Inflasi Sumut Tertinggi di Indonesia, Pengamat: Tak Ada Mitigasi dari Pemerintah Medan 7 Oktober 2025

Inflasi Sumut Tertinggi di Indonesia, Pengamat: Tak Ada Mitigasi dari Pemerintah
                
                    
                        
                            Medan
                        
                        7 Oktober 2025

Inflasi Sumut Tertinggi di Indonesia, Pengamat: Tak Ada Mitigasi dari Pemerintah
Tim Redaksi
MEDAN, KOMPAS.com
– Inflasi di Sumatera Utara (Sumut) tercatat mencapai 5,23 persen, lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,69 persen pada kuartal kedua.
Hal ini menunjukkan bahwa pengeluaran masyarakat melebihi pendapatan mereka, dan kondisi ini dianggap sebagai salah satu yang terburuk di Indonesia.
Pengamat ekonomi Sumatera Utara, Benjamin Gunawan, menilai bahwa pemerintah daerah harus memperhatikan situasi ini dengan serius.
“Tetapi yang sangat disesalkan adalah kayaknya tidak ada mitigasi kebijakan dari pemerintah. Eksekusinya untuk mitigasi risiko kenaikan inflasi itu saya bilang minim. Itukan gagal mengendalikan inflasi secara keseluruhan,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com melalui telepon seluler, Selasa (7/10/2025).
Gunawan menjelaskan bahwa potensi inflasi tinggi sebenarnya sudah bisa diprediksi sejak tiga bulan lalu.
Selama periode kemarau panjang pada Mei hingga Juli 2025, pemerintah seharusnya mulai mengantisipasi penurunan produksi beberapa tanaman pangan.
Hal ini terbukti dengan penurunan produksi cabai di daerah Lubu Cuik, Kabupaten Batubara, dan Kabupaten Karo.
Rata-rata produksi cabai di Lubuk Cuik yang biasanya mencapai 120 ton per hari, kini hanya di bawah 70 ton per hari.
“Harga cabai merah, cabai rawit, cabai hijau mengalami kenaikan, meskipun saat ini cabai merah masih mahal, harganya Rp 80 ribu hingga Rp 100 per kilogram di Sibolga,” papar Gunawan.
Dia menjelaskan, komoditas utama yang menyumbang inflasi di bulan Agustus dan September 2025 adalah cabai merah, cabai rawit, beras, dan daging ayam.
Namun, pada September, beras justru menyumbang deflasi karena adanya gerakan pangan murah serta penurunan harga beras seiring dengan musim panen.
Gunawan menambahkan, meskipun harga cabai hijau dan cabai rawit mulai turun, masyarakat tidak boleh merasa tenang.
“Deflasi yang terjadi secara berulang itu justru seharusnya dijadikan pembelajaran, karena deflasi itu memunculkan kemungkinan petani mengalami kerugian,” ujarnya.
Dia mengingatkan, saat deflasi terjadi, itu justru bisa menjadi “bom waktu” yang akan memicu inflasi di masa depan, terutama di tengah cuaca buruk yang dapat merusak tanaman.
“Pemerintah harus lebih aktif dan sebaiknya sudah ada mitigasi kebijakan apa yang harus diambil. Inflasi yang tinggi begini sama saja, masyarakat terbebani dengan pengeluaran lebih banyak,” tegas Gunawan.
Dengan kondisi ini, Gunawan berharap pemerintah daerah lebih responsif dalam menghadapi tantangan inflasi dan mengimplementasikan kebijakan yang efektif untuk melindungi masyarakat dari dampak ekonomi yang merugikan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.