Pendapat Warga Soal Gerakan Rp 1.000 per Hari Gagasan Dedi Mulyadi Megapolitan 6 Oktober 2025

Pendapat Warga Soal Gerakan Rp 1.000 per Hari Gagasan Dedi Mulyadi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        6 Oktober 2025

Pendapat Warga Soal Gerakan Rp 1.000 per Hari Gagasan Dedi Mulyadi
Penulis

KOMPAS.com –
Wacana gerakan pengumpulan uang Rp 1.000 per hari yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menuai beragam tanggapan dari sejumlah warga.
Meski disebut sebagai gerakan sukarela untuk memperkuat solidaritas sosial, sebagian masyarakat menilai ide tersebut perlu dikaji lebih dalam, terutama soal transparansi dan peran pemerintah.
Abdul (40), warga Depok, menilai usulan pengumpulan uang, meski kecil nominalnya, berpotensi menimbulkan perdebatan di masyarakat.
“Soal duit orang mah sensitif banget walaupun cuma Rp 1.000 per hari, dan dengan konteks sukarela kayanya berat,” ujarnya kepada
Kompas.com
, Senin (6/10/2025).
“Mendingan efektifin kas RT/RW aja kalo emang tujuannya buat gotong royong saling bantu, warga juga udah ditarikin iuran-iuran kan ke RT/RW,” tambahnya.
Abdul menegaskan, bila inisiatif itu benar dijalankan, perlu ada pengawasan yang jelas terkait pengelolaan dana.
“Kalo jadi diterapin pasti harus ada pengawasan duitnya kemana aja tuh, namanya sensitif soal duit. Mending kalo emang ada yang butuh bantuan, bantu langsung aja,” katanya.
Aulia (39), warga Bekasi, menilai inisiatif solidaritas memang baik, tetapi pelaksanaannya harus memiliki mekanisme yang jelas.
“Menjaga kesejahteraan masyarakat seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah maupun pusat,” ujar Aulia kepada
Kompas.com
, Senin (6/10/2025).
“Sebelum diterapkan, seharusnya dipikirkan matang-matang agar tidak menimbulkan potensi kecurangan atau penyalahgunaan dana,” imbuhnya.
Sementara itu, Akbar (29), warga Depok, yang menilai pemerintah perlu lebih dulu membenahi sistem keuangan publik di tingkat lokal.
“Daripada buat galang dana, walaupun sukarela, mending tertibkan dulu sistem transparansi keuangan daerah sampai tingkat terendah. ?Kaji ulang soal penggajian/tunjangan pejabat setingkat kecamatan (dan di atasnya),” kata Akbar kepada
Kompas.com
, Senin (6/10/2025)
“Beri insentif ke pos penting seperti layanan kesehatan dan pendidikan, daripada seminar-seminar gak jelas yang boros anggaran, biar nanti surplus yang didapat disalurkan ke yang membutuhkan,” lanjutnya.
Tamara (34), warga Bogor, justru menolak gagasan tersebut dengan tegas.
“Saya mah mau seribu atau berapapun tetep gak setuju. Sudah ada pajak ya maksimalin. Pajak itu kan uang gotong royong rakyat,” ujar Tamara kepada
Kompas.com
, Senin (6/10/2025)
“Kalau beliau bilang banyak masyarakat sulit akses, ya sediain fasilitas, bukan nyuruh rakyatnya yang kasih solusi,” tambahnya.
Menurut Tamara, ajakan seperti itu mengingatkannya pada kebiasaan pemerintah melempar tanggung jawab kepada masyarakat.
“Ini tuh sama kaya statement yang sudah-sudah seperti misal harga cabe merah mahal, maka silakan rakyat tanam cabe di pekarangan rumah. Padahal tugas pemerintah untuk membuat solusi terbaik buat warga,” ujarnya.
Menanggapi pro dan kontra di masyarakat, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah provinsi yang mewajibkan pengumpulan uang Rp 1.000 dari masyarakat, ASN, atau pelajar.
“Yang ada adalah gubernur mengajak, menghimbau seluruh jajaran pemerintah untuk sama-sama membangun solidaritas sosial,” kata Dedi dalam rekaman video yang diterima Kompas.com, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, gagasan tersebut muncul dari keprihatinan terhadap warga yang masih kesulitan memenuhi biaya pendukung saat berobat, meski layanan rumah sakit telah digratiskan.
“Banyak orang yang rumah sakitnya gratis tetapi tidak punya biaya untuk ongkos ke rumah sakitnya. Tidak punya biaya untuk nungguin di rumah sakitnya. Tidak punya biaya untuk bolak-balik kemoterapi,” jelasnya.
Dedi mendorong agar gerakan gotong royong itu dilakukan di tingkat RT, dengan sistem seperti tradisi jimpitan.
“Warga bisa menabung seribu rupiah per hari di kotak kecil di depan rumahnya. Dana tersebut kemudian dikelola bendahara lingkungan dan digunakan membantu warga yang kesulitan. Setiap bulan harus dilaporkan pada seluruh penyumbang. Di setiap RT sudah ada grup WA sekarang. Sangat mudah,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa pemerintah provinsi tidak akan mengelola atau mengumpulkan dana tersebut.
“Tidak ada kaitan dengan APBD atau APBN,” kata Dedi.
Menurutnya, beberapa daerah di Jawa Barat telah lebih dulu menerapkan sistem serupa, dan hasilnya dinilai positif dalam memperkuat budaya tolong-menolong.
“Bukan kewajiban, hanya ajakan. Bagi yang sudah melaksanakan tinggal dioptimalkan layanannya,” ujar Dedi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.