada kita untuk mencermati dan tunduk kepada tata ruang yang sudah dirancang,” kata Putu Rumawan.

Putu juga mengungkapkan, banyak pelanggaran yang dilakukan pemerintah soal alih fungsi lahan dan kepemilikanya, yang akhirnya menjadi salah satu pemicu banjir parah di Bali. Putu juga tidak memungkiri bahwa pariwisata Bali yang jadi trigger utama banyaknya perubahan fungsi dan pemanfaatan lahan di Bali.

Pariwisata secara langsung mendorong makin tingginya jumlah penduduk di Bali. Banyak orang mencari kerja di Bali di samping juga angka kelahiran yang tinggi. Sehingga Bali penduduk Bali saat ini sudah mencapai angka 4 juta lebih, dan di Denpasar sudah hampir 1 juta penduduk.

“Bayangkan di kota yang sekecil ini luasnya (Denpasar),” kata Rumawan.

Kepadatan penduduk itu, katanya, akan mendorong banyak orang untuk memanfaatkan lahan sekecil-kecilnya sebagai tempat tinggal. Pada akhirnya sempadan atau daerah-daerah di pinggir sungai ‘dirampok’ sehingga daerah aliran sungai menyempit. 

“Belum lagi akibat pendangkalan, pencurian lahan untuk bangunan dan lain-lain, itu menjadikan semakin susah penyaluran air dari penyaluran primer sampai ke tersier,” ungkap Rumawan.

Peralihan daerah sawah menjadi permukiman juga mengubah tata ruang kota sehingga saat terjadi hujan, airnya meluap, air kemudian mencari jalannya sendiri ke tempat yang rendah, seperti Denpasar.

“Di sisi selatan ini kan daerah dataran yang paling rendah, diserbu oleh hujan berbagai daerah di hulu, dari Tabanan, diserbu dari Gianyar,” katanya.

Putu Rumawan juga menjelaskan, sebenarnya dalam rencana tata kota dan tata ruang Provinsi Bali, yang sudah direvisi 2023, sudah diatur untuk tidak menambah slot pada titik-titik perkembangan pariwisata.

“Sekarang ini kan banyak sekali tumbuh bahkan membuat konflik di daerah-daerah masyarakat kan ada adat yang dibenturkan, ada politik yang terbenturkan, karena investor bawa uang itu berlindung di balik kekuasaan dan di balik adat, jadi kan yang konflik masyarakat,” kata Rumawan.

Dirinya mewanti-wanti pemerintah, dalam hal ini, harus tegas menegakkan peraturan yang ada, karena sekarang bukan hanya kerugian materi sebagai imbasnya, tapi juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Menurut Rumawan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah agar banjir parah tidak terulang lagi, antara lain pertama, penegakan aturan tata ruang dan tata kota.

Kedua, di dalam pengurusan izin-izin pembangunan harus tegas. Garis sempadan bangunan samping, belakang, depan, itu harus dipenuhi. Lahan di Bali yang sudah sempit ini karena pembangunan pariwisata, sangat susah dicari lahan yang bisa menyerap air, kalau pun ada presentasenya tidak banyak. 

“Banyak lahan sudah ditutup sama beton paving, atau batu sikat bumi tidak meresap air lagi jadi tidak ada kemampuan bumi tidak pernah napas dan tidak minum seolah-olah begitu dan ketika dia tidak kuat dia melempar semua yang dia muntahkan,” kata Rumawan.

Rumawan menegaskan, hujan tidak perlu disalahkan dan dicap sebagai pemicu banjir besar. Yang diperlukan saat ini adalah kejernihan berpikir untuk mencegah dan menanggulangi jika sewaktu-waktu hujan turun dengan deras. 

“Mungkin turis juga tidak mau datang, kalau kita saja tidak bisa mencegah dan menanggulangi banjir,” katanya.